WAKIL MENTERI KEUANGAN SUAHASIL NAZARA:

‘Pajak Itu Tidak Boleh Menghalangi Pemulihan Ekonomi’

Redaksi DDTCNews
Rabu, 08 Desember 2021 | 10.15 WIB
‘Pajak Itu Tidak Boleh Menghalangi Pemulihan Ekonomi’

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara. (foto: Biro KLI Kemenkeu)

PEMULIHAN ekonomi diproyeksi berlanjut pada 2022 meskipun masih dibayangi ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Di tengah kondisi ini, pengelolaan APBN menjadi sangat penting. Apalagi, 2022 menjadi tahun terakhir defisit anggaran bisa di atas 3% terhadap PDB.

Konsolidasi fiskal bertahap terus berjalan. Langkah ini dilakukan dengan mengoptimalkan penerimaan sekaligus mempertajam alokasi belanja negara. Dari sisi penerimaan, pemerintah dan DPR juga telah mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Untuk laporan Fokus Akhir Tahun, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara untuk mencari tahu desain kebijakan fiskal tahun depan. Apalagi, UU HPP dinilai akan menambah penerimaan perpajakan. DDTCNews juga bertanya mengenai Presidensi G-20 pada 2022. Berikut petikannya:

Bagaimana pemerintah melihat outlook perekonomian dunia dan Indonesia pada 2022?
Pada 2022, kami membayangkan bahwa kita akan melanjutkan pemulihan. Namun, belajar dari 2021, optimisme pemulihan dari awal tahun tiba-tiba didera oleh varian Delta. [Oleh karena itu], pada 2022, kita mesti siap-siap juga. Sekarang itu keyword-nya adalah siap-siap. Selalu siap siaga.

Pada 2022, asumsi makro untuk pertumbuhan ekonomi yang kami gunakan adalah 5,2% dan kami mesti siap-siap. Kami berharap mendapatkan 5,2% itu dengan perekonomian yang bergerak secara ajek. Naiknya positif tapi pelan-pelan.

Belanja pemerintah masih cukup gencar sekitar Rp2.700 triliun. Kalau dilihat, angka belanja pada 2020 juga sekitar Rp2.700 triliun. Mengapa relatively flat? Karena belanjanya dikonsolidasi sehingga dengan revenue pajak, bea cukai, dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang kami upayakan terus naik, defisitnya akan turun.

Pada APBN Kita yang terakhir, Anda bisa melihat [penerimaan] pajaknya bagus. Kalau Anda melihat belanja negara, ya flat saja tumbuhnya. Ini supaya belanja negara jangan [menjadi] negative factor di dalam PDB (produk domestik bruto). Kami lakukan penajaman-penajaman terus.

Tahun ini Kementerian Keuangan melakukan 4 kali refocusing tanpa APBN perubahan. Itu penajaman. Kalau saya bilang penajaman ya itu yang muncul di refocusing-refocusing sehingga tahun ini kami perkirakan defisitnya 5,7% dari PDB. Kalau bisa ya kami akan tutup tahun ini dengan defisit lebih rendah.

Apa saja yang akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun depan?
Saya rasa akan tetap konsumsi. Konsumsi secara persentase dari PDB yang paling tinggi, yakni sekitar 55%-56% tergantung tahunnya. Kalau kita mau mengamankan pertumbuhan ekonomi 5,2% tahun depan, pertumbuhan konsumsi harus di sekitar 5,2% atau minimal 5,1%. Harus di atas 5%.

Untuk 2021 masih ada technical rebound karena pertumbuhan pada 2020 negatif. Ketika 2021, orang-orang sudah mulai jalan-jalan, mulai membeli barang. Kita bisa melihat indeks-indeks ekonomi membaik.

APBN-nya akan tetap responsif saja. Ada program pemulihan ekonomi nasional. Kami responsif saja apa saja kebutuhannya untuk perekonomian. Kalau ekonominya membaik terus dan kesehatan bisa kami jaga, ada kesempatan APBN untuk konsolidasi.

