MENDESAIN PAJAK NATURA DAN KENIKMATAN (2)

Meninjau Desain Klasifikasi Objek Pajak atas Natura dan Kenikmatan

DDTC Fiscal Research and Advisory
Jumat, 27 Januari 2023 | 08.00 WIB
ddtc-loaderMeninjau Desain Klasifikasi Objek Pajak atas Natura dan Kenikmatan

TERBITNYA Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) turut menandai era baru perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan di Indonesia. Perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh) yang termuat dalam UU HPP mengatur pada prinsipnya natura dan/atau kenikmatan dapat dibiayakan oleh pemberi kerja dan merupakan penghasilan bagi pegawai penerima (objek pajak).

Sesuai dengan amanat UU HPP, ketentuan PPh atas natura dan/atau kenikmatan itu mulai berlaku pada tahun pajak 2022. Namun, pemerintah baru mengundangkan aturan turunan berupa PP 55/2022 pada 20 Desember 2022. Saat ini, pemerintah juga masih menyusun ketentuan teknis lanjutan dalam peraturan menteri keuangan (PMK).

Bersamaan dengan momentum penyusunan ketentuan teknis tersebut, DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) merilis artikel analisis berseri dengan topik Mendesain Pajak Natura dan Kenikmatan. Artikel analisis berseri ini diharapkan melengkapi berbagai ulasan yang sudah disajikan DDTCNews, termasuk dalam Fokus sebelumnya dengan judul Bersiap, Penghasilan Selain Uang Bakal Kena Pajak.

Bahasan komprehensif berdasarkan pada riset diharapkan dapat memberikan pemahaman yang tepat mengenai PPh atas natura dan/atau kenikmatan, baik bagi masyarakat wajib pajak maupun pengambil kebijakan. Melalui artikel analisis berseri, DDTC FRA akan mengulas mulai dari filosofi, elemen desain, objek, aspek administrasi, hingga studi komparasi di berbagai negara.

Setelah membahas tentang filosofi dan kerangka desain PPh atas natura dan/atau kenikmatan pada seri sebelumnya, pada seri kedua ini, DDTC FRA akan mengulas tentang penentuan klasifikasi objek pajak natura dan/atau kenikmatan dan tinjauan best practice di berbagai negara.

***

Desain pengaturan pajak atas natura dan/atau kenikmatan di berbagai negara sangat bervariasi. Setiap negara memiliki skema yang berbeda satu sama lain. Dalam menetapkan kelompok objek dan non-objek pajak natura dan/atau kenikmatan, terdapat 2 pendekatan yang umumnya digunakan, yakni pendekatan positive list dan negative list.

Dalam pendekatan positive list, daftar objek ditetapkan sebagai objek yang dipajaki (taxable income) sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Artinya, jika tidak masuk dalam positive list maka objek tersebut tidak dikenai pajak.

Sebaliknya, dalam pendekatan negative list, daftar objek yang ditetapkan merupakan objek yang tidak dikenai pajak atau dikecualikan dari pengenaan pajak (non taxable income). Oleh sebab itu, apabila tidak masuk ke dalam negative list, objek tersebut dapat diklasifikasikan sebagai objek kena pajak.

Pada dasarnya, penentuan klasifikasi antara objek dan non-objek pajak ini merupakan salah satu elemen substansial dalam konteks penerapan pajak atas natura dan/atau kenikmatan. Penentuan klasifikasi ini pada ujungnya akan menentukan bagaimana aspek perpajakannya lebih lanjut.

Aspek yang dimaksud mulai dari valuasi atas natura dan/atau kenikmatan tersebut, kriteria dan threshold tertentu, hingga cara sistem administrasi yang harus dijalankan.

Penerapan Best Practice

PENENTUAN klasifikasi objek pajak natura dan/atau kenikmatan dapat ditinjau dari best practice di berbagai negara. Dalam praktiknya, mayoritas negara justru tidak hanya berpaku pada satu pendekatan saja, tetapi juga menggunakan sistem kombinasi antara positive list dan negative list.

Berdasarkan pada hasil studi komparasi yang dilakukan DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) terhadap 46 negara pada 2022, sebanyak 34 negara (74%) menganut sistem klasifikasi positive list dan kemudian menetapkan pengecualiannya (negative list).

Artinya, penentuan klasifikasi objek pajak natura dan/atau kenikmatan pada awalnya berpijak pada positive list, baru kemudian penentuan negative list-nya. Adapun sisanya, sebanyak 12 negara (26%) menganut sistem negative list.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem kombinasi antara positive list dan negative list lebih cenderung dipilih (preferable) dalam menerapkan pajak atas natura dan/atau kenikmatan karena lebih memberikan kepastian hukum.

