GLOBALISASI ditandai dengan beberapa hal, salah satunya adalah arus jasa, barang, dan modal yang semakin tidak terbatas. Secara tidak langsung hal ini mempengaruhi jumlah dan struktur penerimaan pajak di berbagai negara. Bagi perusahaan, globalisasi memungkinkan mereka untuk melakukan pengorganisasian bisnis dalam satu komando untuk tujuan bersama, yaitu memaksimalkan laba dan meminimalkan segala macam biaya, termasuk biaya pajak (tax expense).
Globalisasi memungkinkan mereka untuk memilih lokasi dan skema yang memberikan rate of return yang tertinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan adanya kompetisi untuk menarik investasi ke dalam masing-masing yurisdiksi. Kompetisi untuk mendapatkan modal, baik dalam bentuk portfolio investment maupun foreign direct investment, telah menekan berbagai negara untuk menurunkan tarif pajak korporasi (terutama di negara maju) ataupun pemberian insentif pajak (negara berkembang).
Bagaimana Indonesia?
Terkait Indonesia, pemerintah telah memberikan berbagai rejim investasi pajak, mulai dari tax holiday, tax allowance, pengembangan KAPET, KEK, dan sebagainya. Hal yang sama juga dilakukan oleh banyak negara berkembang, salah satunya Tiongkok. Lalu, bagaimana tingkat kesuksesan insentif pajak dalam menarik investasi?
Berbagai penelitian empiris yang dilakukan menyatakan bahwa insentif akan semakin elastis terhadap investasi jika prasyarat lain tersedia, misalkan infrastruktur, potensi pasar, kestabilan politik, dan sebagainya. Bagi banyak pihak, insentif pajak di negara berkembang (termasuk Indonesia) ditenggarai tidak terlalu banyak berpengaruh sebagai faktor utama dan justru menjadi unnecessary tax expenditure.
Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah tidak terlalu berlebihan dalam memberikan insentif pajak. Sebaiknya, pemerintah juga fokus kepada faktor-faktor lain yang lebih elastis terhadap investasi.
Walau demikian, jika memang arah kebijakan pemerintah tetap berpihak pada insentif, rejim insentif pajak di Indonesia harus memperhatikan dua hal. Pertama, kestabilan rejim insentif dan tepat sasaran, sehingga ketentuan insentif harus tidak banyak berubah, stabil, dan dapat diprediksi kepastiannya. Kedua, sebaiknya menghindari pemberian insentif pajak yang berbasis diskresi, namun harus disaring dan diuji lewat sistem (rules vs. discretion).
Terkait dengan data investasi asing yang masuk ke Indonesia, terdapat hal yang menarik untuk diamati. Menurut data IMF, CDIS, per 2013 lima negara yang menjadi sumber inward direct investment di Indonesia adalah: Singapura, Belanda, Jepang, Mauritius, dan United Kingdom.
Memang benar bahwa kita telah sejak lama membina hubungan politik dan ekonomi dengan negara-negara tersebut. Namun, mengapa negara-negara yang sering dikategorikan sebagai tax haven atau preferential tax regime seperti Singapura, Belanda, dan Mauritus adalah sumber investasi asing terbesar?
Jika kita perluas lagi hingga 10 besar negara yang menanamkan modal ke Indonesia, maka kita dapat menemukan nama: Seychelles dan British Virgin Island. Fakta yang sama juga dapat ditemui jika melihat data di negara berkembang. Investasi asing di negara-negara seperti Tiongkok, India, Peru ataupun Filipina bersumber terutama dari nama-nama: Hong Kong, Panama, Cayman Island, Swiss, Luxembourg, dan sebagainya. Jika ditelaah lebih lanjut, sepertinya tidak terdapat substansi ekonomi yang besar dari negara-negara tersebut. Di sisi lain, mereka justru seringkali menjadi tempat ‘persinggahan’ aliran dana global sebelum diinvestasikan ke negara berkembang, terutama untuk motivasi tax saving.
Oleh karena itu, data investasi asing tersebut harusnya dapat dipahami sebagai indikasi adanya upaya untuk melarikan pajak, baik dengan caranya yang sederhana maupun dengan skema yang semakin kompleks. Keterlibatan preferential tax regime dalam global value chain perusahaan multinational yang beroperasi di Indonesia harus dilihat sebagai risiko bagi penerimaan PPh Badan. Saat ini upaya memerangi harmful tax competition oleh preferential tax regime telah direkomendasi oleh OECD, lewat BEPS Action Plan 5.