RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pajak atas PPh Pasal 23 yang Tidak Dipotong

Hamida Amri Safarina
Rabu, 09 September 2020 | 16.10 WIB
Sengketa Pajak atas PPh Pasal 23 yang Tidak Dipotong

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 yang tidak dilakukan oleh wajib pajak.

Dalam perkara ini, wajib pajak menandatangani kontrak dengan salah satu perusahaan yang berkedudukan di Singapura, selanjutnya disebut X Co. Tidak dilakukannya pemotongan PPh Pasal 23 berkaitan dengan penetapan bentuk usaha tetap (BUT) dari X Co oleh otoritas pajak.

Otoritas pajak menyatakan terdapat objek PPh Pasal 23 yang tidak dilakukan pemotongan pajak terkait dengan pembayaran jasa teknik kepada X Co. Berdasarkan penelitian, dapat diketahui, pihak X Co telah melakukan pekerjaan di Indonesia lebih dari 90 hari.

Dengan demikian, berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia dan Singapura, X Co dapat ditetapkan sebagai BUT di Indonesia. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia memiliki hak pemajakan atas penghasilan dari transaksi tersebut. Otoritas pajak menilai wajib pajak seharusnya melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima BUT dari X Co tersebut. Oleh karena itu, otoritas pajak melakukan koreksi objek PPh Pasal 23 wajib pajak.

Wajib Pajak menilai keberadaan X Co di Indonesia tidak memenuhi time test untuk ditetapkan sebagai BUT di Indonesia. Hak pemajakan atas penghasilan yang diterima X Co terkait dengan jasa yang diberikan kepada wajib pajak berada di Singapura. Dengan demikian, tindakan wajib pajak yang tidak memotong PPh Pasal 23 atas penghasilan X Co sudah tepat.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan keberadaan X Co di Indonesia tidak memenuhi time test untuk ditetapkan sebagai BUT di Indonesia. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai terdapat cukup alasan untuk membatalkan koreksi otoritas pajak.

Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 27124/PP/M.XII/12/2010 tanggal 12 November 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 1 Maret 2011.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif objek PPh Pasal 23 tahun pajak 2005 senilai Rp11.681.184.346 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Koreksi dinilai perlu dilakukan karena terdapat objek PPh Pasal 23 yang tidak dilakukan pemotongan dan tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT). Sebab, menurut Pemohon, hak pemajakan atas penghasilan yang diterima X Co berada di Indonesia.

Pernyataan Pemohon PK dibuktikan dengan melakukan pengujian berapa lama pihak X Co melakukan pekerjaan di Indonesia. Berdasarkan penelitian, X Co menyelesaikan pekerjaannya lebih dari 90 hari. Berdasarkan P3B Indonesia dan Singapura, apabila X Co melakukan pekerjaan di wilayah Indonesia lebih dari 90 hari maka hak pemajakannya berada di Indonesia.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon PK menetapkan BUT atas X Co di Indonesia. Menurut Pemohon, Termohon PK seharusnya melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima X Co dari Termohon PK. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK dapat dibenarkan.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pertimbangan Pemohon PK. Perlu diketahui, Termohon PK merupakan perusahaan dalam negeri yang bergerak di bidang pengambilan data seismik darat (onshore) maupun lepas pantai (offshore). Kegiatan pengambilan data tersebut biasa disebut data acquisition dan seismic data processing.

Dalam perkara ini, Termohon PK menandatangani kontrak dengan pihak X Co yang berkedudukan di Singapura. Pihak X Co akan membantu pengambilan dan pengolahan data seismik di Indonesia. Kedua belah pihak juga sepakat untuk menyelesaikan pekerjaan tidak lebih dari 90 hari dalam 12 bulan.

Berdasarkan pada kontrak, pekerjaan pengolahan data dimulai pada 1 April 2005 sampai dengan 15 Mei 2005. Artinya, X Co telah melakukan bekerja di Indonesia selama 45 hari. Selanjutnya, merujuk pada certificate of completion, Termohon PK menerima hasil pekerjaan pada 25 Mei 2005. Dengan demikian, pihak X Co telah berada di Indonesia selama 55 hari.

Berdasarkan pada bukti tersebut, Termohon menilai keberadaan X Co di Indonesia untuk melakukan suatu pekerjaan tidak lebih dari 90 hari sehingga hak pemajakan atas penghasilan X Co berada di Singapura. Oleh karena itu, koreksi PPh Pasal 23 yang dilakukan Pemohon PK dinilai harus dibatalkan.

Pertimbangan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah benar. Terdapat dua pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi positif objek pajak PPh Pasal 23 tahun pajak 2005 senilai Rp11.681.184.346 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak dalam persidangan, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, tidak terbukti keberadaan X Co di Indonesia untuk melakukan suatu pekerjaan lebih dari 90 hari. Dengan demikian, penetapan BUT atas X Co di Indonesia yang dilakukan Pemohon PK tidak tepat. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim Agung menilai permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon tidak beralasan sehingga harus ditolak. Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.