PERSPEKTIF

Menuju Tarif PPh Orang Pribadi Lebih Progresif

Redaksi DDTCNews
Rabu, 26 Mei 2021 | 09.37 WIB
ddtc-loaderMenuju Tarif PPh Orang Pribadi Lebih Progresif
Managing Partner DDTC

Reformasi PPh orang pribadi (PPh OP) menjadi salah satu agenda yang akan dilakukan pemerintah, sebagaimana tertuang dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022. Rencananya, akan ada penambahan lapisan penghasilan kena pajak (tax bracket) baru, yaitu penghasilan lebih dari Rp5 miliar/tahun dengan tarif sebesar 35%.

Agenda tersebut bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih sehat dan adil. Penyesuaian tersebut memang sudah lama tidak dilakukan. Jenjang tarif tersebut terakhir diperbaharui pada 2009 sebagaimana diatur Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.

Dalam ketentuan saat ini, terdapat 4 layer penghasilan kena pajak dengan besaran tarif PPh yang berbeda-beda. Pertama, penghasilan kena pajak sampai Rp50 juta dengan tarif 5%. Kedua, penghasilan kena pajak di atas Rp50 juta-Rp250 juta dengan tarif 15%. Ketiga, penghasilan kena pajak di atas Rp250 juta-Rp500 juta dengan tarif 25%. Keempat, penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta dengan tarif 30%.

Lantas, bagaimana kita perlu memaknai agenda tersebut? Bagaimana tren dan justifikasinya?

Justifikasi

Menurut Gerber, Klemm, dan Mylonas (2018), penyesuaian tax bracket dan struktur tarif PPh OP perlu dilakukan secara berkala atas dasar dua tujuan. Pertama, mempertahankan progresivitas sistem pajak secara keseluruhan. Kedua, upaya mengoptimalkan penerimaan dengan memperhatikan perilaku ekonomi dan stabilitas pertumbuhan.

Secara teori dan international best practices, terdapat beberapa justifikasi utama bagi Indonesia.

Pertama, inflasi. Seiring berjalannya waktu, penghasilan riil (real income) yang telah ditentukan di tiap tax bracket otomatis menurun, tapi tetap dikenakan tarif pajak yang sama. Dengan kata lain, tarif pajak yang sama akan semakin menyasar masyarakat yang memiliki real income lebih rendah.

Ini menandakan penyesuaian dibutuhkan untuk mengembalikan progresivitas dan menegakkan prinsip keadilan PPh OP. Idealnya, penyesuaian tax bracket PPh OP perlu dilakukan secara periodik. Rutinitas tersebut telah diimplementasikan di beberapa negara seperti Turki, Meksiko, Italia, Korea Selatan, dan Slovakia.

Kedua, menjamin ability to pay. Tidak dapat dipungkiri, fitur utama sistem pajak penghasilan agar mampu meredistribusi beban sesuai ability to pay adalah tax bracket beserta tingkatan tarifnya. Dengan merujuk pada prinsip tersebut, sesungguhnya rezim PPh OP bermaksud untuk mewujudkan vertical equity dan mengurangi ketimpangan.

Francese dan Mulas-Granados (2015) menemukan bahwa ketimpangan di berbagai negara disebabkan oleh lebih pesatnya pertumbuhan penghasilan dari kalangan kaya ketimbang kelompok masyarakat lainnya. Oleh karena itu, upaya optimalisasi penerimaan pajak sangat perlu difokuskan kepada kelompok masyarakat yang paling banyak menerima bagian (income share) dari total pendapatan masyarakat (Atkinson, Piketty, dan Saez, 2011).

Ketiga, strategi dalam konsolidasi fiskal. Penyesuaian tarif tertinggi merupakan wujud dari solidaritas dan kontribusi dari kelompok kaya. Menurut de Mooij, et al. (2020), progresivitas PPh justru perlu ditingkatkan agar kelompok kaya berpartisipasi lebih banyak dalam penerimaan pajak.

