ANALISIS

Jaminan Kerahasiaan Data Tax Amnesty

Redaksi DDTCNews
Kamis, 16 Juni 2016 | 13.34 WIB
ddtc-loaderJaminan Kerahasiaan Data Tax Amnesty
DDTC Consulting

PENJARINGAN data dan informasi mengenai harta milik wajib pajak (WP) adalah salah satu tujuan penting pengampunan pajak (tax amnesty). Dari situlah diperoleh keterangan yang berguna untuk menjamin kepatuhan pajak di masa mendatang.

Namun, data keuangan adalah informasi sensitif. Karena itu, harus ada jaminan data tersebut tidak akan dibocorkan atau dipakai selain untuk keperluan perpajakan. Jaminan ini juga meningkatkan kepercayaan WP sekaligus mendorong pengungkapan penuh atas informasi keuangannya.

Menjamin kerahasiaan data dalam program tax amnesty berkaitan dengan manajemen pengelolaan data tax amnesty. Manajemen ini mencakup kerahasiaan data yang diungkapkan, institusi pengelola, verifikasi data yang diungkapkan, serta pengelolaan basis data untuk kepatuhan di masa mendatang.

Kerahasiaan Data

SALAH satu konsensus yang diakui secara internasional dalam perlindungan data WP adalah Piagam WP yang dikeluarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Piagam ini antara lain mengatur tentang hak atas privasi dan hak atas kerahasiaan.

Hak atas privasi berarti otoritas pajak hanya mengajukan pertanyaan guna memeriksa apakah WP telah memenuhi kewajiban perpajakannya, mencari informasi yang relevan dengan pertanyaan yang diajukan, serta memperlakukan informasi WP sebagai suatu hal yang rahasia.

Adapun, hak atas kerahasiaan berarti otoritas pajak wajib untuk tidak memakai atau membocorkan data dan informasi pribadi atau keuangan WP, kecuali telah diperkenankan secara hukum, dan hanya mengizinkan petugas yang berwewenang untuk mengakses data atau informasi tersebut.

Amanat untuk menjaga kerahasiaan data keuangan WP yang diemban Ditjen Pajak ini juga ditegaskan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP).

Selanjutnya, UU KUP secara eksplisit juga telah mengatur sanksi apabila ada pelanggaran. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP, pejabat yang tidak merahasiakan data karena kealpaannya atau dengan sengaja akan dikenakan sanksi pidana.

Oleh sebab itu, kerahasiaan informasi harus diatur secara khusus dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak, sehingga para pejabat yang tidak sanggup memenuhi kewajiban tersebut akan terkena sanksi pidana sesuai dengan ketentuan.

Pengamanan terhadap informasi yang disimpan juga akan turut berperan membangun kepercayaan masyarakat (Kristoffersson dan Pistone, 2013). Pengamanan itu ditempuh dengan standar keamanan yang mumpuni, sehingga informasi yang tersimpan tidak dapat diakses dan disalahgunakan pihak lain.

Institusi Pengelola

TERKAIT dengan penerapan tax amnesty, sempat terdengar isu bahwa pemerintah akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengampunan Pajak, yang akan bekerja sama dengan instansi pemerintah dan lembaga lainnya untuk menyelenggarakan manajemen data dan informasi sebagai basis data nasional.

Jika demikian, informasi yang dikumpulkan dalam program pengampunan pajak akan dipegang oleh Satgas pengampunan pajak, lembaga independen di luar Ditjen Pajak (DJP), sehingga dikhawatirkan manajemen data yang dilakukan menjadi tidak efektif dan rawan kebocoran.

Idealnya, pengelolaan data WP tetap dipegang DJP sebagai pihak yang diberi wewenang untuk melaksanakan kebijakan di bidang perpajakan. Hal ini juga dilakukan di Kanada dan Amerika Serikat, di mana pengelolaan data dilakukan otoritas pajak masing-masing negara (Melherbe, 2011).

Verifikasi Data

SIFAT utama pengampunan pajak di antaranya pengungkapan harta yang sukarela. Proses verifikasi berguna untuk menjamin bahwa informasi yang diungkapkan WP adalah informasi yang jujur, lengkap dan sebenar-benarnya.

Untuk dapat membuktikannya, DJP perlu bekerja sama dengan pihak ketiga. Di berbagai negara yang telah menerapkan pengampunan pajak misalnya, proses verifikasi merupakan salah satu yang diatur khusus, yang melibatkan pihak ketiga.

Di Italia dan Belgia, WP yang merepatriasi aset harus mentransfer kekayaannya ke bank dalam negeri dan melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang dilengkapi dengan surat keterangan dari bank atau pihak ketiga lainnya, yang berisi pernyataan bahwa harta yang dilaporkan benar adanya.

Di Filipina, terdapat sanksi bagi WP yang melaporkan harta di bawah nilai yang tidak sebenarnya. Apabila selisih harta bersih yang dilaporkan lebih dari 30%, maka akan dikenakan penalti atas ketidakbenaran pelaporan tersebut.

Basis Data

SALAH satu indikator keberhasilan tax amnesty adalah pengelolaan data untuk kepatuhan di kemudian hari. Karena itu, pengampunan pajak yang dilakukan nantinya tidak hanya memberikan peningkatan penerimaan pajak pada satu titik, melainkan kesinambungan penerimaan di tahun berikutnya.

Untuk mengembangkan sistem datanya, Indonesia dapat mengambil contoh dari Filipina dan India. Atas penerimaan dari tax amnesty, Pemerintah Filipina menyisihkan ₱400 juta setara dengan Rp115 miliar untuk membangun teknologi penyimpanan data yang terintegrasi.

Sementara itu, India menerapkan Integrated Taxpayer Data Management System (ITDMS). Sistem itu sekaligus berfungsi sebagai alat menggali data transaksi WP yang berasal dari berbagai sumber, serta memetakan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa melalui pembentukan silsilah keluarga.

Untuk meningkatkan kepatuhan pajak di masa mendatang, tidak ada pilihan lain, Indonesia harus membangun sistem data perpajakan yang dapat diandalkan. Menyisihkan penerimaan tax amnesty untuk keperluan itu tentu akan membantu upaya merealisasikan sistem tersebut.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.