Sri Lestari Pujiastuti,
ADA yang menarik dalam rapat kerja pembahasan RUU KUP di Komisi XI DPR yang dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Senin (28/06/2021). Pemerintah mengusulkan kesetaraan pengenaan sanksi dalam upaya hukum.
Pemerintah berencana mengenakan sanksi kepada wajib pajak jika putusan peninjauan kembali (PK) mengabulkan permohonan Ditjen Pajak (DJP). Benarkah usulan tersebut mengakibatkan ketidakpastian pajak makin tinggi atau justru menciptakan kesetaraan dalam hukum pajak?
Seperti diketahui, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memberi kewenangan otoritas pajak untuk melakukan pengujian atas kepatuhan wajib pajak melalui fungsi penegakan hukum (law enforcement), salah satunya melalui pemeriksaan pajak (tax audit).
Sering kali keputusan yang diterbitkan, sebagai akibat pelaksanaan penegakan hukum, menimbulkan sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak. Salah satu contoh keputusan yang dimaksud adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Untuk memberi rasa keadilan dan kepastian hukum atas penetapan tertulis yang diterbitkan DJP, UU telah memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan serangkaian upaya hukum. Upaya hukum itu mulai dari keberatan, banding, hingga upaya hukum luar biasa berupa PK ke Mahkamah Agung (MA).
Sesuai dengan UU KUP, proses keberatan dan banding menangguhkan proses penagihan pajak atas jumlah pajak yang tidak disetujui wajib pajak. Sebagai imbangannya, Pasal 27 ayat (5d) UU KUP mengatur jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak sebelum pengajuan keberatan.
Pengenaan sanksi tersebut dapat dipahami mengingat tertundanya pemasukan pajak ke kas negara. Bandingkan dengan wajib pajak lain yang tidak mengajukan keberatan maupun banding, jumlah pajak yang masih harus dibayar wajib dilunasi dalam tempo satu bulan sejak SKP diterbitkan.
Pengenaan sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP adalah konsekuensi logis karena adanya perlawanan atas Surat Keputusan Keberatan yang telah terbukti benar berdasarkan pada putusan Hukum Pengadilan Pajak, tertundanya pembayaran, lebih lamanya penagihan pajak. Pengenaan sanksi administrasi itu telah dibenarkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 30/PUU-X/2012.
Lain halnya dengan PK, permohonan PK tidak menangguhkan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak, termasuk dalam putusan pemberian imbalan bunga. Adapun pemberian imbalan bunga dilakukan bila putusan banding mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak. Putusan banding yang mengabulkan permohonan wajib pajak juga mengakibatkan gugurnya sanksi Pasal 27 ayat (5d) KUP.
Lantas, persoalan kemudian muncul ketika di kemudian hari, DJP mengajukan PK dan MA mengabulkan permohonan DJP.
Memang, UU Cipta Kerja telah memberikan kewenangan DJP untuk menagih kembali imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP). Namun, regulasi itu luput memberikan kewenangan kepada DJP untuk menagih sanksi administrasi. Padahal, sanksi administrasi berupa denda sesuai Pasal 27 ayat (5d) UU KUP sudah terlanjur gugur karena pelaksanaan putusan banding.
FONDASI penegakan hukum pajak didasarkan kepada UU Perpajakan. Adam Smith menyebut syarat pemungutan pajak yang baik harus memenuhi empat asas, yakni kesamaan (equality) dan keadilan (equity), kepastian hukum (certainty), tepat waktu (convenient of payment), dan economic of collection. Suatu kebijakan dikatakan adil bila terdapat keseimbangan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
Fondasi penegakan hukum yang berikutnya adalah penerapan sanksi perpajakan. Meski bukan satu-satunya, peraturan yang adil dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Ketaatan timbul dengan sendirinya jika hukum dirasa adil.
Santoso Brotodihardjo (1978) menyatakan hukum pajak harus memberi jaminan hukum yang perlu untuk mendapatkan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Untuk itu, para wajib pajak harus mendapatkan jaminan hukum agar mereka tidak diperlakukan dengan semena-mena oleh fiskus dan aparaturnya.
Santoso mengatakan ada jaminan hukum bagi wajib pajak untuk menggunakan upaya hukum keberatan dan banding tersebut. Sebagai imbangannya, fiskus harus mendapat jaminan hukum agar pekerjaan pemungutan pajak dapat dilaksanakan dengan lancar dan percobaan penghindaran pajak oleh wajib pajak dapat dicegah.
Oleh karena itu, ketentuan yang memberikan upaya hukum bagi wajib pajak selalu disertai sanksi bagi wajib pajak yang mencoba menghindarkan diri dari kewajiban perpajakannya.
Selain berfungsi sebagai generale preventive atau pencegahan umum terjadinya suatu pelanggaran hukum, adanya sanksi juga dimaksudkan untuk memperbaiki pelaku yang melakukan pelanggaran hukum.
Bila kita teliti lebih jauh, belum adanya regulasi yang mengatur pengenaan sanksi administrasi apabila putusan PK MA mengabulkan permohonan DJP. Hal ini jelas menunjukkan adanya ketidaksetaraan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
Sebagai wujud keseimbangan/kesetaraan (mutual respect) dari pemberian kesempatan dan imbalan bunga, pengenaan sanksi sebagaimana diterapkan pada proses banding, sangat patut untuk diimplementasikan.
Toh, seperti pada keberatan atau banding, sanksi yang timbul masih bersifat abstrak normatif. Sanksi baru dikenakan kepada wajib pajak jika permohonan PK DJP dikabulkan MA, baik sebagian atau seluruhnya.