Senior Principal, Tax Knowledge Management IBFD Prof. Jan J.P. de Goede dan Fiscal Economist DDTC Denny Vissaro berfoto bersama di kantor IBFD, Amsterdam. (Foto: DDTCNews)
AMSTERDAM, DDTCNews – Sejak pertengahan Januari 2018 lalu, dua profesional DDTC mengikutishort course mengenai International Tax Law and Policy di Maastricht Belanda. Kursus tersebut diselenggarakan oleh Faculty of Law University of Maastricht dengan mengundang berbagai ahli perpajakan internasional di Eropa sebagai pengajar.
Di tengah berjalannya kursus, salah satu profesional DDTC tersebut diundang oleh Prof. Jan J.P. de Goede untuk berkunjung ke kantor International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) di Amsterdam untuk berdikusi mengenai isu dan kebijakan perpajakan internasional.
Sepanjang karirnya di bidang pajak internasional yang sudah berlangsung sekitar 40 tahun, profesor ini menjadi salah satu figur penting dalam koordinasi pajak internasional. Saat ini, dia menjabat sebagai Senior Principal, Tax Knowledge Management IBFD. Selain itu, dia juga mengajar di berbagai universitas di Eropa, Asia, dan Amerika Latin.
Melanjutkan diskusi mengenai koordinasi pajak internasional dan pentingnya dukungan yang terintegrasi terhadap otoritas pajak, sosok yang pernah menjadi bagian dari Working Party 1 OECD dan juga Sub Komite Perpajakan PBB ini juga memberikan pandangan mengenai pentingnya kebijakan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) bagi negara berkembang serta kebutuhan dunia akan model P3B yang ‘baru’. Berikut petikannya.
Dalam menjalin kesepakatan P3B, terdapat anggapan dari beberapa studi bahwa negara berkembang biasanya memiliki posisi yang lebih lemah sehingga alokasi hak pemajakan yang disepakati cenderung lebih memberatkan mereka. Apakah benar demikian?
Hal tersebut sangat bergantung pada kekuatan posisi suatu negara ketika berlangsungnya negosiasi. Sama halnya dengan negosiasi pada umumnya, pihak yang berada dalam posisi lebih kuat akan mendominasi jalannya negosiasi dan biasanya lebih berpengaruh dalam menentukan hasil akhir negosiasi.
Melihat hal tersebut, model United Nation (UN) sebenarnya dibangun untuk digunakan ketika negosiasi dilakukan antara negara maju dan negara berkembang. Sebagai mantan negosiator P3B, saya sendiri lebih menyarankan untuk menggunakan model UN ketika negosiasi dilakukan antara negara maju dengan negara berkembang ketimbang model OECD, melihat adanya kebutuhan khusus yang diperlukan negara berkembang.
Selanjutnya, negara berkembang yang ikut serta dalam komitmen Multilateral Instrument(MLI) akan mengalami beberapa penyesuaian dalam P3B mereka. Menurut Anda, bagaimana hal ini berdampak pada posisi mereka selanjutnya?
Tentu saja hal ini sangat sulit diprediksi secara akurat. Karena hal ini sangat bergantung pada dua hal, yaitu berapa banyak P3B yang dimiliki oleh suatu negara dan apakah negara tersebut sudah memiliki ketentuan domestik untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan P3B (treaty abuse).
Sayangnya, terdapat beberapa provisi lainnya, terutama dalam hal pendefinisian ulang BUT yang tidak dijadikan sebagai standar minimum bagi negara yang ikut menandatangani MLI. Dengan kata lain, dibutuhkan kedua negara yang berkaitan untuk sama-sama menerapkan provisi tersebut.
Jadi untuk elemen ini, disarankan agar negara berkembang yang tidak mencapai kesepakatan akan hal ini untuk melanjutkan upaya bilateral dengan negara mitra. Hal ini juga terjadi pada provisi lainnya, jika pemerintah suatu negara merasa lebih baik jika negosiasi dilakukan secara bilateral ketimbang melalui MLI, maka kedua negara tersebut akan berdiskusi bersama-sama untuk mencapai posisi yang lebih baik bagi keduanya.
Ke depannya, baik dalam menegosiasikan P3B yang baru atau meninjau yang sudah ada, bagaimana upaya yang dapat ditempuh oleh negara berkembang agar mereka dapat memiliki posisi daya tawar yang lebih kuat dalam proses negosiasi?
