YUSTINUS PRASTOWO:

'Harus Ada Cetak Biru Reformasi Pajak'

Awwaliatul Mukarromah
Senin, 13 Juni 2016 | 19.59 WIB
'Harus Ada Cetak Biru Reformasi Pajak'

Direktur Ekesekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. (Foto: DDTCNews)

UPAYA perbaikan sistem pajak yang berujung pada reformasi telah berulang kali dilakukan pemerintah. Salah satu yang paling mencolok adalah reformasi pajak tahun 1983 yang memberlakukan sistem self assessment, hingga membuat sistem pajak berubah signifikan menjadi lebih demokratis.

Namun, serangkaian reformasi pajak yang dilakukan pemerintah tampaknya belum bisa membawa Indonesia ke arah sistem pajak yang lebih baik. Hal ini terefleksikan dengan banyaknya persoalan pajak yang hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Di mana sebenarnya akar permasalahannya? Untuk menggali lebih dalam persoalan tersebut, beberapa waktu lalu DDTCNews mewawancarai Direktur Ekesekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Petikannya:

Masalah perpajakan di Indonesia sepertinya tak kunjung terselesaikan. Komentar Anda ?

Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia tak luput dari berbagai persoalan pajak yang sebagian besar berkaitan dengan administrasi pajak yang belum baik, tingkat kesadaran pajak yang masih rendah, serta tingginya tingkat korupsi.

Indonesia telah beberapa kali melakukan reformasi pajak guna mengatasi persoalan pajak yang terjadi. Bahkan, Indonesia telah mengalami peralihan dari sistem kekuasaan koersif ke sistem demokrasi. Sayangnya, upaya reformasi pajak di Indonesia bisa dikatakan tidak berhasil.

Saat rezim otoriter, tepatnya di tahun 1983 Indonesia bisa menghasilkan sistem pajak self assessment yang demokratis. Namun di era demokratis seperti sekarang ini, Indonesia justru tidak bisa mengubah sistem yang ada dan menghasilkan sistem yang lebih demokratis lagi.

Sebenarnya, ciri dan corak pemungutan pajak sejak reformasi pajak tahun 1983 itu memiliki visi yang brilian. Tapi hingga saat ini filosofi dan visi perpajakan itu nampaknya belum direfleksikan dalam praktik perpajakan di Indonesia.

Apa yang menjadi visi dan misi perpajakan demokratis di era otoriter seharusnya mampu menjadi aksi di era demokrasi ini. Perlu diketahui, sejak tahun 1983 sampai sekarang ternyata tidak pernah ada perubahan corak administrasi di Indonesia.

Maksudnya, reformasi pajak seharusnya disertai reformasi administrasi publik ?

Sejauh ini, reformasi birokrasi dalam administrasi publik hanya berupa intervensi kebijakan kecil dan sama sekali tidak mengubah sistem secara keseluruhan. Mengapa demikian? Di negara maju kebijakan administrasi publik diturunkan dari ideologi poiltik negara itu sendiri.

Sebelum Perang Dunia I, Weberian adalah salah satu ideologi yang dikenal dengan budaya korupsi yang sangat kuat dalam tubuh birokrasi publik. Lalu, konsep tersebut bercampur dengan ide welfare state, dan berubah menjadi neo-weberian yang mulai memperkenalkan demokratisasi.

Selanjutnya, saat  rezim neo-liberalisme, muncul ideologi new public management yang memprakarsai istilah new public service. Singkatnya, sistem administrasi publik takan berubah seiring dengan perubahan ideologi politik di suatu negara.

Nah, hal seperti itu tidak terjadi di Indonesia. Perubahan ideologi politik tak mengubah corak administrasi yang ada. Ini karena saat reformasi politik tahun 1998, rakyat sudah cukup puas dengan menumbangkan Presiden Soeharto dan orang-orang yang dipilih dari pemilu (elected people) seperti MPR dan DPR.

Sementara itu, orang-orang yang menduduki jabatan karena hasil penunjukkan (appointed people) seperti Mahkamah Agung, kepolisian, dan kejaksaan tidak ikut ditumbangkan. Akibatnya, sistem birokrasi di masa sebelum reformasi masih terus berjalan dan terkonsolidasi sampai sekarang.

Harus diakui meski saat ini berlaku sistem demokrasi, tetapi para elit politik Indonesia masih belum bergeser dari sistem yang lama, dengan kata lain meski ada pergantian orang, namun corak relasinya masih sama. Salah satu yang paling mencolok adalah budaya penyalahgunaan wewenang.

Menurut Anda, apakah selama ini pelaksanaan reformasi pajak sendiri sudah benar?

Selama ini, reformasi pajak diartikan hanya pada aspek administratif saja. Banyak yang salah kaprah, karena mengidentikkan reformasi pajak dengan era digitalisasi, perubahan struktur kelembagaan, sistem elektronik, mempercepat layanan, dan sebagainya.

Dalam sistem pajak, pola pikir semacam itu harus dihindari dan lebih mengarah kepada nalar birokratis. Perubahan sistem pajak seharusnya mengacu pada tiga tingkatan, pertama tax policy, kedua tax law, dan ketiga tax administration.  

Sejauh ini perubahan yang dilakukan masih pada tahap tax administration, sedangkan aspek tax policy seringkali tak tersentuh.  Ini persis seperti ungkapan Casanegra de Jantscher, ‘In developing countries, tax administration is tax policy.’

Di Indonesia, sistem birokrasi menguasai perumusan kebijakan pajak. Seharusnya, kebijakan pajak dirumuskan terlebih dulu, baru dituangkan ke dalam undang-undang dan peraturan pajak, dan dilaksanakan melalui administrasi atau birokasi pajak.

Oke, bagaimana sebaiknya arah reformasi pajak di Indonesia ?

Indonesia harus kembali ke visi perpajakan dan mengubah cara berpikir. Ke depan, pemerintah harus bisa melakukan terobosan-terobosan, membuka sekat-sekat yang ada, dan melakukan harmonisasi di segala sisi.

Selama ini cara berpikir lebih mengarah ke intervensi teknokratik, seperti insentif dan disinsentif pajak. Perlu ada revolusi mental dalam perpajakan, pemerintah harus mengubah nalar akuntansi menjadi nalar konstitusi dengan visi yang jelas, seperti visi untuk kesejahteraan dan keadilan.

Lalu, transformasi kelembagaan jangan hanya dilihat sebagai tujuan (goal), tetapi sebagai suatu media untuk menciptakan penerimaan pajak yang berkesinambungan. Hal ini dikarenakan transformasi kelembagaan merupakan salah satu elemen reformasi pajak, bukan sebuah tujuan akhir.

Ke depan, pemerintah harus merumuskan cetak biru reformasi pajak yang menyeluruh , adil, dan menjamin kontinuitas. Pijakan yang kuat pada prinsip-prinsip demokrasi akan melahirkan sistem pajak yang kuat dan akuntabel.

Pemerintah harus membuat target dan kebijakan yang dirancang untuk jangka waktu paling tidak 5 tahun. Jika dibentuk road map, akselerasi penerimaan pajak baru bisa dilakukan di tahun 2018 dan 2019. Untuk mencapainya diperlukan pondasi fundamental.

Namun, kita harus sepakat bahwa target pajak memang penting untuk mengukur sejauh mana anggaran pemerintah dapat dibiayai, tetapi target pajak bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan pemungutan pajak. Jika kita hanya terjebak di persoalan target, kita tidak akan pernah melangkah ke mana-mana.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.