Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang Handi Priyanto.
SEJALAN dengan pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19, penerimaan pajak daerah juga perlahan meningkat. Di Kota Malang, Jawa Timur, realisasi pajak daerah pada 2022 bahkan telah mencapai level di atas situasi normal sebelum pandemi.
Selain soal pemulihan ekonomi, Pemkot Malang juga melakukan langkah-langkah optimalisasi penerimaan pajak daerah. Salah satunya, melakukan ekstensifikasi wajib pajak, terutama dengan menyasar pelaku usaha yang tetap mendulang untung ketika pandemi.
Setelah UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) disahkan, Pemkot Malang juga bergegas menyesuaikan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Kota Malang menjadi satu dari sedikit daerah yang sudah merampungkan Ranperda PDRD, yang pengesahannya masih menunggu evaluasi Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang Handi Priyanto mengenai persiapan pelaksanaan Perda PDRD yang baru, termasuk gambaran dampaknya terhadap penerimaan. Berikut petikannya:
Bagaimana kinerja penerimaan pajak daerah di Kota Malang sepanjang 2022? Apakah sudah kembali seperti prapandemi?
Selama pandemi kami melakukan beberapa upaya untuk mencegah [penerimaan pajak daerah] jatuh secara drastis. Memang tahun 2020 turun jauh, tetapi pada 2021-2022 sudah naik.
Kalau ditarik ke belakang, pada 2019 atau saat situasi masih normal, realisasi target penerimaan Rp460 miliar, kemudian pada 2020 [memasuki pandemi] menjadi Rp320 miliar. Kemudian pada 2021, saat saya masuk ke Bapenda, realisasinya Rp460 miliar.
Saat itu, saya mencoba memetakan semua jenis pajak. Kemudian, ada strategi-strategi yang kami masukkan di setiap jenis pajak tersebut untuk menopang agar minimal tidak turun lagi dari posisi tahun sebelumnya. Hasilnya, penerimaannya naik kurang lebih Rp100 miliar.
Adapun untuk 2022, kita realisasikan penerimaan pajak sekitar Rp547 miliar. Kalau secara target, memang tidak tercapai, tetapi ini melanjutkan tren kenaikan secara nominal rata-rata Rp100 miliar.
Apa saja yang menopang penerimaan pajak daerah tersebut?
Semua jenis pajak kita lakukan strategi optimalisasi. Misalnya untuk restoran, ini menantang sekali karena saat pandemi ada PPKM [Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat] dan dilarang dine-in sehingga harus take away.
Kemudian itu memunculkan banyak ghost resto, yang hanya online seperti melalui Go-Food, Grab-Food, Shopee-Food dan lain sebagainya. Boleh dibilang kami melakukan jurus dewa mabuk, karena kami punya staf 150 orang, saya bagi 3 untuk mengawasi itu semua. Saya minta kawan-kawan ini pantau restoran dari aplikasi, mana yang baru buka dan terlaris. Cukup dengan 2 kriteria itu saja, kita bisa lakukan verifikasi.
Bisa saja dia sudah tercatat sebagai wajib pajak kami karena memang restoran konvensional lalu membuka jualan online. Tetapi sebagian memang belum [terdata] sehingga ini bisa dilakukan upaya ekstensifikasi. Cara menemukannya juga mudah, tinggal mengikuti peta itu aplikasi dan kalau memenuhi kriteria kita jadikan wajib pajak.
Sesuai perda, wajib pajak baru ini minimal memiliki omzet Rp5 juta per bulan. Ketika sudah didatangi, dipastikan keberadaannya, difoto, teman-teman nanti akan mengirimkan surat panggilan undangan ke Bapenda. Sebagian ada yang datang memenuhi dan kita jelaskan terkait dengan pendaftaran NPWPD, tetapi sebagian tidak datang. Yang tidak datang, ya kita datangi ulang. Dari upaya itu, hampir 1.000 wajib pajak baru kita dapatkan.
[Strategi ekstensifikasi] ini menjadi salah satu rujukan hampir semua daerah di Indonesia. Mereka ke kami, karena Kota Malang berhasil memasukkan ghosting restaurant sebagai wajib pajak baru. Ini belum terjadi di 486 Kabupaten kota lainnya.
Selain itu, kami masifkan pemasangan e-Tax berbasis aplikasi. Ada yang dengan vendor kerja sama dengan Bank Jatim, tetapi jumlahnya terbatas. Di luar itu, kami bikin dengan menggandeng kawan-kawan komunitas IT sebagai pihak ketiga. Kami buat e-Tax sendiri, kami namakan e-Tax Persada.
E-Tax Persada ini seperti sistem kasir yang kita bagikan gratis. E-Tax buatan kami bisa mencatat distribusi barang, harga, ketersediaan stok, macam-macam, sehingga membantu wajib pajak. Dengan e-Tax ini kami bisa memastikan berapa omzetnya dan 10% dari sana masuk ke pajak daerah.
Saya beri contoh restoran bakso di Malang yang jika dihitung manual mereka membayar rata-rata Rp8-Rp10 juta per bulan. Begitu kami pasangkan e-Tax, ketahuan omzet riilnya sehingga pajak yang dibayarkan menjadi antara Rp80-Rp100 juta.