Artinya belanja kesehatan masih akan tetap tinggi pada tahun depan?
Iya karena kami menjaga kesiapsiagaan sektor kesehatan, kesiapsiagaan rumah sakit. Tahun ini klaim pasien gede banget karena ada varian Delta. Sektor keuangan kita siap siaga. Itu menjadi keharusan dan mungkin setiap tahun kita mesti siap siaga untuk kesehatan.

Bagaimana alokasi insentif dunia usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional tahun depan?
Dunia usaha itu memiliki progres yang berbeda-beda demi keluar dari krisis. Sektor seperti komunikasi jalan terus dan tetap positif. Namun, sektor transportasi baru mau mulai pick-up belakangan ini. Demikian juga sektor jasa keuangan. Kalau kita melihat dari nilai pajak yang dibayarkan, itu masih minim banget pertumbuhannya.

Kami perlu menjaga sektor-sektor yang masih under pressure. Pariwisata itu masih under pressure. Restoran dan hotel di beberapa tempat sudah mulai pick-up, tapi kalau dibandingkan [dengan kinerja] tahun lalu, mungkin belum terlalu berkembang. Ketika kami melakukan konsolidasi fiskal [dengan] penajaman belanja, insentif pajak juga berjalan. Kami lakukan penajaman.

Selain dari sisi sektor usaha, apakah jenis insentif yang diberikan juga dievaluasi?
Kalau evaluasi, kami lakukan secara terus-menerus. Masih butuh tidak untuk PPh (pajak penghasilan) Pasal 22 impor atau PPh Pasal 21?

Pada 2021, insentif pajak di dalam PEN kira-kira sekitar Rp63 triliun. Itu sudah habis dan mungkin akan lebih. Saya senang juga melihat bahwa itu terpakai habis. Itu berarti indikasi bahwa kegiatan ekonominya berjalan. Ini karena insentif pajak baru bisa diklaim kalau ada transaksinya.

Kami senang saja belanja perpajakannya lebih tinggi karena kondisi ekonominya bergerak. Orang beli mobil dan properti. Jumlah PPh Pasal 21 atau pajak gaji karyawan yang diklaim terus meningkat karena ada pembayaran upah dan gaji.

Apakah insentif masih diperlukan untuk properti? Properti kayaknya masih. Dalam pengertian kontraknya dan pembeliannya diselesaikan tahun ini, tapi kan biasanya bangun rumah enggak kayak Roro Jonggrang besok pagi sudah jadi.

Insentif kendaraan bermotor masih perlu atau tidak? Kami melihat data penjualan mobil sudah naik. Kalau penjualan sudah naik, biasanya perusahaan akan mulai produksi lagi. Kalau produksi lagi kan artinya sudah mulai berputar modal kerjanya. Itu bagus. Jadi, nanti kami lihat apakah masih akan dilanjutkan atau tidak.

Dengan ekonomi yang diproyeksi lebih baik, langkah apa yang akan dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak?
Cara untuk scrutinize APBN itu dengan melihat angka penerimaan realisasi tahun ini yang kemungkinan akan sesuai target. Dari [realisasi] pertumbuhan sampai Oktober, kalau dibandingkan dengan [target] pertumbuhan setahun penuh, itu sudah dekat banget.

Kami masih punya UU HPP. Kami menegaskan lagi bahwa new baseline dari penerimaan pajak itu ya dengan UU HPP. Dalam hitungan-hitungannya, kami mungkin akan bisa mendapatkan sekitar Rp130 triliun tambahan dari UU HPP untuk 2022. Ini kombinasi dari segala macam aturan pajak di UU HPP.

Kemudian, tentunya adalah reformasi dalam administrasi perpajakan. Ini mengenai core tax system yang kami harapkan pada 2023 dan seterusnya. Ini yang kami harapkan menjadi bahasan jangka menengah.

Tentu nanti dicocokkan dengan APBN 2023 yang defisitnya akan kembali ke bawah 3%, 2024 ada Pemilu, dan pada 2025 kami harapkan bisa menjadi tahun pembangunan di bawah pemerintahan yang baru.

