TOPIK mengenai perkembangan digitalisasi makin banyak dibicarakan. Inovasi yang dihasilkan ternyata tidak terbatas pada transaksi jual-beli secara online atau otomatisasi yang diterapkan dalam sistem administrasi di pemerintahan dan swasta. Digitalisasi kini turut berkembang pada pembuatan alat tukar dalam bentuk mata uang virtual (Crosby et. al., 2015).
Sebagai informasi, mata uang virtual didefinisikan sebagai representasi digital dari nilai yang berfungsi sebagai media pertukaran, unit akun, atau penyimpan nilai yang seperti mata uang nyata tetapi tidak memiliki status legal di yurisdiksi manapun (Herzfel, 2020). Pembayaran menggunakan mata uang virtual makin banyak digunakan dan menjadi tren saat ini.
Salah satu contoh mata uang virtual adalah cryptocurrency. Mata uang jenis ini berstatus stateless dan peredarannya juga tidak diawasi oleh siapapun (Brown dan Whittle, 2020). Transaksi cryptocurrency saat ini mungkin saja hanya mencakup beberapa hal.
Namun, ke depannya perkembangan cryptocurrency berpotensi menjadi makin pesat serta memengaruhi berbagai kegiatan. Tidak mengherankan jika transaksi yang menggunakan cryptocurrency masih sulit untuk dideteksi dan diawasi.
Selanjutnya, pertanyaan yang muncul ialah bagaimanakah legitimasi mata uang kripto dalam konteks pajak?
OECD menilai pembuatan aturan baru yang mencakup cryptocurrency atau aset kripto ini sangat krusial agar tidak ada celah hukum baru pada waktu yang akan datang (OECD, 2021). Pada 2020, OECD menyatakan akan segera menyusun proposal teknis terkait dengan standar pelaporan atas penghasilan yang diperoleh dari aset-aset kripto (cryptoassests), termasuk mata uang kripto (cryptocurrency).
Namun demikian, hingga saat ini, OECD masih menunda penerbitan laporan terkait dengan skema pelaporan perpajakan cryptocurrency tersebut lantaran akan fokus menyelesaikan konsensus global perihal pajak digital terlebih dahulu.
Lebih lanjut, dalam laporan berjudul Taxing Virtual Currencies: An Overview of Tax Treatments and Emerging Tax Policy Issues, OECD menekankan pentingnya penguatan kerangka regulasi dalam hal pemajakan cryptoassets guna menciptakan kepastian hukum bagi otoritas pajak dan wajib pajak.
Selain itu, OECD menyatakan perlakuan pajak atas cryptoassets dan cryptocurrency perlu disesuaikan dengan tren transaksi yang berkembang, seperti makin berkurangnya penggunaan uang konvensional dalam bertransaksi, serta kebijakan-kebijakan terkait dengan lingkungan.
Dalam hal ini, negara-negara perlu menciptakan kerangka regulasi yang jelas dan konsisten terkait perlakuan pajak atas aset-aset kripto lainnya. Kepatuhan pajak juga perlu diciptakan melalui simplifikasi ketentuan valuasi cryptoassets dan penerapan pengecualian pengenaan pajak atas transaksi cryptocurrency bernominal kecil.
Perlakuan pajak atas cryptoassets serta cryptocurrency juga perlu mengantisipasi perkembangan jenis-jenis cryptocurrency seperti stablecoins hingga Central Bank Digital Currencies (CBDC).
Dalam pembentukan aturan mengenai pemungutan pajak atas transaksi cryptocurrency, perlu dilakukan klasifikasi dan analisis atas berbagai skema transaksi mata uang virtual yang mungkin menimbulkan beban perpajakan. Analisis mendalam atas transksi cryptocurrency inilah yang menjadi panduan dalam penentuan aspek pajak apa saja yang dapat timbul akibat transaksi cryptocurrency tersebut.
Menurut Aleksandra Bal (2018) dalam bukunya yang berjudul Taxation, Virtual Currency, and Blockchain, secara umum terdapat 6 transaksi yang dapat timbul akibat kemunculan mata uang virtual.
