RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai piutang tak tertagih sebagai pengurang penghasilan bruto.
Otoritas pajak berpendapat wajib pajak tidak dapat memenuhi persyaratan piutang tak tertagih yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Adapun syarat yang tidak terpenuhi terkait adanya 40 debitur dengan utang lebih dari Rp100 juta yang tidak memiliki dan tidak mencantumkan NPWP dalam daftar piutang tak tertagih. Dengan demikian, otoritas pajak menetapkan piutang tak tertagih tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.
Sebaliknya, wajib pajak menilai sudah memenuhi persyaratan piutang tak tertagih yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Adanya kewajiban tambahan yang tidak diatur dalam UU PPh seharusnya tidak dapat menggugurkan substansi adanya piutang tak tertagih yang telah dibebankan oleh wajib pajak dalam perhitungan penghasilan netonya. Tidak dicantumkannya NPWP debitur disebabkan karena tidak diberikannya informasi hal tersebut oleh debitur kepada wajib pajak.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Sementara itu, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan dari otoritas pajak selaku Pemohon PK.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat piutang tak tertagih dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto wajib pajak.
Hal tersebut dikarenakan Pasal 5 ayat (3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-238/PJ/2001 merupakan ketentuan pelaksana dari Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh yang berlaku dalam hal debitur telah menginformasikan NPWP-nya kepada kreditur.
Sementara itu, dalam kasus ini debitur tidak memberikan informasi NPWP nya kepada wajib pajak. Otoritas pajak seharusnya tidak mengabaikan fakta terdapat piutang tak tertagih yang telah memenuhi persyaratan sebagai pengurang penghasilan bruto.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 26485/PP/M.XI/15/2010 tertanggal 12 Oktober 2010, otoritas pajak mengajukan Permohonan PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 26 Januari 2011.
Pokok sengketa dalam perkara a quo adalah koreksi positif piutang tak tertagih.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon PK melakukan koreksi karena Termohon PK tidak dapat memenuhi persyaratan piutang tak tertagih yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Ketentuan terkait piutang tak tertagih ini dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh juncto Pasal 5 ayat (3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-238/PJ./2001 (KEP Ditjen Pajak No. KEP-238/PJ./2001).
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, piutang tak tertagih dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak apabila memenuhi empat syarat yang bersifat kumulatif. Pertama, telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
Kedua, telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara atau adanya perjanjian tertulis mengenai piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan.
Ketiga, telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus. Keempat, wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Perihal persyaratan administratif diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (3) KEP Ditjen Pajak No. KEP-238/PJ./2001. Dalam Pasal tersebut diatur mengenai kewajiban untuk mencantumkan NPWP dalam daftar piutang bagi seluruh wajib pajak badan.
Selain itu, kewajiban pencantuman NPWP juga berlaku untuk wajib pajak orang pribadi yang jumlah utangnya lebih dari Rp100 juta dan debitur wajib pajak orang pribadi yang jumlah utang tidak lebih dari Rp100 juta sepanjang telah memiliki NPWP.
Lebih lanjut, berdasarkan pemeriksaan, Pemohon menemukan terdapat 40 debitur dengan utang lebih dari Rp100 juta yang tidak memiliki serta tidak mencantumkan NPWP debitur tersebut dalam daftar piutang tak tertagih.
Merujuk pada hal tersebut, Termohon PK terbukti tidak dapat memenuhi persyaratan untuk memperoleh pengurang penghasilan bruto atas piutang tak tertagih. Putusan Pengadilan Pajak dinilai tidak sesuai fakta dan peraturan yang berlaku.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan bahwa kewajiban mencantumkan NPWP bagi debitur yang jumlah kreditnya lebih dari Rp100 juta hanyalah ketentuan tambahan yang tidak diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh.
Adanya kewajiban tambahan yang tidak diatur dalam UU PPh seharusnya tidak menggugurkan substansi adanya piutang tak tertagih yang telah dibebankan oleh Termohon PK dalam perhitungan penghasilan netonya. Adapun tidak dicantumkannya NPWP debitur disebabkan tidak diberikannya informasi hal tersebut oleh debitur kepada Termohon PK.
Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat dua pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, koreksi positif atas piutang tak tertagih tidak dapat dibenarkan. Dalil-dalil Pemohon PK tidak dapat menggugurkan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Â Kedua, dalam perkara a quo, piutang tak tertagih dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
Mahkamah Agung menilai Pemohon PK telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pengurang penghasilan bruto atas piutang tak tertagih tersebut.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.