RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Penentuan Saat Terutangnya PPnBM atas Penjualan Apartemen

Hamida Amri Safarina
Rabu, 16 Desember 2020 | 17.05 WIB
Sengketa Penentuan Saat Terutangnya PPnBM atas Penjualan Apartemen

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penentuan saat terutangnya pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) atas penjualan apartemen. Dalam perkara ini, wajib pajak melakukan penjualan beberapa unit apartemen yang tergolong mewah.

Otoritas pajak menyatakan PPnBM terutang pada saat penyerahan barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah. Namun, apabila pembayaran dilakukan terlebih dahulu sebelum adanya penyerahan barang, saat terutang PPnBM ialah saat pembayaran terjadi.

Dalam perkara ini, wajib pajak telah menerima pembayaran atas penjualan beberapa unit apartemen sebelum adanya penyerahan. Konsekuensinya, PPnBM telah terutang sejak pembeli apartemen melakukan pembayaran kepada wajib pajak.

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat apartemen yang dijualnya masih dalam tahap pembangunan sehingga belum dilakukan penyerahan. Dengan kata lain, tidak terdapat PPnBM yang terutang atas penjualan apartemen. Penentuan terutangnya PPnBM ketika dilakukan penyerahan unit apartemen kepada pembeli.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam putusan banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat terutangnya PPnBM ialah ketika dilakukan penyerahan BKP yang tergolong mewah.

Unit apartemen yang dijual wajib pajak tidak termasuk sebagai BKP yang tergolong mewah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 620/PMK.03/2004. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berkesimpulan koreksi yang dilakukan otoritas pajak harus dibatalkan.

Salah satu Hakim Pengadilan Pajak, selanjutnya disebut Hakim A, memberikan dissenting opinion atas kasus ini. Hakim A menyatakan PPnBM terutang saat penyerahan BKP atau dalam hal pembayaran diterima sebelum terjadinya penyerahan barang. Adapun penjualan apartemen yang dilakukan oleh wajib pajak terutang PPnBM saat pembayaran dilakukan.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 76602/PP/M.IB/17/206 tanggal 9 November 2016, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 14 Februari 2017.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPnBM masa pajak Februari 2009 senilai Rp235.777.306 atas penjualan apartemen yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon PK melakukan koreksi sebab terdapat penyerahan BKP yang tergolong mewah berupa unit apartemen yang belum dilaporkan dalam SPT.

Berdasarkan pemeriksaan, diketahui Termohon PK telah melakukan penjualan beberapa unit apartemen yang masing-masing memiliki luas kurang dari 150 m2 atau lebih dengan harga jual bangunannya Rp4.000.000 atau lebih per m2.

Adapun harga tersebut belum termasuk nilai tanah. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 620/PMK.03/2004, apartemen dengan luas dan harga sebagaimana dijual oleh Termohon PK tersebut termasuk objek PPnBM.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang No. 8 Tahun 2000 (UU PPN), pemungutan PPnBM menganut prinsip akrual. Artinya, PPnBM terutang pada saat penyerahan BKP. Namun demikian, dalam aturan juga dijelaskan apabila pembayaran dilakukan terlebih dahulu sebelum adanya penyerahan barang maka PPnBM terutang saat pembayaran terjadi.

Dalam perkara ini, Termohon PK telah menerima pembayaran atas penjualan beberapa unit apartemen sebelum dilakukan penyerahan unit apartemen. Saat transaksi pembayaran tersebut dilakukan maka PPnBM telah terutang. Oleh karena itu, koreksi yang telah dilakukan Pemohon PK dinilai dapat dipertahankan.

Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Perlu dipahami, Termohon PK memiliki usaha penjualan beberapa unit apartemen. Terhadap penjualan apartemen tersebut seharusnya tidak terutang PPnBM karena transaksi yang dilakukan Termohon PK belum memenuhi syarat untuk dipungut PPnBM.

Berdasarkan pada Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PPN, terdapat dua unsur yang harus dipenuhi dalam pemungutan PPnBM, yaitu adanya BKP yang tergolong mewah dan terdapat pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah.

Dalam kasus ini, apartemen yang dijual termohon PK masih dalam tahap pembangunan sehingga belum ada barang berwujud yang akan penyerahan ke pembeli. Selanjutnya, berdasarkan prinsip akrual, PPnBM terutang ketika dilakukan penyerahan apartemen kepada pembeli. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil terbukti bertentangan dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Terdapat dua pendapat Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi DPP PPnBM masa pajak Februari 2009 senilai Rp235.777.306 atas penjualan unit apartemen dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang terungkap dalam persidangan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak

Kedua, dalam perkara a quo, apartemen yang dijual oleh Termohon PK termasuk dalam BKP yang tergolong mewah. Oleh karena itu, seluruh koreksi yang dilakukan Pemohon PK sudah tepat dan dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.