Estimasi tambahan penerimaan Rp130 triliun di luar target APBN 2022 karena UU HPP akan dialokasikan untuk apa?
Dengan diumumkan begitu [ada tambahan penerimaan Rp130 triliun], kami sudah mem-pressure teman-teman di DJP. Enggak apa-apa. Kita lihat saja setiap bulan, benar atau tidaknya akan ada upsize. Berapa yang dari program pengungkapan sukarela (PPS) yang sudah mulai bulan Januari. Ketika April, kita tanya berapa kenaikan penerimaan PPN-nya.

Mengenai penerimaan, Anda tahu, secara formalnya ada target di APBN. Kalau penerimaannya lebih tinggi dari APBN, kami senang saja. Kalau belanja, itu adanya pagunya. Namun, dengan UU 2/2020, memang pagu itu bisa kami sesuaikan. Kami tetap menyampaikan laporan-laporan dan konsultasi-konsultasi dengan DPR.

Nanti kami lihat saja seberapa besar yang akan dikumpulkan dan bagaimana penggunaannya. Ini karena kebutuhan belanja 2022 juga tetap kami perkirakan Rp2.715 triliun. Itu juga kami melakukan jaga-jaga untuk kesehatan dan perlindungan sosial.

Jadi, kami akan fleksibel menjalankan APBN. Dengan demikian, kalau ada upsize dari pajak, bisa kami pakai untuk belanja. Bisa juga kami pakai untuk pengurangan defisit atau untuk pengurangan pembiayaan.

Pada APBN 2021 hingga akhir Oktober 2021, pemerintah tidak ragu-ragu untuk mengurangi defisit dari yang tadinya diperkirakan sekitar Rp1.000 triliun, sudah berkurang menjadi Rp800 triliun sekian. Itu mengurangi issuance [surat utang]. Penerbitan utang juga sudah turun dibandingkan tahun lalu.

Dengan UU HPP, apakah penerimaan pajak akan bisa kembali pulih seperti prapandemi?
Untuk penerimaan pajak, kalau ingin membandingkan dengan prapandemi, lihat deh UMKM yang memakai fasilitas pajak final. Apakah sudah kembali ke prapandemi? Kalau dibandingkan dengan 2019, kayaknya masih jauh. Artinya, UMKM kita masih under pressure.

Pemerintah sudah mengeluarkan bantuan presiden untuk usaha produktif. Kita tahu ada pula relaksasi pembayaran cicilan dan bunga yang tetap kami berikan. Namun, yang bayar pajak kelihatan belum balik.Sebelum pandemi, yang memanfaatkan PPh final untuk UMKM itu bisa sampai 2 juta unit usaha. Sekarang mungkin hanya 200.000.

Kalau perekonomian makin pulih, usaha makin baik, warung buka, boleh deh bayar pajak lagi. Kami juga memberikan sinyal [keberpihakan] melalui UU HPP, yakni untuk yang UMKM dengan omzet per tahunnya di bawah [sampai dengan] Rp500 juta akan bebas pajak.

Begitu juga untuk PPh Pasal 21 atau pembebasan PPh atas gaji karyawan. Kami bisa melihat perusahaan yang memanfaatkannya dan itu juga belum balik ke [kondisi] prapandemi.

Bagaimana dampak adanya UU HPP terhadap peningkatan tax ratio? Menurut estimasi pemerintah, perlu waktu sampai dengan 2025 untuk mengembalikan tax ratio di atas 10% …
Tax ratio itu kan tax per PDB. Kalau PDB-nya tumbuh, agar tax ratio-nya naik, penerimaan pajaknya harus tumbuh di atas pertumbuhan PDB. Ini yang kami seimbangkan.

Kalau keinginan kita adalah meningkatkan tax ratio dengan lebih cepat, berarti kita mesti memajaki lebih banyak. Namun, kami tahu di dalam proses pemulihan ekonomi. Pajak itu kita perlukan supaya pemerintahan tetap memiliki resources dan tidak mengutang terlalu banyak, tapi tidak boleh juga terlalu tinggi.

