Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh. (foto: Kemendagri)
SALAH satu ketentuan yang dimuat dalam perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) adalah penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.
Pemanfaatan NIK sebagai NPWP dinilai menjadi bentuk transformasi administrasi perpajakan yang mempermudah otoritas dan wajib pajak. Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh memaparkan kesiapan instansinya untuk mendukung integrasi tersebut.
Bagaimanapun, UU KUP s.t.d.t.d UU HPP juga menugaskan menteri dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada menteri keuangan untuk kemudian diintegrasikan dengan basis data perpajakan. Berikut ini petikan wawancara khusus Zudan dengan DDTCNews:
Apa yang menjadi fokus kinerja Ditjen Dukcapil Kemendagri saat ini?
Kami fokus pada peningkatan kualitas layanan untuk administrasi kependudukan. Ini termasuk melayani administrasi kependudukan dari orang lahir sampai meninggal, dari pembuatan akta kelahiran, kartu identitas anak, kartu keluarga, KTP-el (elektronik), sampai kemudian akta perkawinan dan akta kematian. Kami fokus pada peningkatan kualitas layanan.
Perbaikan kualitas layanan ini implikasinya adalah dibangunnya data. Pelayanan kami menghasilkan dokumen kependudukan. Nah, dokumen kependudukan itu memuat data, dan data ini kami kelola secara digital. Penduduk kita ada 272 juta. Itulah yang sekarang datanya by name by address berbasis NIK sudah mulai lebih rapi, sudah mulai lebih lengkap.
Setelah kualitas layanan ditingkatkan, kita kini menuju era kependudukan dan pencatatan sipil digital. Tahun ini, kami mulai untuk menyelenggarakan bagaimana agar identitas KTP-el itu bisa dikelola dan diimplementasikan dalam bentuk digital ID. Ini yang terakhir kami kerjakan sekarang.
Ini yang disebut Satu Data Indonesia?
Iya, output-nya itu satu data kependudukan Indonesia, basisnya adalah NIK. Induk besarnya adalah Satu Data Indonesia. Satu Data Indonesia itu terdiri dari bermacam-macam, ada satu data keuangan negara, satu data peta Indonesia, dan satu data kependudukan.
Khusus pada data kependudukan yang dimulai tahun ini, lini waktunya seperti apa agar menjadi satu data yang utuh?
Sudah kami awali pada 2006 untuk menuju Satu Data Indonesia. Ini diawali dengan penggunaan NIK, yang kalau di luar negeri itu disebut single identity number. Itulah semangat pertama kali mewujudkan single identity number, tetapi pelaksanaannya banyak kendala.
Kemudian undang-undangnya direvisi menjadi UU 24/2013, di situlah kami mulai memiliki grade yang lebih kencang, handling-nya lebih cepat lagi karena disebutkan Pasal 64.
Semua pelayanan wajib menggunakan NIK. Kemendagri wajib dalam 5 tahun setelah UU ini ditetapkan, yaitu tahun 2013, sudah harus melakukan integrasi data. Mulai 2013 itulah Kemendagri mendorong secara lebih masif integrasi data antarlembaga, pemanfaatan data berbagi data Dukcapil berbasis NIK. Itulah single identity number kita mulai membesar dan membesar.
Anda menyebut ada tantangan yang dihadapi untuk single identity number. Apa saja?
Salah satunya adalah belum siapnya berbagi lembaga untuk mengakses data secara digital. Dulu hobinya fotokopi, yang KTP minta fotokopi, KK minta fotokopi. Itu menjadi kebiasaan. Itu pun akhirnya dicerminkan dalam semua peraturan. Ke notaris minta fotokopi KTP, ke perbankan bawa fotokopi KTP, beli rumah minta fotokopi KK, anak masuk kuliah minta fotokopi KK.
Kemudian, berbagai lembaga punya hobi ingin menyimpan data dan membuat data sendiri-sendiri. Mereka ingin mengumpulkan data sendiri dan menyusun database sendiri.