Fiji dan Australia dapat menjadi contoh negara yang menggunakan klasifikasi sistem kombinasi (positive list dan exemption). Di sisi lain, Iran dan Maladewa menjadi contoh negara yang menggunakan klasifikasi sistem negative list.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Dalam kasus Indonesia, pendekatan klasifikasi yang digunakan adalah negative list. Hal ini sebagaimana tercermin dalam ketentuan UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.

Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh s.t.d.t.d UU HPP telah ditetapkan 5 kelompok objek natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan. Adapun kelima kelompok objek yang dikecualikan tersebut meliputi:

  • makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh karyawan;
  • natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
  • natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;
  • natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa); atau
  • natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Ketentuan non-objek natura dan/atau kenikmatan pun diperinci melalui PP 55/2022. Namun, PP 55/2022 hanya memberi penjelasan lebih detail atas negative list yang diatur dalam UU HPP. Artinya, masih belum ada sekat pembatas secara jelas mengenai natura dan/atau kenikmatan yang menjadi objek pajak. Dengan demikian, kelompok objek pajak natura dan/atau kenikmatan masih terlalu luas.

Berkaca dari implementasi pajak natura dan/atau kenikmatan di berbagai negara, pendekatan positive list maupun negative list pada dasarnya sama-sama digunakan secara bertahap untuk saling melengkapi dan lebih memberikan kepastian bagi wajib pajak.

Kombinasi positive list dan negative list tersebut dapat menjadi pertimbangan ketika dalam penyusunan desain kebijakan dinilai memerlukan gabungan antara keduanya (Vanistendael, 1996).

Secara konsep, pendekatan dimulai dengan pengaturan positive list dan kemudian dilanjutkan pengecualian tertentu (Thuronyi, 1996). Dengan mempertimbangkan konteks pengaturan pajak natura dan/atau kenikmatan di Indonesia, pendekatan terkait klasifikasi objek pajak ini dapat menjadi catatan penting untuk ditinjau lebih dalam.             

Catatan Bagi Indonesia

PENENTUAN secara negative list membawa implikasi masih luasnya lingkup objek natura dan/atau kenikmatan yang dapat dijadikan objek PPh. Akibatnya, persoalan atau perbedaan interpretasi antara otoritas dan wajib pajak dapat terjadi.

Hal tersebut juga membawa pada pertanyaan apakah jika atas suatu objek natura dan/atau kenikmatan yang tidak termasuk ke dalam 5 kelompok yang dikecualikan tersebut, lantas secara otomatis menjadi objek pajak?

Jika iya, dapat dipersepsikan akan ada banyak objek pajak natura dan/atau kenikmatan yang ditambahkan pada penghasilan karyawan. Hal ini tentunya membuka ruang interpretasi yang begitu luas bagi wajib pajak dalam penentuan suatu natura dan/atau kenikmatan merupakan objek atau non-objek pajak.

Selain itu, merujuk pada naskah akademis UU HPP (dahulu RUU KUP), salah satu pertimbangan pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan adalah kian maraknya penghasilan dalam bentuk nontunai yang diterima influencer ketika melakukan endorsement barang/jasa. Atas natura/kenikmatan tersebut belum dipajaki.

Dari perspektif tersebut, tersirat bahwa pengenaan pajak natura dan/atau kenikmatan mencakup subjek pajak orang pribadi yang merupakan pegawai dan bukan pegawai. Namun, natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai dan bukan pegawai pada dasarnya memiliki filosofi dan skema yang relatif berbeda. Simak ‘Filosofi dan Kerangka Desain Pajak Penghasilan atas Natura’.

Persoalannya adalah pada saat ini, UU HPP dan PP 55/2022 hanya mengecualikan jenis natura dan/atau kenikmatan tertentu yang dikenakan PPh. Cakupan yang terlalu luas juga dapat memengaruhi skema benefit yang diterima pegawai dari pemberi kerja di masa mendatang sehingga dapat berdampak bagi hubungan pekerjaan.

Mencermati tantangan tersebut, tidak mengherankan jika banyak negara pun umumnya tidak mengenakan pajak atas natura/kenikmatan melalui skema negative list.

Untuk itu, ketentuan teknis mengenai natura dan/atau kenikmatan sebaiknya menganut positive list. Pembentukan ketentuan teknis pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan dengan sistem positive list dengan batasan jelas patut menjadi pertimbangan bagi pemerintah.