Pajak itu tidak boleh menghalangi pemulihan ekonomi itu sendiri. Nah, ini straight a right balance yang membuat berapa pertumbuhan ekonominya, berapa pertumbuhan yang kita ambil dari pajaknya. Jadi, tujuan meningkatkan tax ratio tidak bisa berdiri sendiri. Dia harus mencari tahu growth-nya [alamiah] berapa. Kalau growth naik terus 5%, inflasinya 3%, ya sama dengan [pertumbuhan alamiahnya] 8%.

Kalau tax ratio mau meningkat, berarti pertumbuhan penerimaan pajak harus di atas 8%. Nah, UU HPP harusnya bisa meningkatkan rasio perpajakan pada 2022, yang kami harapkan sekitar 9,2%. Ke depan, kami harus menaikkan terus. Naiknya berapa cepat? Kami lihat nanti pertumbuhan ekonominya berapa cepat juga, seberapa cepat kita mengambil pajak.

Indonesia memegang Presidensi G-20. Apa saja agenda yang akan dibawa pemerintah?
G-20 artinya 20 kelompok negara dengan PDB terbesar di dunia. Anda sudah tahu tema kita Recover Together, Recover Stronger. Kami memilihnya dengan sangat hati-hati karena kami ingin menumbuhkan optimisme. Kami ingin menumbuhkan kebersamaan.

Kita melihat ada pemulihan ekonomi. Kami ingin recovery bersama dan juga lebih cepat. Ini tujuan pembangunan dunia yang ingin kami dorong. Tentu kami juga akan melanjutkan banyak agenda G-20 yang memang selama ini sudah berjalan. Nanti kami dudukkan di dalam topik kita Recover Together, Recover Stronger.

Apa saja agenda yang sudah berjalan tersebut?
Banyak sekali. Ada Finance Track. Gubernur bank sentral dengan menteri keuangan di setiap negara G-20 yang akan mendalami. Apa saja Finance Track itu? Macam-macam, mulai dari pertumbuhan ekonomi dengan melihat kemungkinan kita tumbuh bersama akan seperti apa. Kemudian di sisi fiskal, ada inisiatif perpajakan internasional. Financial architecture internasional juga menjadi topik yang selalu dibicarakan.

Kemudian, ada track lain yang disebut dengan Sherpa Track. Itu lebih ke development track. Di situ ada soal kesehatan. Menteri kesehatan G-20 akan berkumpul. Kemudian, juga ada track yang lain tentang lingkungan hidup juga dibicarakan dalam G-20. Tentu di setiap track tersebut, Indonesia akan menyampaikan cerita-cerita.

Kalau di sisi keuangan, kami akan menunjukkan Indonesia tidak mengalami seperti negara lain yang pada awal-awal, lembaga rating tidak yakin bagaimana negara itu me-manage APBN, defisitnya, koneksi dengan otoritas moneter, dan stabilitas politiknya. Rating Indonesia saat ini tidak mengalami penurunan, tapi di beberapa negara mengalami penurunan.

Jadi, kita akan melakukan orkestrasi supaya 20 negara terbesar di dunia itu bisa memikirkan tentang exit strategy. Bagaimana melihat dampak dari pandemi ini, sistem pembayaran di masa digital, sustainable finance, inclusive finance, dan international taxation. Semua itu akan kami dudukkan dengan melihat cerita Indonesia di dalam G-20.

Apa saja yang ingin diperjuangkan pemerintah dalam pembahasan teknis konsensus pajak global pada forum G-20?
Soal perpajakan internasional, yang pasti kesepakatan Pilar 1 dan Pilar 2 harus kita implementasikan. Dalam presidensi, kami akan melakukan monitoring seberapa jauh implementasi kesepakatan tersebut dan bagaimana akan diadopsi di dalam perangkat hukumnya. Kesepakatan di tingkat internasional seperti ini tidak bisa setelah sepakat kemudian semuanya langsung berjalan.

Prinsip objektifnya mesti kami pegang terus, yaitu sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Tidak lagi hanya eksklusif 'Oh perusahaannya ada di tempat saya, berarti saya berhak menjajaki'. Di dalam kesepakatan itu kan daerah tempat terjadinya transaksi juga memiliki hak pemajakan.

