Kepala Bapenda Kota Padang, Sumatera Barat, Yosefriawan.
PEREKONOMIAN di daerah terus menunjukkan pemulihan sejalan dengan makin dekatnya status endemi Covid-19. Di Kota Padang, Sumatera Barat, realisasi pajak daerah pada 2022 telah sanggup menembus capaian normal sebelum pandemi melanda.
Tak cuma mengebut pemulihan ekonomi, Pemerintah Kota Padang juga menyiapkan strategi optimalisasi penerimaan pajak daerah. Salah satunya, mendesain insentif pajak daerah yang berkeadilan demi mendongkrak kepatuhan.
Pemkot Bogor juga dikejar waktu untuk bergegas menyesuaikan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Naskah akademiknya sudah rampung pada akhir 2022 lalu dan perdanya ditargetkan terbit pada tahun ini.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Padang Yosefriawan mengenai persiapan pelaksanaan Perda PDRD yang baru, termasuk gambaran dampaknya terhadap penerimaan. Berikut petikannya:
Bagaimana kinerja penerimaan pajak daerah di Kota Padang sepanjang 2022 lalu?
Penerimaan pajak di Kota Padang mencatatkan kenaikan cukup signifikan. Dilihat dari pendapatan asli daerah (PAD) secara keseluruhan, termasuk pajak dan retribusi, selama ini belum pernah tembus Rp550 miliar. Namun, pada 2022 lalu PAD kita mencapai Rp612,7 miliar. Ini rekor, selama ini belum pernah angka itu.
Khusus penerimaan pajak, kenaikannya juga signifikan. Pemko (pemerintah kota) Padang sendiri mengelola 11 jenis pajak daerah. Semuanya memberikan kontribusi kenaikan cukup signifikan. Pada tahun-tahun sebelumnya, penerimaan pajak itu di angka Rp370 miliar. Pada 2021 misalnya, hanya Rp378 miliar. Kemarin pada 2022, terkumpul Rp400 miliar lebih untuk pajaknya saja.
Itu kenaikan pendapatan daerah yang cukup tinggi. Ke depannya kami terus berupaya mengoptimalkan potensi pendapatan daerah ini. Ada 2 hal penting.
Pertama, dari sisi operasional kami melakukan law enforcement. Kedua, kami intens melakukan pengawasan di lapangan serta penyuluhan dan sosialisasi. Wajib pajak sendiri sudah tergerak untuk menggunakan smart tax, meski belum semuanya.
Apa itu smart tax?
Jadi ada aplikasi yang web service dan alat semacam tapping box.
Dengan angka-angka yang disebutkan, artinya kinerja penerimaan saat ini sudah melebihi kondisi sebelum pandemi Covid-19? Kan ketika pandemi jelas terpukul. Saat ini sudah rebound?
Iya, alhamdulillah. Ada kenaikan signifikan.
Dari 11 jenis pajak, apa saja jenis pajak yang jadi penopang utama terhadap keseluruhan penerimaan pajak tahun lalu?
Salah satunya jelas BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). Angka realisasinya pada 2022 lebih dari Rp92,6 miliar. Kemudian, dari yang pajak hotel dan restoran. Pajak hotel, dari target Rp48 miliar, kita dapatnya lebih dari Rp50 miliar. Lalu pajak restoran target Rp60 miliar, bisa di atas Rp60 miliar.
Spesifik ke pajak-pajak yang berbasis konsumsi, seperti pajak hotel dan restoran, jika dibandingkan dengan sebelum pandemi situasinya seperti apa saat ini?
Kalau yang pajak hotel dan restoran jelas sekali ada kenaikan yang signifikan. Jauh sekali. Penerimaan pajak hotel, misalnya, realisasi pada 2020 atau saat pandemi mulai melanda cuma Rp21 miliar. Tapi pada 2022 lalu angkanya sudah lompat ke Rp48 miliar. Lalu pajak restoran, penerimaan pajak pada 2020 lalu cuma Rp35 miliar. Kemudian, pada 2022 lalu melonjak ke Rp62 miliar. Jadi angka-angkanya memang menunjukkan pemulihan yang luar biasa.