Sejauh ini ada berapa e-Tax yang sudah terpasang?
Sampai 2022 kemarin, ada 700-an e-Tax yang sudah terpasang. Pemasangannya di hotel, restoran, parkir, kemudian hiburan seperti tempat permainan ketangkasan anak-anak yang di mal.
Kami bisa memastikan semuanya riil. Di Bapenda, saya membangun tax online monitoring room. Saya menugaskan personel untuk memonitor pergerakan e-Tax secara real time. Kalau ada notifikasi merah, berarti itu dimatikan. Petugas kami bisa langsung telepon.
Jika e-Tax dimatikan, transaksi tidak akan tercatat. Kalau dulu, kita tidak tahu e-Tax dimatikan karena hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu. Kalau sekarang, kami bisa tahu. Biasanya kalau dimatikan, kami akan tunggu beberapa saat. Jika masih mati, petugas kami akan telepon. Biasanya mereka beralasan mati lampu, tetapi tidak lama kemudian menyala dan notifikasi hijau lagi.
Berapa target penerimaan pajak daerah tahun ini dan bagaimana strategi mencapainya?
Tahun ini target penerimaannya Rp1 triliun, naik dari kemarin Rp434 miliar. Upaya-upaya ekstensifikasi yang kami lakukan kemarin tetap dimasifkan. Dengan upaya ini dimasifkan sehingga akan berpeluang menambah PAD secara signifikan dari sektor pajak.
Kemudian, dengan adanya UU 1/2022 tentang HKPD, Alhamdulillah kami sudah selesai menyusun ranperda. Ranperda itu sekarang posisinya sedang evaluasi di provinsi, Kemendagri, dan Kemenkeu. Se-Indonesia Kota Malang menjadi daerah kedua yang selesai perdanya, setelah Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Karena kebetulan penjabat bupatinya Pak Hendriwan, Direktur Pendapatan Daerah Kemendagri.
Apa saja yang berubah dalam ranperda tersebut? Misalnya ada ketentuan pemungutan opsen PKB dan BBNKB...
Perda PDRD itu sudah jadi dan menjadi satu hal yang kawan-kawan dari daerah lain datang ke Malang, karena mereka rata-rata belum menyusun. Hanya sudah selesai sehingga belum bisa diberlakukan, masih menunggu evaluasi dari Kemendagri, Kemenkeu, dan provinsi.
Evaluasi itu juga belum dilakukan. Saya telepon ke Pak Dirjen Keuangan Daerah, Pak Agus Fatoni, beliau mengatakan belum bisa mengevaluasi karena menunggu PP [peraturan pemerintah]. Karena dikhawatirkan kalau evaluasi selesai diturunkan, lalu tidak sesuai dengan PP-nya, ini kan jadi blunder.
UU HKPD itu membutuhkan 7 PP tetapi yang keluar sekarang baru 1 PP. Jadi sambil menunggu itu, termasuk opsen juga belum jadi PP-nya, skemanya bagaimana kami juga belum tahu.
Menurut Anda, apakah skema opsen pajak akan menguntungkan pemkab/pemkot?
Dengan UU HKPD memang pasti akan ada beberapa hal yang hilang. Seperti retribusi terminal, itu hilang. Retribusi uji KIR, itu hilang, gratis. Tetapi, penambahannya juga banyak, salah satunya dari opsen. Cuma saya enggak tahu yang [tarif opsen] 66% ini apakah dibagi hasil? Kalau sekarang kan bagi hasilnya roda 2 sebesar 10%, roda 4 sebesar 20% dari provinsi.
Di opsen ini kami belum tahu apakah 10% dan 20% itu berubah menjadi 66% atau yang sudah ada sekarang ditambah 66%? Skemanya kami belum tahu, termasuk apakah hanya mengubah komposisinya saja?
Dengan adanya open pajak, artinya pemkot memiliki tanggung jawab lebih besar untuk ikut mendorong kepatuhan pajak kendaraan bermotor dan BBNKB?
Betul. Kalau kemarin memang jenis pajak ini dikelola oleh provinsi atau tanggung jawab provinsi. Tidak ada sama sekali kita bagian atau tanggung jawab kami atas itu. Dengan opsen ini, tentu berubah. Tidak ada orang provinsi yang punya mobil dan motor kan? Yang ada adalah orang kabupaten/kota, sehingga saya pikir opsennya juga tepat kalau dialihkan atau diperbesar persentasenya di kabupaten/kota.
Karena yang banyak dilalui juga jalan kabupaten/kota, dan jalan yang banyak rusak pun jalan kabupaten/kota. Tentu pengawasan dan penertiban atas itu menjadi bagian yang tak terpisahkan.
UU HKPD memberikan fleksibilitas bagi pemda dalam mengenakan PBB, menurut Anda? Pada akhir tahun lalu Kota Malang juga sudah menaikkan NJOP...
Kami menggunakan skema yang sudah diterapkan oleh beberapa kabupaten/kota. Kita coba mengadopsi yang sudah diterapkan seperti di Cimahi, Depok, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan banyak beberapa kota lain. Kami mendekatkan NJOP sesuai harga pasar, tetapi tidak untuk meningkatkan APD (Anggaran Pendapatan Daerah).