Dengan mengombinasikan kedua pendekatan tersebut, penerapan pajak atas natura dan/atau kenikmatan dapat lebih memberikan kepastian (Meade, 1978). Di sisi lain, penerapan pajak atas natura dan/atau kenikmatan dapat terwujud sesuai dengan konteks dan tujuan utamanya.

Perumusan positive list tersebut dapat dimulai dengan mengelompokkan natura dan/atau kenikmatan ke dalam beberapa kategori terlebih dahulu. Keberadaan kategorisasi yang jelas akan memudahkan penentuan objek dan batasan selanjutnya dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kesederhanaan, kepastian, dan produktivitas ekonomi (Adamache, 1985).

Terdapat beberapa pertimbangan yang bisa digunakan dalam menetapkan kategori tersebut. Pertama, berdasarkan pada dalam konteks serta tujuan apa natura dan/atau kenikmatan tersebut diberikan. Ketika suatu natura dan/atau kenikmatan diberikan sebagai bagian dari kepentingan operasional atau tujuan bisnis perusahaan, sebaiknya hal tersebut dikeluarkan dari objek pajak natura (Rigby, 1985).

Sebaliknya, natura dan/atau kenikmatan yang diberikan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan tidak memiliki hubungan langsung dengan kepentingan perusahaan bisa dipertimbangkan menjadi objek pajak natura. Dengan pendekatan demikian, akan terdapat keselarasan antara tambahan kemampuan ekonomis dengan beban pajak yang dikenakan.

Kedua, berdasarkan pada bagaimana natura dan/atau kenikmatan tersebut dimanfaatkan. Suatu natura dan/atau kenikmatan akan menjadi problematika untuk dipajaki ketika dinikmati secara kolektif (joint benefit).

Selain pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan dengan karakteristik tersebut sulit untuk divaluasi per individu, pembuktian akan pemanfaatan natura dan/atau kenikmatan tersebut juga sulit dilakukan secara administratif. Oleh karena itu, kategorisasi yang jelas dibutuhkan agar nantinya dapat memungkinkan untuk dilakukan secara administratif.

Ketiga, berdasarkan pada di mana natura tersebut diberikan (location-based). Sebagai contoh, pajak atas natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan diberikan di daerah terpencil dalam rangka menjamin kesejahteraan dan keamanan karyawan dapat dibedakan perlakuannya dengan natura dan/atau kenikmatan sama yang diberikan di daerah perkotaan.

Keempat, berdasarkan pada bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan. Bentuk natura dan/atau kenikmatan dapat dipertimbangkan sebagai objek dan non-objek pajak bergantung pada karakteristik nilai ekonomi dan sosial yang melekat. Bentuk natura dan/atau kenikmatan yang dianggap sebagai kebutuhan pokok dan diberikan pada situasi yang mendukung dapat dinilai sebagai non-objek pajak natura.

Kelima, berdasarkan pada perbedaan nilai marginal manfaat dan biaya yang diperoleh karyawan ketika natura dan/atau kenikmatan tersebut diterima dari pemberi kerja dan diperoleh sendiri dari pasar.

Ketika suatu natura dan/atau kenikmatan tidak akan dikonsumsi oleh seorang karyawan meskipun diberi oleh pemberi kerja maka pemberian tersebut tidak menambah marginal utility yang bersifat subsitusi dengan preferensi konsumsi pribadinya (Kaitz dan Mankiw, 1985).

Ketika suatu pemberian natura dan/atau kenikmatan tidak mengurangi atau mengubah keranjang konsumsi (consumption basket) karyawan, pada hakikatnya natura dan/atau kenikmatan tersebut tidak menambah kemampuan ekonomis karyawan sehingga tidak memenuhi definisi penghasilan. Dalam konteks demikian, dapat dikatakan bahwa pemberian natura dan/atau kenikmatan tersebut dilakukan bukan untuk kepentingan karyawan, melainkan pemberi kerja.

Kategorisasi Perincian Natura dan/atau Kenikmatan

BERDASARKAN pada berbagai literatur, seperti Marks (1985), Artz (2010), dan Balagova (2022), dapat dirumuskan setidaknya 11 macam kategori pengelompokan natura dan/atau kenikmatan, yakni misalnya makanan dan minuman, akomodasi, fasilitas kesehatan, pendidikan, kendaraan, asuransi, keanggotaan (membership) rekreasi dan olahraga, penghargaan, pelatihan, dan pinjaman lunak.