Itu tidak efisien. Akhirnya kami menawarkan pola berbagi-pakai data. Tahun 2013, hanya 10 lembaga yang mau integrasi data dengan Dukcapil. Kemudian waktu saya masuk 2015, baru 30 lembaga. Sekarang sudah 4.138 lembaga yang kerja sama dengan Dukcapil untuk integrasi data memanfaatkan NIK.
Lembaga ini dari pusat sampai daerah?
Betul. Mereka sekarang tinggal diketik NIK-nya saja, dicocokkan, enggak perlu melihat fotokopi KTP, enggak perlu fotokopi KK. NIK-nya berapa, namanya siapa, diketik, dicocokkan. Itulah era satu data kita sehingga kita mulai bergerak menuju digital.
Jadi electronic KYC atau know your customer, prinsip mengenal pelanggan secara elektronik. Tidak perlu orangnya tatap muka, cukup NIK-nya berapa coba dilacak, namanya siapa, tempat tanggal lahirnya berapa. Itu bisa diketahui sekarang.
Walaupun 4.138 lembaga sudah bekerja sama untuk integrasi data memanfaatkan NIK, nyatanya sampai sekarang praktik fotokopi tetap berjalan...
Itu biasanya lembaga-lembaga yang belum kerja sama dengan Dukcapil.
Mestinya kita ada ratusan ribu lembaga yang bekerja sama. Misalnya kampus, di Indonesia ini jumlah kampus ada 4.000 sampai 5.000 kampus, tapi yang bekerja sama baru 400-an. Kemudian rumah sakit, itu ribuan, dan yang bekerja sama dengan kami belum ada 100.
Lembaga yang banyak bekerja sama itu perbankan. Kemudian, asuransi dan pemerintah daerah, itu yang besar-besar.
Di luar itu, mestinya masih ada ratusan ribu lagi lembaga yang bisa bekerja sama. Sampai misalnya koperasi, itu bisa bekerja sama. Kalau pada koperasi simpan pinjam, biasanya untuk mengetahui calon nasabahnya. Mereka cukup bekerja sama dengan Dinas Dukcapil di kabupaten, nanti difasilitasi oleh kabupaten.
Apakah ada target untuk menjangkau ratusan ribu lembaga tersebut?
Saya kira perlu waktu mungkin bisa 10 tahun ke depan kami menyelesaikan itu karena juga harus diikuti dengan infrastruktur data center yang kuat. Karena kalau nanti banyak yang bekerja sama, banyak yang mengakses data, infrastruktur di data center tidak kuat, nanti bisa jebol kita.
Apakah ini termasuk mengenai perlindungan data masyarakat?
Iya, salah satunya itu. Jadi, sambil kami meningkatkan kesadaran terhadap perlindungan rahasia data pribadi agar masyarakat paham, berbagai lembaga paham, kami terus mendorong mereka untuk integrasi data. Berjalan bersamaan sambil kami sosialisasi tentang perlindungan data.
PT KAI mulai mewajibkan penggunaan NIK untuk pembelian tiket kereta jarak jauh. Apakah ini salah satu contoh penggunaan NIK untuk pelayanan publik?
Yang sekarang sudah sangat masif itu di sektor industri seperti keuangan, bank, asuransi, pasar modal, dan kemudian UMKM. Perizinan itu sudah menggunakan NIK. Kami mau dorong ke pelayanan publik misalnya pembelian tiket sehingga mereka tahu betul, oh ini orangnya, kalau nanti kenapa-kenapa, ada data keluarganya, bisa di-tracking.
Kemudian, pelayanan publik di bidang kesehatan, kami mendorong semua pasien itu tidak perlu rumit-rumit harus mengisi formulir yang banyak, cukup ketik NIK-nya. Kemudian, masuk sekolah dari SD, SMP, SMA sampai kuliah itu cukup berbasis NIK saja sehingga ke depan tidak perlu kartu pelajar dan kartu mahasiswa sendiri-sendiri tapi cukup dengan NIK. Itulah rencana kami.
UU HPP telah disahkan, yang di dalamnya termasuk penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi. Bagaimana tanggapan Anda?