Apalagi setelah masa pandemi pulih ini, tempat-tempat hang out anak-anak muda tumbuh sangat subur di Kota Padang. Tingkat hunian hotel juga naik tajam, didukung makin banyaknya event-event seperti konser musik atau konferensi.
Pada 2022 lalu misalnya, Kota Padang jadi tuan rumah Rakernas Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia). Juga ramai rakernas oleh kementerian dan lembaga lainnya. Ini menjadikan angka hunian hotel naik tajam dan penerimaan pajak kita pulih.
Dengan capaian positif pada 2022, bagaimana target 2023 ini dan seperti apa strategi yang disiapkan untuk mencapainya?
Kalau PAD secara menyeluruh, targetnya dipatok di angka Rp928 miliar. Namun, untuk pajak saja kami pasang di angka Rp741 miliar. Ini angkanya juga naik cukup tinggi jika dibandingkan dengan tahun lalu. Target penerimaan pajak daerah di APBD Perubahan 2022 senilai Rp733 miliar. Target pajak pada 2022 memang sempat dirasionalisasi karena mempertimbangkan berbagai hal.
Memangnya rasionalisasi target pajak di APBD pada 2022 lalu lebih disebabkan apa?
Kita menyesuaikan dengan potensi yang ada di lapangan. Kami lakukan kajian potensi. Kemudian dengan historis realisasi penerimaan kita, disimpulkan bahwa target yang dipatok di awal itu terlalu tinggi. Rasanya tidak mungkin tercapai. Makanya sekarang jangan sampai asal bapak senang saja. Perencanaan ini perlu banyak dasar dan indikator dalam menetapkan target. Alhamdulillah usulan kami diterima di DPRD.
Tapi kalau bicara target pajak, sebenarnya tingginya target juga disebabkan angka yang tertuang dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) juga terlalu tinggi. Begini, sejak pandemi Covid-19 itu semestinya RPJMD disesuaikan karena tekanannya luar biasa. Namun, waktu itu tidak dilakukan revisi atas RPJMD. Jadinya target-target pajak di APBD ikut tinggi.
BPK (Badan Pengawas Keuangan) sendiri menyarankan bahwa target penerimaan pajak semestinya mengikuti potensi riil. Makanya kami turunkan.
Toh juga UU HKDP meminta pemda dalam menyusun APBD ikut menimbang makro ekonomi dan potensi yang sebenarnya. Artinya angka sekarang yang dipatok sudah menimbang itu semua?
Yang target PAD Rp928 miliar sebenarnya belum juga (sepenuhnya mempertimbangkan potensi riil) Tetapi sesuai amanat UU HKPD, kan itu berlaku 2024 mendatang. Kecuali yang opsen berlaku 2025.
Nah, mungkin di tahun depan itu kalau kita menyesuaikan dengan potensi yang ada, karena kita ada penyesuaian tarif dari pajak dan retribusi. Dan ada sejumlah retribusi yang selama ini dipungut, nantinya bakal tidak ada lagi.
Tapi dari sektor pajak saya pikir tidak begitu ada perubahan ya, pengurangan paling di retribusi saja.
Strategi untuk 2023 apa saja?
Pertama, strategi yang kami siapkan dan tekankan ke anggota khususnya dalam pengelolaan pajak di Bapenda adalah kita perlu optimistis. Jangan dimulai dari pesimis.
Kedua, memang harus kerja keras. Jadi, pegawai pajak dan Bapenda ini memang semestinya punya mata elang, mesti peka. Maksudnya, kalau melihat ada potensi pajak semestinya sudah terpikir, 'Ini sudah daftar belum ya? Sudah punya NPWP Daerah belum? Sudah bayar pajaknya belum?' Harusnya kepekaan seperti itu dimiliki. Jika memang wajib pajaknya belum taat, petugas harus siap memberikan edukasi.
Selanjutnya, kerja keras dalam menggali potensi yang ada serta menjaga integritas. Alhamdulillah sistem pajak sudah self assessment. Kita tak lagi bersentuhan dengan uang tunai. Semua disetorkan ke bank dan rekening daerah. Kita cuma memverifikasi saja. Apabila dengan lampiran validasi data cocok, akan kami terima. Kalau tidak akan diperiksa.
