HADI POERNOMO:

'BPP Itu Keputusan Politik Presiden'

Redaksi DDTCNews
Senin, 16 April 2018 | 14.20 WIB
'BPP Itu Keputusan Politik Presiden'

Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo (Foto: DDTCNews)

USIA-nya sudah 70 tahun. Tapi jika bicara pajak, semangatnya tetap menyala. Mungkin karena itu, ia termasuk narasumber yang dimintai masukannya oleh Komisi XI DPR dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tentang RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pada Oktober 2017.

Gayung bersambut. Tak lama setelah RDPU tersebut, pria kelahiran Pamekasan, 21 April 1947 ini pun diminta memberikan paparannya mengenai RUU KUP oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya.

Lalu seperti apa pandangan mantan Dirjen Pajak dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini tentang RUU KUP? Kenapa secara khusus ia menyoroti rencana pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP)? Untuk mengetahui pandangannya, berikut wawancara Hadi Poernomo. Petikannya:

Seperti apa pandangan Anda mengenai RUU KUP?

Ada beberapa hal, sebagian sudah saya sampaikan ke DPR. Beberapa pasal saya apresiasi, seperti pasal penguatan kewenangan penyidik, lalu pasal keberatan dan banding yang kembali ke format UU KUP tahun 2000 yang membuat pengajuan keberatan dan banding tidak menunda proses penagihan dan pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak.

Tapi yang paling menjadi perhatian saya adalah mengenai pasal pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP). Menurut saya, masyarakat perlu tahu tentang ini. Di balik pasal itu ceritanya panjang. Alasannya juga kuat.

Ceritanya bagaimana? Sekuat apa alasannya?

Kebutuhan DJP untuk ‘naik kelas’ menjadi BPP itu sudah lama. Itulah pokok yang pada 2001, pada awal-awal saya menjadi dirjen pajak, saya identifikasi sebagai salah satu faktor penentu pencapaian penerimaan pajak, di samping masalah basis data perpajakan yang tidak dimiliki DJP.

Lalu saya sampaikan masalah perlunya penguatan kelembagaan DJP ini ke Presiden dan lembaga terkait, dan direspons. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) misalnya, waktu itu merekomendasikan Presiden untuk membentuk BPP.

Berbagai focus group discussion yang digelar pihak independen, yang juga mengikutsertakan para stakeholder kita, merekomendasikan hal yang sama. Berbagai tokoh masyarakat dan pengamat juga punya pandangan begitu.

Nah, rekomendasi dari berbagai pihak itu kebetulan sama dengan pemikiran Presiden Joko Widodo, bahkan sejak beliau masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kita tahu Presiden Jokowi akhirnya menjadikan pemikiran perlunya pembentukan BPP tersebut sebagai salah satu visi ekonominya.

Visi itu pula yang terlihat dalam keputusan politik beliau. Bisa dilihat mulai dari Nawacita, yang lalu diterjemahkan menjadi RPJMN. BPP ada dalam semua keputusan politik itu. Terakhir, ya itulah yang kemudian kita lihat bersama di RUU KUP yang beliau serahkan ke DPR bulan Mei 2016 lalu.

Pandangan Anda sendiri bagaimana?

Paling tidak ada 5 alasan kenapa BPP diperlukan. Pertama, alasan historis. Jangan salah. Indonesia ini pernah punya DJP yang kewenangannya setara eselon dua, setara eselon satu, atau setingkat menteri. Nah, BPP inilah yang memenuhi syarat sebagai lembaga modern, bukan lembaga tradisional.

Kedua, alasan hukum. DJP ini mengemban amanah konstitusi sekaligus 11 undang-undang. Semua itu memberi kewenangan atributif kepada DJP, bahkan termasuk kewenangan kuasi judikatif. Tidak ada lembaga lain, termasuk Kemenkeu, yang punya tanggung jawab seberat itu. Jelas ini tak sebanding.

Ketiga, alasan politis. BPP ini adalah keputusan politik presiden. Keputusan tersebut berangkat dari visi misi presiden yang sudah dijabarkan dalam RPJMN 2015- 2019. Keberadaan BPP sudah disebut di situ dengan jelas.

Alasan berikutnya?

Keempat, alasan objektif. Pegawai DJP ini hampir 40.000 orang, eselon II-nya 53 orang, eselon III-nya 577 orang, dan eselon IV-nya 4.363 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Institusi yang bisa menyaingi DJP ini mungkin cuma TNI dan Polri.

Kelima, alasan administratif. Surat Presiden No. R-28 tanggal 4 Mei 2016 ke DPR menugaskan tiga menteri, yaitu Menkeu, Menkumham, dan Menpan RB untuk membahas RUU KUP. Surpres ini lalu ditindaklanjuti Surat Mensesneg B-395 tanggal 11 Mei 2016 yang dikirim kepada tiga menteri tadi.

Isi surat Mensesneg itu merupakan perintah Presiden Jokowi. Ini saya kutip utuh isinya:“Presiden meminta para Menteri untuk mempertahankan dan memperjuangkan materi yang ada di dalam RUU. Jika ada usulan perubahan dari DPR, Menteri harus berkonsultasi kepada Presiden.

Sementara itu, KMK No. 885/ KMK.03/2016 memberikan tugas kepada Tim Reformasi Perpajakan antara lain untuk memetakan dan menyusun struktur organisasi DJP yang best fit,serta melakukan evaluasi terhadap RUU yang telah disusun. Kalimat yang terakhir ini kan maksudnya RUU KUP.

Jadi, apa kesimpulan Anda?

BPP itu keputusan politik Presiden, perintah politik Presiden, yang diturunkan dari visi misi Presiden dan sudah tertuang dalam RPJMN. Segenap komponen harus bergandengan tangan mewujudkan keputusan itu secara sistematis, terstruktur, dan tuntas. (Bsi)

Simak wawancara mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi khusus akhir tahun di sini.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.