Kami bekerja sama dengan DJP sudah lebih dari 5 tahun yang lalu. Memang dari DJP sudah menggunakan data Dukcapil untuk pembuatan NPWP. Sekarang ditingkatkan, tidak perlu lagi membuat nomor NPWP baru, langsung menggunakan NIK.
Kalau di Dukcapil, karena sudah biasa menyuplai data kepada DJP, kami sudah siap. Tinggal nanti disesuaikan oleh DJP yang dulunya nomor NPWP 15 digit, sekarang menggunakan NIK yang 16 digit.
Apa manfaatnya?
Banyak sekali. Pertama, DJP tidak perlu lagi mengidentifikasi siapa calon wajib pajaknya karena sekarang 272 juta yang bisa langsung dianggap wajib pajak. Tentu mereka tidak harus semua membayar pajak.
Nanti membayar pajaknya berdasarkan apa? Kami serahkan pada kriteria di peraturan atau UU HPP itu, apakah harus 17 tahun dan berdasarkan penghasilan. Karena sekarang banyak yang sejak bayi sudah punya penghasilan, seperti yang artis, dia menjadi endorser, influencer, bintang iklan, itu kan bayi sudah punya penghasilan.
Tapi masyarakat tidak perlu risau karena tidak semuanya harus bayar pajak. Yang penghasilannya kecil, penghasilannya tidak tetap di bawah Rp54 juta, tidak perlu membayar pajak.
Di UU HPP ada kalimat yang menyebut pemberian data kependudukan dan data balikan dari pengguna pada menteri keuangan atau dirjen pajak. Apa maksudnya?
Ada NIK seseorang, nah dia ini siapa? Alamatnya di mana? Pekerjaannya apa? Nanti bisa diakses dan mereka bisa melihatnya.
Hal teknis mengenai pemberian data kependudukan dan data balikan tersebut nantinya akan diatur dalam PP. Dari sisi Dukcapil, apa saja yang akan diatur?
Kalau dari Dukcapil secara teknis, karena datanya sudah siap, kami tidak menyiapkan apa-apa lagi. Kan kami sudah siap, tinggal dari DJP bergerak untuk melaksanakan UU itu. Penduduk kita kan NIK-nya juga sudah ada.
Apakah tidak perlu membuat platform khusus untuk pertukaran data tersebut?
Kalau dari kami sudah terbiasa memberikan data, tinggal nanti DJP menyesuaikan saja dengan yang sudah ada ini.
Hal teknis mengenai pemberian data kependudukan ini, bagaimana proses penyusunan PP-nya?
Kami belum membahas itu. Kami mengalir saja, nanti kita lihat drafnya seperti apa, kami pelajari kecocokannya. Yang penting perlindungan rahasia data pribadinya terjaga. Kalau teknologi itu nanti mengikuti kok.
Lalu bagaimana protokol pertukaran data yang aman?
Protokol itu dalam bentuk verifikasi. Verifikasi itu misalnya dari lembaga sekarang, seperti perbankan mengajukan nama untuk dicari, kami menjawabnya sesuai atau tidak sesuai. Jadi, misalnya saya kirim NIK seseorang, kami mencocokkan apakah data-datanya sesuai, namanya sesuai, tanggal lahirnya sesuai. Dari lembaga tersebut harus mengisi lagi data yang benar. Sekarang bentuknya verifikasi data, jadi kami tidak memberikan data. Berbagi data itu dalam kerangka verifikasi.
Kemudian dari sisi masyarakat juga tidak perlu risau karena pemerintah pasti menerapkan ketentuan ini secara adil. Kalau dari bentukan pajak juga lebih mudah karena tinggal diketik by NIK by address sudah bisa diketahui siapa yang bersangkutan itu
Menurut Anda, apakah integrasi NIK menjadi NPWP akan efektif meningkatkan kepatuhan masyarakat membayar pajak?
Kami belum tahu karena ini harus diuji di lapangan. Kalau harapan besarnya, ini akan menjadikan langkah kerjanya lebih efisien. Kemudian by NIK by address penduduknya lebih mudah dicari, karena di database-nya sudah ada, tinggal nanti dihitung berapa pendapatan masing-masing. (sap)