Pertama, pertukaran barang dan jasa ke mata uang virtual. Kedua, pertukaran mata uang legal ke mata uang virtual. Ketiga, pertukaran salah satu jenis mata uang virtual ke jenis lainnya. Keempat, ‘mining’. Kelima, adanya apresiasi nilai mata uang virtual. Keenam, pemberian mata uang virtual kepada pihak lain sebagai hadiah, hibah, maupun warisan.
Pemungutan Pajak atas Cryptocurrency di Beberapa Negara
SAAT ini, cryptocurrency dikembangkan berbagai pihak di setiap negara. Fenomena tersebut berbeda dengan pelaku ekonomi digital skala global yang cenderung berasal dari Amerika Serikat (Herzfel, 2020).
Data dari coinmarketcap menunjukkan total kapitalisasi pasar aset kripto per 21 Mei 2021 mencapai US$1,72 triliun. Perkembangan tersebut menciptakan peluang pemungutan pajak atas transaksi cryptocurrency.
Pemerintah Amerika Serikat mewajibkan pemilik uang kripto untuk melaporkan kepemilikannya kepada IRS demi kepentingan pajak. Di Amerika Serikat, cryptocurrency diperlakukan sebagai properti sehingga pajak yang dikenakan sama seperti pajak properti (IRS, 2021).
Oleh karena dianggap sebagai properti, IRS dapat menyita aset kripto wajib pajak jika diperlukan untuk menutup utang pajak yang tidak dibayar oleh wajib pajak. Selain itu, terhadap uang kripto tersebut, IRS memungut capital gain tax jika digunakan sebagai investasi dengan mempertimbangkan jangka waktu penyimpanan uang kripto tersebut.
Pengenaan capital gain tax atas investasi cryptocurrency juga diterapkan di Australia, Inggris, dan Canada. Sementara itu, salah satu provinsi di Argentina, Cordoba, mengenakan pajak khusus atas transaksi cryptocurrency sebesar 4% hingga 6,5% dari pendapatan kotornya.
Selain itu, di Cordoba, usaha yang menerima pembayaran berbentuk cryptocurrency dalam jual-beli barang dan jasa juga akan dikenai pajak tambahan sebesar 0,25%. Sementara itu, contoh negara yang memungut PPN atas cryptocurrency ialah Thailand dengan tarif 7% dan Israel 17%.
Selain beberapa negara di atas, ada juga negara-negara yang masih dalam proses perencanaan dalam memungut pajak atas transaksi cryptocurrency. Misalnya, Korea Selatan yang akan memungut PPh atas transaksi perdagangan cryptocurrency dengan tarif sebesar 20% (Kementerian Keuangan Korea Selatan, 2021). Ada pula India yang rencananya akan memungut PPN dan PPh atas perdagangan uang kripto tersebut (CEIB, 2020).
Bagaimana dengan Indonesia?
PEMERINTAH Indonesia sendiri memperlakukan cryptocurrency sebagai aset yang bisa diperdagangkan atau dianggap sebagai komoditas. Posisi Indonesia itu sendiri sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan mata uang yang berlaku dan sah di Indonesia hanya rupiah.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat nilai transaksi uang kripto mencapai Rp126 triliun per Maret 2021. Bappebti juga telah mengatur jenis-jenis aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia dengan jumlahnya sekitar 229 jenis uang kripto.
Dalam pemungutan pajak atas transaksi cryptocurrency di Indonesia, perlu diteliti lebih lanjut apakah keuntungan atas transaksi cryptocurrency termasuk dalam pengertian dari tambahan penghasilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Sementara itu, pemungutan PPN atas transaksi cryptocurrency juga dapat dipertimbangkan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), perlu untuk tetap tidak mencantumkan aset kripto dalam negative list.
Dengan begitu, terdapat adanya ruang kemungkinan untuk memungut PPN atas cryptocurrency di Indonesia. Dalam konteks pemungutan PPN, utamanya perlu adanya penetapan apakah cryptocurrency termasuk barang (berwujud/tidak berwujud) atau jasa.
Pemungutan pajak atas cryptocurrency memang dapat berkontribusi bagi penerimaan pajak. Namun demikian, pembentukan peraturan tersebut sebaiknya didesain secara terstruktur agar tidak memengaruhi transaksi cryptocurrency yang saat ini berkembang begitu pesat.
Demi mendapat kepastian, tentunya peraturan yang adil, jelas, dan sederhana menjadi harapan pemilik aset tersebut. Kita tunggu saja.