ROMLI ATMASASMITA:

'UU Tipikor & UU KUP Mestinya Selaras'

Awwaliatul Mukarromah
Jumat, 10 Juni 2016 | 18.24 WIB
'UU Tipikor & UU KUP Mestinya Selaras'

Pakar hukum pidana Universitas Pajajaran Romli Atmasasmita. (Foto: DDTCNews)

PAJAK masih menjadi primadona dalam penerimaan sekaligus menjadi tumpuan perekonomian negara. Namun, dengan sifatnya yang kompleks, pajak juga rentan terhadap tindak pidana korupsi. Banyak contoh menunjukkan bagaimana dunia perpajakan sulit terlepas dari praktik tersebut.

Bangun relasi antara pajak dan korupsi ini tentu menarik dikaji lebih lanjut. Untuk kepentingan itu, beberapa waktu lalu DDTCNews mewawancarai Romli Atmasasmita, pakar hukum pidana Universitas Pajajaran yang sekaligus Direktur Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik. Petikannya:

Bagaimana situasi hukum pajak di Indonesia saat ini?

Ketentuan perpajakan di Indonesia sebenarnya sudah sangat pro terhadap wajib pajak (WP). Misalnya dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), WP punya kebebasan menghitung dan menilai sendiri kewajibannya. WP juga dapat mengajukan keberatan atau meminta diskresi kepada otoritas pajak untuk mengurangi utang pajaknya.

Meski ada kalanya otoritas pajak juga bertugas memeriksa WP apabila terjadi perbedaan penilaian atas besaran utang pajak. Namun dalam praktik, yang terjadi justru sebaliknya. Dalam kasus tertentu, WP dikecewakan karena merasa diperlakukan tidak adil oleh otoritas pajak.

Penyebab lemahnya situasi hukum pajak di Indonesia disebabkan oleh lemahnya database yang dimiliki otoritas pajak. Hal ini mengakibatkan sulitnya otoritas pajak mencapai akurasi data WP  dengan perhitungan pemungutan pajak yang seharusnya.

Maksud Anda hukum pajak kita dan hukum antikorupsi kita belum 'nyambung'?

Ya. UU Tipikor dan UU KUP seharusnya dibuat selaras dan harmonis. Jelas terlihat bahwa saat ini, Ditjen Pajak sudah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bersama-sama melawan tindak korupsi di bidang perpajakan. Namun, kenyataannya sistem pencegahan dan penindakan korupsi antara kedua lembaga ini masih belum dibangun.

Dari sisi pajak, ketentuan yang ada tidak melihat dari mana sumber uang berasal, dari mana pun akan menjadi halal asalkan pajaknya dibayar. Sedangkan bagi KPK, yang dilihat adalah dari mana uang tersebut berasal, sekecil apapun akan menjadi haram jika diperoleh dari tindak korupsi.

Dalam situasi iitu, pemerintah akan merilis tax amnesty. Komentar Anda?

Persoalan tidak selarasnya UU Tipikor dan UU KUP juga berkaitan dengan adanya RUU pengampunan pajak, di mana pemerintah akan memberikan ampunan atas semua harta, kecuali yang berasal dari narkoba, terorisme, dan human trafficking.

Artinya, atas harta yang diperoleh dari hasil korupsi menjadi halal bagi pemerintah, atau dengan kata lain pengampunan pajak akan memberikan pengampunan untuk orang-orang yang berbuat korupsi.

Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan UU Tipikor. Selain itu, juga bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang mengatakan akan berkomitmen serius untuk memerangi tindak korupsi. Namun, jika melihat kondisi keuangan negara yang defisit, langkah pengampunan pajak memang menjadi solusi yang tepat untuk dilakukan, termasuk di dalamnya mengampuni para pelaku korupsi.

Pengampunan pajak dapat mengembalikan uang negara dengan cepat dibandingkan dengan menunggu prosedur pegembalian uang negara dari kasus tindak pidana korupsi. Jika mengikuti prosedur umum, keputusan akhir dari tindak pidana korupsi harus menunggu 450 hari di tingkat Mahkamah Agung. Artinya, pemerintah harus menunggu satu setengah tahun untuk memperoleh kembali uang yang dikorupsi tersebut.

Pemerintah harus terbuka kepada masyarakat tentang kondisi keuangan negara. Daripada utang kemana-mana, lebih baik mengimbau ke warga negara sendiri untuk mengembalikan uang melalui pengampunan pajak.

Apa saran Anda dalam revisi UU KUP?

Begini. Kondisi tidak pernah tercapainya target pajak, menjadi salah satu indikasi bahwa masih banyak kelemahan yang terdapat dalam UU KUP. Oleh karena itu, beberapa hal penting yang menjadi perhatian untuk direvisi dalam UU KUP.

Pertama, UU KUP harus tetap menjadi hukum yang bersifat administratif, tidak serta merta menjadi hukum pidana. Artinya, dalam UU KUP harus tetap didahulukan sanksi-sanksi yang bersifat administratif dibandingkan dengan sanksi pidananya.

Kedua, perlu ada reward dan punishment yang setara antara otoritas pajak dan WP. Jika otoritas pajak melakukan pelanggaran maka harus ada sanksi yang diberikan, baik bersifat administratif sperti mutasi kerja maupun sampai ke sanksi pidana.

Ketiga, terkait dengan bentuk kelembagaan Ditjen Pajak yang harus berubah menjadi institusi yang bisa bergerak lebih leluasa dengan berada langsung di bawah presiden. Saya sepakat dengan adanya ide pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP) dalam RUU KUP nanti.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.