Berdasarkan survei OECD per April kemarin, beberapa negara juga menggunakan strategi penyesuaian tax bracket dan tarif tertinggi dalam rangka penerimaan. Sebagai contoh, Korea Selatan menambah tax bracket baru yaitu penghasilan lebih dari 1 miliar won dengan tarif sebesar 45%. Kolombia menambah 3 tax bracket baru dengan tarif lebih tinggi yaitu 35%, 37%, dan 39%.

Keempat, perbandingan dengan tarif negara lain. Kebijakan tarif pada dasarnya juga turut berpengaruh bagi daya saing dan mobilitas individu, khususnya kelompok kaya. Sebagai catatan, penentuan tarif PPh tertinggi yang optimal akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda-beda di setiap negara (Bakija, 2013).

Saat ini, tarif teratas PPh OP di Indonesia masih di bawah rata-rata dunia sebesar 31,3% maupun G-20 sebesar 39,2%. Oleh karena itu, ruang untuk meningkatkan tarif masih terbuka.

Kelima, kontribusi penerimaan PPh OP belum optimal. Sebagai ilustrasi, perhitungan DDTC Fiscal Research menunjukkan bahwa tax gap di sektor PPh OP masih berada di angka 57,9%.

Oleh karena itu, adanya strategi penyesuaian tarif dan tax bracket dirasa perlu. Rencana ini juga selaras dengan rencana pemerintah untuk mulai fokus pada optimalisasi kepatuhan dari high net worth individual maupun resep IMF dan OECD mengenai revisi struktur PPh OP.

Beberapa Catatan

Jika argumentasi kebijakan tersebut bermaksud untuk mewujudkan keadilan, sejatinya penyesuaian tarif dan tax bracket harus ditopang oleh beberapa pertimbangan lain.

Terdapat kecenderungan bahwa semakin kaya seseorang, semakin besar proporsi penghasilan yang berasal dari modal (passive income). Sayangnya, pengenaan pajak bagi penghasilan pasif tersebut umumnya tidak merujuk kepada struktur PPh OP yang berlaku umum, tapi justru diatur dalam rezim yang terpisah (schedular tax system) dengan tarif yang lebih rendah (OECD, 2014).

Ketimpangan di Indonesia juga bukan hanya soal penghasilan, tetapi juga tidak meratanya distribusi aset, kekayaan, dan ketimpangan akibat akumulasi kekayaan antar generasi (Kristiaji, 2018). Oleh karena itu, skenario pengenaan pajak berbasis kekayaan maupun pajak warisan bisa turut dipertimbangkan (Darussalam, Kristiaji, dan Yustisia, 2019).

Hal penting lainnya ialah pembenahan administrasi pemajakan atas orang kaya (high net-worth individual/HNWI) melalui integrasi data, profiling, dan paradigma kepatuhan kooperatif. Memajaki kelompok HNWI memang bukan suatu persoalan yang mudah, mengingat mereka inilah yang memiliki akses lebih baik kepada konsultan, sistem keuangan global, hingga kekuatan politik.

Jika disetujui oleh DPR, penyesuaian tarif PPh OP tertinggi menjadi 35% juga akan membuat selisih yang kian besar dengan tarif PPh badan. Hal tersebut berpotensi mendorong adanya kegiatan memupuk penghasilan di tingkat perusahaan atau memberikan tambahan kemampuan ekonomis kepada pegawai melalui fasilitas. Untuk mencegah hal tersebut, skema pengenaan pajak atas natura (fringe benefit tax) bisa turut dipertimbangkan.

Sebagai penutup, penambahan tax bracket dengan tarif lebih tinggi dari tarif maksimum saat ini merupakan hal yang logis dilakukan. Idenya adalah menjamin kontribusi dan solidaritas nasional melalui sistem pajak, terutama pada masa konsolidasi fiskal yang bertepatan dengan fase awal pemulihan ekonomi.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.