Banyak kepentingan masyarakat yang ada di situ. Ambil contoh pembelian lahan, pembebasan lahan, lalu yang menjadi problem kan harga. Sementara kalau pemerintah membebaskan lahan, patokannya pasti NJOP. Appraisal pun patokannya NJOP. Kalau NJOP rendah, nanti akan menyulitkan. Sementara masyarakat minta harga tinggi karena harga NJOP memang tidak sesuai dengan harga pasaran.
Itu yang coba kami dekatkan, NJOP ini berbasis harga pasar walaupun tidak riil harga pasar, tetapi sudah mendekati harga pasar. Kalau di daerah lain, seperti saya lihat di Surakarta kan ramai karena PBB sampai 900%, 500%. Kami tidak mengambil opsi itu, padahal saya juga sering sharing juga dengan Kepala Bapenda Surakarta
Di sisi lain, ada kewenangan kepala daerah yang memperbolehkan melakukan pengurangan atau subsidi sehingga kita terbitkan regulasi melalui perwali. Ada faktor pengurangnya. Pengurangnya sebesar kenaikannya sehingga berapa pun NJOP-nya naik, PBB-nya tidak naik karena akan berkurang sebesar kenaikannya.
Kami belum menerapkan HKPD di sini karena kita masih menggunakan dasar Perda PBB yang lama. Tentu akan kami sesuaikan kembali sesuai yang tertuang di Perda PDRD, yang turunan dari HKPD setelah terbit. Kalau sekarang kan di tahap dewan tetapi masih proses evaluasi. Artinya itu belum terundangkan dan belum selesai.
Bagaimana gambaran kepatuhan wajib pajak di Kota Malang saat ini?
Di Bapenda, saya mencoba mengubah paradigma, yang kalau dulu antara petugas pajak dan wajib pajak ini seperti Tom and Jerry, kejar-kejaran. Saya melarang kawan-kawan melakukan itu lagi.
Kami mencanangkan wajib pajak adalah nasabah. Jika kita mempersepsikan wajib pajak adalah nasabah, kita harus memberikan layanan yang terbaik bagi wajib pajak. Sama seperti bank, bagaimana kami merawat dan memberikan layanan ke nasabahnya. Kalau nasabah merasa nyaman, merasa terbantu, dan tidak akan beralih ke lain hati.
Ini yang coba kami lakukan sehingga kita tidak memaksa atau mengejar-ngejar orang untuk bayar pajak di tahap awal. Langkah pertama yang dilakukan adalah kami datang dengan bunga, kita mencoba menumbuh-kembangkan kesadaran masyarakat untuk pembayaran pajak, bahwa pajak ini adalah sumber PAD yang digunakan untuk pembangunan kota.
Selain upaya penagihan secara masif, kami juga melakukan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat, termasuk mengenai sumber pembiayaan pembangunan di Kota Malang. Gorong-gorong, jalan, dan sebagainya itu dibangun dari uang pajak.
Lalu, seperti cara Anda melakukan penagihan terhadap wajib pajak bandel?
Kami bekerja sama dengan Satpol PP untuk melakukan penagihan. Di sisi persuasifnya sudah jalan, dan di sisi lain penagihan juga dilakukan. Kalau kita datang dengan perangkat Satpol PP, sebagian mau bayar, tetapi masih ada juga yang bandel tidak mau bayar.
Sisa ini yang terakhir, kami ada MoU dengan Kejaksaan Negeri, kami bikinkan SKK (Surat Kuasa Khusus) ke Pak Kajari untuk dilakukan pemanggilan oleh teman-teman di kejaksaan. Nah, biasanya di tahap itu selesai dia. Karena ini masuk kategori penggelapan pajak, begitu kejaksaan yang panggil, biasanya langsung dibayar di situ.
Apakah Pemkot Malang sudah bekerja sama untuk pertukaran data dengan DJP? Bagaimana pelaksanaannya?
Kerja sama dengan DJP sudah sejak lama. Kemarin habis pada 2021, lalu diperpanjang.
Soal kerja sama ini kami bisa langsung memberikan secara fleksibel. Toh ini sama-sama instansi pemerintah, hanya bedanya kami di daerah dan DJP pemerintah pusat. Kapan saja diminta, kami bisa menyediakan.
Cuma aturan di sana, untuk kami meminta data harus terlapor sampai menteri keuangan, dirjen, dan direktur. Namun, kemarin sudah ada kesepahaman bahwa kalaupun itu data-data hanya sinkronisasi, tidak harus sampai menunggu persetujuan di Jakarta dulu.
Dengan kerja sama itu, sebetulnya DJP dan teman-teman di KPP yang lebih banyak diuntungkan. Karena begitu tuntas di kami, maka data kami yang dipakai untuk menagih pajak biasanya jauh di atas estimasi mereka. Sehingga secara tidak langsung kalau realisasi kami tinggi, otomatis pajak pusat yang berasal dari Kota Malang yang melalui target DJP sendiri. (sap)