DENGAN terbentuknya MEA, negara-negara anggota ASEAN mendapat kesempatan untuk menciptakan kawasan ekonomi yang kompetitif yang dapat mentransformasikan ASEAN sebagai salah satu kawasan ekonomi yang terkuat di dunia. Perdagangan diantara negara-negara anggota ASEAN diharapkan meningkat secara signifikan.
Pada saat pemberlakuan MEA, isu pajak menjadi salah satu isu yang dicermati. Pajak berpotensi untuk mendukung atau menghalangi integrasi ekonomi di kawasan ASEAN. Pentingnya aspek pajak dalam pembentukan MEA juga diakui dalam cetak biru MEA. Hal ini ditunjukkan dengan diangkatnya dua isu pajak dalam cetak biru MEA.
Cetak biru MEA sendiri tidak banyak mengangkat isu pajak. Isu pajak hanya disebut dua kali dalam cetak biru MEA tersebut. Pertama, pada langkah aksi atas liberalisasi arus modal, yaitu sebagai berikut “Enhance withholding tax structure, where possible, to promote the broadening of investor base in ASEAN debt issuance”
Kedua, langkah perpajakan dalam cetak biru MEA dimasukkan sebagai bagian dari sub-karakateristik MEA kedua, yaitu pembentukan kawasan ekonomi yang kompetitif. Pernyataan aksi perpajakan untuk mendukung pembentukan kawasan ekonomi yang kompetitif adalah sebagai berikut “Complete the network of bilateral agreements on avoidance of double taxation among all Member Countries by 2010, to the extent possible”
Dari cetak biru MEA tersebut, dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya cetak biru MEA tidak memuat ketentuan yang mengatur tentang harmonisasi atau koordinasi kebijakan pajak diantara negara-negara ASEAN. Hal ini berarti, cetak biru MEA sebagai basis integrasi ekonomi di kawasan ASEAN tidak menciptakan satu rezim perpajakan yang sama diantara negara-negara ASEAN. Dengan kata lain, cetak biru MEA tidak membatasi kebijakan pajak masing-masing negara anggota, sehingga masing-masing negara berdaulat dalam menentukan tarif pajak dan basis pemajakan.
Namun demikian, isu pajak akan menjadi isu yang sangat signifikan ketika perekonomian diantara negara-negara ASEAN semakin terintegrasi. Dalam hal ini, pajak semestinya tidak menjadi penghalang bagi integrasi ekonomi di kawasan ASEAN.
Terkait pajak penghasilan, isu terbesar yang bakal dihadapi oleh MEA diantaranya adalah penghindaran pajak berganda dan penyelundupan pajak, harmonisasi tarif withholding tax, dan pencegahan harmful tax competition. Untuk pajak pertambahan nilai, perbedaan tarif pajak dan basis pemajakan, prosedur administrasi, serta adanya beberapa negara ASEAN yang belum menerapkan sistem PPN merupakan tantangan yang akan dihadapi.
integrasi ekonomi melalui liberalisasi arus barang, jasa, investasi, tenaga kerja terlatih, dan modal menyebabkan pergerakan perdagangan dan investasi di kawasan ASEAN semakin mudah mengalir dari satu negara ke negara lainya. Pergerakan aliran perdagangan dan investasi secara bebas diantara negara-negara ASEAN dapat menimbulkan kompetisi pajak (tax competition) di antara negara-negara ASEAN dalam upayanya merebut investasi dan faktor-faktor produksi lainnya tersebut.
Selain tarif pajak, kompetisi pajak juga dapat disebabkan oleh pemberian insentif pajak atas investasi. Terdapat kecenderungan penurunan tarif dan kompetisi dalam pemberian insentif pajak diantara negara-negara ASEAN. Penurunan beban PPh Badan ini merupakan konsekuensi dari upaya menciptakan lingkungan perpajakan yang kompetitif diantara negara-negara ASEAN, sehingga dapat menarik investasi dan memastikan laju pertumbuhan ekonomi.
Pilihan kebijakan pajak untuk menciptakan lingkungan perpajakan yang kompetitif merupakan bagian dari kedaulatan suatu negara dalam mendesain sistem perpajakan yang menurut mereka sesuai dengan tujuan negara tersebut. Oleh karena itu, kompetisi pajak merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Meski demikian, perlu perhatian khusus terhadap kompetisi pajak yang merugikan (harmful tax competition). Hal ini terjadi ketika kebijakan pajak di suatu negara berdampak negatif pada negara lain.
Langkah ideal untuk menjaga netralitas dalam perpajakan di kawasan ASEAN adalah melakukan harmonisasi pajak secara penuh, sehingga setiap negara memiliki aturan pajak yang sama dengan besaran tarif pajak yang sama. Dengan demikian, pada akhirnya semua negara ASEA dapat mencapai ‘level of playing field’ yang sama.
Akan tetapi, terdapat permasalahan dalam melakukan harmonisasi pajak secara penuh karena diperlukan kesepakatan secara politis diantara negara-negara ASEAN. Selain itu, kemampuan suatu negara untuk menyesuaikan kebijakan perpajakannya mengikuti kebutuhan investor merupakan bagian dari kedaulatan suatu negara yang semestinya dihormati oleh negara lain. Dengan kata lain, harmonisasi pajak secara penuh akan menyebabkan negara kehilangan kedaulatannya dalam menentukan kebijakan pajak.
Belajar dari pengalaman negara anggota Uni Eropa, harmonisasi pajak telah dilakukan untuk pajak tidak langsung. Karena, pajak tidak langsung merupakan penghalang terhadap liberalisasi perdagangan. Sementara, pajak langsung merupakan pajak atas penghasilan atau modal yang tidak memiliki dampak langsung atas liberalisasi perdagangan, tetapi berdampak pada distorsi terhadap investasi karena memengaruhi keputusan untuk berinvestasi, terutama terhadap beban pajak efektif atas investasi yang dilakukan. Oleh karenanya, harmonisasi pajak langsung merupakan isu sensitif secara politis diantara negara anggota Uni Eropa karena merupakan kedaulatan terakhir yang dimiliki oleh negara anggota Uni Eropa dalam menentukan arah kebijakan perpajakan mereka.
Dalam konteks ASEAN, Untuk menuju pada persaingan yang fair dalam kompetisi pajak, maka diperlukan suatu inisiatif diantara negara-negara anggota ASEAN dalam bentuk koordinasi pajak melalui penetapan suatu standar kompetisi pajak yang dianggap fair dan tidak merugikan diantara sesama negara ASEAN.