Dengan kategorisasi tersebut, lebih mudah untuk menentukan perincian lebih lanjut terkait dengan batasan, valuasi, dan pengecualian yang dibutuhkan. Setelah dikategorisasikan, berbagai macam natura dan/atau kenikmatan yang menjadi objek dan non-objek dapat diperinci lebih lanjut dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan kepastian.

Pada tahap awal, natura dan/atau kenikmatan yang dikenakan pajak (positive list) tersebut dapat ditetapkan secara bertahap seiring waktu dengan memperhatikan dinamika ekonomi dan aspek administrative feasibility.

Sebagai contoh, fasilitas pendidikan dapat dikategorikan sebagai non-objek natura apabila pendidikan yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan pegawai (Selandia Baru, Filipina dan Denmark). Meskipun demikian, di India misalnya, apabila fasilitas pendidikan diberikan kepada anak atau anggota keluarga pegawai, fasilitas tersebut dapat menjadi objek pajak (ITD, 2022).

Oleh sebab itu, pengecualian pajak atas fasilitas pendidikan idealnya diramu dengan memperhatikan hal-hal berikut: pihak yang menerima, keterkaitan dengan lingkup kerja, dan penetapan treshhold tertentu.

Pembatasan itu diperlukan untuk memastikan bahwa biaya pendidikan yang dikeluarkan pemberi kerja merupakan bentuk pengeluaran untuk meningkatkan performa karyawan di bidangnya sehingga sudah selayaknya tidak menjadi objek pajak.

Contoh lainnya, terkait dengan fasilitas kesehatan. Pada umumnya pemberian fasilitas kesehatan oleh pemberi kerja kepada karyawan dikecualikan dari objek pajak natura (Lesotho, Afrika Selatan, dan Kenya). Justifikasinya, fasilitas kesehatan merupakan kebutuhan penting bagi karyawan. Untuk itu, pengecualian pajak atas pemberian natura dan/atau kenikmatan ini dapat dimaklumi.

Namun, bukan berarti seluruh fasilitas kesehatan perlu dikecualikan. Kita perlu meninjau lebih dalam lagi mengenai jenis fasilitas yang diberikan. Misalnya, fasilitas pemeriksaan kesehatan yang diwajibkan bagi karyawan (medical check up), penanganan kecelakaan kerja, dukungan biaya persalinan, dan obat-obatan tertentu. Selain itu, bagaimana perlakuannya apabila pihak yang menerima adalah keluarga dari karyawan tersebut?

Contoh terakhir, terkait dengan biaya rekreasi dan olahraga. Biaya ini pada dasarnya merupakan salah satu bentuk fasilitas yang diterima karyawan. Namun, dalam praktiknya, biaya tersebut sulit dilakukan valuasi nilai atas individu yang menerimanya. Hal ini mengingat manfaatnya sering kali dinikmati secara bersama-sama atau kolektif (joint benefit).

Aspek tersebut sebetulnya menjadi salah satu tantangan dalam implementasi pajak atas natura dan/atau kenikmatan. Oleh sebab itu, banyak negara yang mengecualikan biaya rekreasi dan olahraga sebagai objek pajak bagi penerimanya.

Di Swiss misalnya, pemberian fasilitas rekreasi atau hiburan untuk karyawan tidak dikenai pajak penghasilan bagi karyawan (IBFD, 2022). Namun, di Australia, biaya rekreasi dan olahraga tertentu, seperti taman hiburan, permainan golf, tiket film, penerbangan untuk liburan, dan kapal pesiar, dapat masuk kategori natura dan/atau kenikmatan yang dipajaki (ATO, 2022). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kategorisasi jenis rekreasi atau olahraga yang dapat dikecualikan serta yang dikenakan pajak sangat diperlukan.

Penutup

BERBAGAI pertimbangan dalam menentukan kategori beserta perinciannya tersebut sangat menentukan keberhasilan implementasinya nanti. Jika dirumuskan secara tepat, tidak akan timbul multiinterpretasi serta dapat diterima dengan baik oleh publik.

Tentunya kita berharap pengaturan objek pajak atas natura dan/atau kenikmatan dapat ditemui dalam ketentuan teknis yang akan terbit. Nantinya, pengaturan pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan diharapkan bisa makin memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.

Jangan lewatkan seri selanjutnya dari artikel analisis ini. Baca kumpulan artikel analisis berseri Mendesain Pajak Natura dan Kenikmatan di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.