Tentu kami juga ingin tetap mendorong transparansi pajak. Kalau kita punya AEoI (automatic exchange of Information), itu adalah bentuk dari tax transparency. Common reporting standard juga tetap kami mintakan.

UU HPP adalah salah satu bentuk yang bisa kita sampaikan pada dunia internasional. Indonesia mendorong domestic resource mobilization. Ini menjadi penting, terlebih untuk negara seperti Indonesia yang masih butuh belanja besar. Tax ratio-nya kecil. Namun, dengan domestic resource mobilization, itu menunjukkan komitmen dari domestik untuk membiayai pembangunan.

Kemudian, green agenda juga kami masukkan. Pajak kita juga akan menyentuh green agenda dengan pajak karbon. Namun, tidak serta merta kami langsung collect pajaknya tahun depan karena green economy membutuhkan infrastruktur. Kita butuh carbon market. Kami desain carbon tax mechanism-nya. Ini basic foundation yang akan kami gaungkan terus sebagai Indonesia stories di internasional.

Bagaimana dengan pajak minimum global di Pilar 2?
Saya rasa akan digencarkan terus [pembahasan] mengenai pajak minimum global. Nanti mesti dilihat, bagaimana hubungannya dengan tax holiday. Tax holiday ini bukan hanya Indonesia yang bikin, meskipun namanya macam-macam dan tidak hanya tax holiday.

Esensinya, setiap negara itu pernah ada di dalam situasi yang terus menurunkan tarif pajak. Kami juga akan melihat negara lain seperti apa. Sejak saya di BKF, kalau ditanyakan soal tax holiday, saya bilang setiap negara punya mekanisme untuk memberikan insentif-insentif semacam tax holiday.

OECD pernah bilang yang dilakukan Indonesia is not harmful tax practices. Sekarang, dengan adanya Pilar 2 ini, berarti ada kesepakatan bersama [mengenai pajak minimum global]. Kami melihat kesepakatan bersama akan menciptakan level playing field antarnegara.

Apakah ini artinya akan menjadi era baru untuk insentif pajak?
Ya. Insentif kan sebenarnya boleh-boleh saja, tapi yang tidak kita inginkan adalah race to the bottom. Setiap negara mengurangi tarif pajaknya sehingga makin lama makin rendah. Akhirnya menjadi tidak bagus untuk domestic resource mobilization dalam membiayai pembangunan.

Kalau ada race to the bottom, jadinya kontradiktif dengan domestic resource mobilization. Domestic resource mobilization juga tidak boleh juga terlalu kencang sehingga pajak jadi menghambat pembangunan. Karena pembangunan memang membutuhkan konsumen, rumah tangga perlu konsumsi, perusahaan perlu investasi, dan seterusnya.

Bagaimana pemerintah memastikan langkah konsolidasi fiskal tidak akan mendistorsi perekonomian?
APBN tugasnya mendorong perekonomian. Namun, APBN itu dibiayai dengan domestic resource mobilization tadi, sehingga memang kami mesti mencari takaran yang pas.

Domestic resource mobilization dikumpulkan. Lalu dikeluarkan dalam takaran yang pas untuk hal-hal yang memang menjadi belanja negara yang bisa mendorong sektor usaha dan konsumen untuk melakukan kegiatan ekonominya.

APBN akan tetap mengumpulkan penerimaan dan menggunakannya semaksimal mungkin untuk mendorong rumah tangga agar bisa konsumsi. Rumah tangga itu bisa konsumsi kalau dia punya income. Income rumah tangga sebagian dari APBN, tapi sebagian dari dunia usaha yang bekerja. Dunia usaha itu bisa investasi kalau kondisi ekonomi makronya stabil, inflasinya stabil, pertumbuhannya ada.

Itu dia tugas APBN. Kami mesti pilih secara smart. Di mana kami mengumpulkan penerimaan, di mana kami melakukan belanja. Ini termasuk ketika belanjanya lebih besar dari penerimaannya seperti saat ini. Tidak apa-apa. Defisit kami lakukan financing untuk kebutuhan jangka panjang. (Pewawancara: Dian Kurniati, Sapto Andika Candra, dan Kurniawan Agung Wicaksono)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.