Dalam hal ini, kebijakan P3B menjadi hal yang sangat penting. Kebijakan P3B perlu dipahami sebagai kombinasi antara peraturan pajak domestik dan tujuan ekonomi yang ingin dicapai. Sebagai contoh, jika suatu negara memiliki banyak aktivitas pengilangan offshore minyak dan gas bumi di luar negeri, dan kemudian peraturan domestik mengenai bagaimana aktivitas tersebut dipajaki sudah dirumuskan, maka kepentingan untuk mempertahankan hak pemajakan tersebut harus terwakili dalam kebijakan P3B negara tersebut.
Dengan kata lain, kebijakan P3B merupakan bentuk upaya untuk menempatkan secara kontekstual peraturan domestik yang menjadi prioritas agar terwakili oleh dalam P3B. Jika kebijakan dapat disusun dengan baik, maka negara tersebut bisa memiliki posisi yang lebih kuat dari semula ketika negosiasi dimulai.
Tanpa kebijakan P3B, suatu negara akan cenderung kehilangan arah ketika negara mitra menawarkan suatu bargaining sehingga keputusan yang diambil dapat menjadi tidak tepat. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman akan konsekuensi yang akan terjadi di lapangan.
Dalam praktiknya, bagaimana cara memperjuangkan kebijakan P3B tersebut dalam proses negosiasi?
Pertama-tama perlu kita pastikan bahwa kebijakan P3B kita telah dirumuskan secara kuat dan didukung oleh parlemen dan menteri-menteri terkait. Selain itu perlu kita pahami juga bahwa kebijakan P3B yang kuat tidak hanya berguna bagi persiapan tim negosiator saja, namun juga sebagai pesan bagi negara maju yang ingin memiliki P3B dengan mereka.
Kemudian, ketika negosiasi di mulai, mereka harus menyatakan secara gamblang apa saja kebijakan mereka dan bahwa mereka secara konsisten menerapkan hal tersebut dengan negara lain, serta menekankan agar negara mitra menghargai tiap komponen kebijakan tersebut jika memang ingin memiliki P3B dengan mereka.
Secara global, apakah ada inisiatif yang dibutuhkan agar proses negosiasi dapat menguntungkan kedua pihak sehingga tidak terdapat ‘winner’ dan ‘loser’ dari hasil kesepakatan yang dicapai?
Seperti yang kita tahu, sekarang kita punya dua model utama yang sering dijadikan referensi, model OECD yang digunakan antara negara maju dan model UN yang lebih cocok digunakan ketika negosiasi dilakukan antara negara maju dan berkembang. Jika saya harus jujur, keadaan seperti ini sudah kuno dan sepatutnya ditinggalkan.
Dunia tidak akan selamanya terdiri dari dua macam kelompok negara, yaitu negara maju dan negara berkembang. Pada kenyataannya, sekarang banyak negara yang berada di tengah-tengah. Artinya, posisi satu negara yang sama akan sangat mungkin berbeda baik antara provisi dalam suatu P3B maupun antara satu P3B dengan P3B lainnya. Artinya, suatu negara dapat saja di satu kesempatan lebih ingin mengamankan hak pemajakannya sebagai negara sumber penghasilan (source state), sementara di kesempatan lain ingin memiliki hak pemajakan sebagai negara domisili (resident state).
Akan jauh lebih baik jika kita nantinya hanya akan memiliki satu model referensi saja, namun memiliki unsur fleksibilitas di dalamnya. Misalnya, tingkatan threshold atau definisi atas suatu BUT dapat ditetapkan secara berbeda untuk kasus yang berbeda sesuai kesepakatan. Jadi negara memiliki opsi dalam hal ini.
Bagaimana kira-kira bentuk model tersebut secara mendasar?
Tentu saja model tersebut tetap harus memiliki struktur dasar sebagaimana dimiliki oleh model OECD dan UN sekarang. Namun pada artikel-artikel krusial tertentu diberikan opsi yang dapat dipilih dan dinegosiasikan antara kedua negara. Lebih lanjut, untuk setiap opsi-opsi tersebut, dibahas pro dan kontra-nya pada bagian commentary.
Dalam pandangan saya, keberadaan model yang dinamis seperti ini tidak hanya memberikan fleksibilitas, namun juga kebermanfaatan yang lebih besar bagi kedua negara. Pada akhirnya, preferensi setiap negara tidak akan selamanya selalu sama (dengan berkembangnya ekonomi) sehingga akan lebih membantu jika pada saat negosiasi kedua negara hanya menggunakan satu model referensi saja. Bedanya, model tunggal ini mencakup berbagai opsi beserta pro dan kontra dari opsi tersebut. (Amu)