Tadi sempat disebut mengenai law enforcement. Kalau baca artikel pemberitaan, awal tahun ini Bapenda Padang sering mengadakan razia reklame. Apakah itu efektif menggenjot penerimaan?
Kalau efektif untuk penerimaan, jelas signifikan. Yang selama ini tidak bayar pajak, jadinya membayar. Realisasi penerimaan pajak reklame pada 2022 adalah Rp12,5 miliar. Padahal sebelumnya, pajak reklame cuma Rp8 miliar per tahun.
Kegiatan law enforcement ini juga kami barengi dengan penyuluhan dan edukasi. Kami tidak sembarangan tertibkan reklame. Ada aturannya. Penegakan hukum kami ikuti aturan. Yang belum bayar pajak, ya kami dorong untuk membayar.
Menyambung soal UU HKPD, aturannya akan berlaku secara umum pada 2024. Salah satu ketentuannya, pemda dituntut untuk menyiapkan perda baru. Untuk Kota Padang sendiri sejauh mana progresnya?
Kalau untuk Perda sebagai aturan pelaksana dari UU HKPD, rancangannya sudah selesai. Sebenarnya sekarang dalam tahap harmonisasi di Kanwil Kemenkumham Sumatera Barat.
Jadi kami terus berkoordinasi dengan Kanwil Kemenkumham dan mereka sendiri memang masih menunggu aturan turunan pemerintah pusat. Karena beberapa aturan pelaksana belum turun. Jadi masih menunggu. Kanwil juga tidak bisa bekerja.
Kami targetkan, di medio 2023 ini selesai perdanya. Tapi terkendala dengan dengan belum turunnya RPP. Sebenarnya secara esensi dan substansi sudah siap, cuma nunggu aturan dari pusat.
Masih soal UU HKPD, ada aturan baru soal opsen. Anda melihat ini menguntungkan pemda tidak?
Kalau ini terealisasi, jelas sangat menguntungkan. Karena selama ini kami menerima bagi hasil yang ditentukan oleh pemerintah tingkat atas, dalam hal ini Pemprov Sumbar. Sehingga kami menerima dana bagi hasil (DBH) berkisar di Rp130-Rp150 miliar.
Nah, kalau kita menerima secara murni dari opsen PKB yang BBNKB yang 66%, dari hasil kajian yang dilakukan konsultan, kita bisa menerima sampai Rp1 triliun. Logikanya begini, memang di Sumbar itu 50% kendaraan berada di Kota Padang. Jadi sangat menguntungkan.
Boleh digambarkan, tingkat kepatuhan wajib pajak di Kota Padang saat ini seperti apa?
Kalau untuk tingkat kepatuhan, sifatnya variatif. Jadi enggak bisa kita samaratakan. Misalnya dari pajak hotel, tingkat kepatuhannya mungkin sudah 80%. Beda dengan pajak restoran yang mencakup semua jenis usaha makanan, termasuk rumah makan tradisional, rumah makan franchise, atau warung-warung biasa. Jadi tingkat kepatuhannya masih di bawah 70%. Ini juga berkaitan dengan pemahaman wajib pajak juga.
Dengan tingkat kepatuhan yang belum optimal, strategi ke depan apa?
Tentu kita terus melakukan edukasi, sosialisasi kepada wajib pajak. Ini yang penting sekali. Edukasi dan sosialisasi. Kadang-kadang wajib pajak dengan ketidaktahuannya selalu negative thinking. Dikit-dikit ditagih pajaknya. Padahal di sisi lain, ada aturan yang perlu ditegakkan.
Tapi perlu dicatat, aturannya juga menyesuaikan kemampuan wajib pajak. Misalnya menurut Peraturan Wali Kota Padang, pelaku UMKM yang omzetnya di atas Rp5 juta per bulan baru boleh dipungut pajaknya.
Kemenkeu juga mendorong pemda melakukan pertukaran data. Apakah Pemko Padang sudah melakukan?
Untuk pertukaran data kami belum melakukan karena belum terintegrasi sistemnya. Tetapi kadang-kadang kalau ada kebutuhan-kebutuhan mendesak kami langsung berkoordinasi. Begitu juga DJP sendiri, misalnya minta data NJOP, ya kami berikan. Tapi pertukaran data secara manual sudah, tapi yang terintegrasi secara otomatis belum.