Seri Tax Control Framework (8)

Sistem Teknologi Informasi dalam Pengelolaan Risiko Pajak

Redaksi DDTCNews
Selasa, 26 Mei 2020 | 14.16 WIB
ddtc-loaderSistem Teknologi Informasi dalam Pengelolaan Risiko Pajak
DDTC Consulting

PRINSIP administrasi pajak berbasis transparansi, efisiensi, dan real-time perlu didukung sepenuhnya oleh teknologi informasi (TI) sebagaimana dinyatakan oleh Kristiaji (2020).

Hal tersebut sejalan dengan paparan OECD dalam laporan ‘Tax Administration 2019’ bahwa pengelolaan administrasi pajak telah beralih ke administrasi elektronik (e-administration) dengan menggunakan berbagai alat teknologi, sumber data, dan analisis data untuk meningkatkan kepatuhan pajak (OECD, 2019).

Penggunaan teknologi terkini seperti blockchain dapat dimanfaatkan untuk integrasi data seluruh perusahaan dalam grup perusahaan wajib pajak dengan otoritas pajak secara real-time (Huibregtse, et al., 2019). Otoritas pajak dapat melakukan pemeriksan silang (cross-check), gambaran lengkap transaksi, dan mengetahui titik kesalahan atau fraud, dengan menggunakan teknologi blockchain.

Selain itu, otoritas pajak di beberapa negara lain sudah merilis kebijakan integrasi data perpajakan, termasuk instrumen Standard Audit File – Tax (SAF-T).  Sementara itu, di Indonesia, konektivitas host to host antara platform ERP wajib pajak dan server penyelenggara pelaporan dan pembayaran pajak telah dilakukan dengan pilot project yang melibatkan beberapa BUMN.

Teknologi yang mendukung akurasi data dan dengan proses yang terautomasi akan memberikan manfaat bagi pengelolaan pajak yang efisien dan efektif, serta sekaligus memperkuat sistem kontrol risiko pajak yang komprehensif. Oleh karena itu, kesiapan sistem TI dalam pengelolaan pajak dan dalam rangka implementasi Tax Control Framework (TCF) menjadi hal yang krusial bagi perusahaan.

Aspek TI dalam Pengelolaan Pajak Perusahaan

Teknologi memainkan peran penting dalam mengoptimalkan pengelolaan pajak dalam perusahaan. Garg (2017) menjelaskan bahwa sistem TI dalam pengelolaan pajak pada wajib pajak perusahaan digunakan di antaranya pada (i) proses data entry, (ii) proses kerja, (iii) pekerjaan yang bersifat repetisi, (iv) proses rekonsiliasi, (v) proses validasi, (vi) perhitungan dan pelaporan pajak secara lengkap dan tepat, (vii) pengelolaan data dan dokumen, dan (viii) analisis perencanaan pajak.

Terkait upaya mengoptimalkan penggunaan teknologi, perusahaan perlu terlebih dahulu melakukan identifikasi dan pemetaan serta evaluasi atas kapabilitas teknologi yang digunakan dalam pengelolaan pajak saat ini di perusahaan. Kemudian, menentukan inisiatif perbaikan atas penggunaan TI dalam pengelolaan pajak di masa depan (Kloosterhof, 2010).

Sehubungan dengan hal itu, Bixby (2013) menyorot lima area penggunaan teknologi yang membawa pengaruh positif dalam pengelolaan pajak perusahaan. Pertama, integrasi data yang mampu mengurangi waktu yang dihabiskan untuk melakukan kegiatan pengumpulan data dalam operasional pengelolaan pajak, terutama dalam melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan kepatuhan pajak.

Kedua, manajemen data dan penyimpanan dokumen, termasuk kertas kerja dan hasil kegiatan dalam proses pengelolaan pajak di dalam perusahaan. Ketiga, workflow tools yang didukung dengan automasi dalam proses kerja. Keempat, peningkatan kemampuan teknologi untuk reporting dan forecasting. Kelima, sistem penyimpanan data dalam data warehouse.

Lebih jauh, Wolfers (2018) menerangkan tiga elemen perbaikan dalam penggunaan teknologi agar pengelolaan pajak di masa depan dapat berjalan efektif dan efisien. Pertama, adanya automasi proses dasar, yang utamanya ditujukan terhadap proses kerja yang repetisi, melibatkan multiple systems, dan terkait dengan tahapan kegiatan yang detail dan eksplisit.

Misalnya, penggunaan Robotic Process Automation (RPA) dalam rangka menjalankan automasi proses kerja yang bersifat repetisi dan dapat dikerjakan secara terintegrasi antara aplikasi di suatu fungsi dengan aplikasi di fungsi lainnya. Kegiatan yang bisa dikerjakan oleh RPA ialah kegiatan yang sifatnya teknis administratif, seperti pengumpulan dan data entry, ekualisasi dan rekonsiliasi pajak, dan pengisian surat pemberitahuan. Akibat penggunaan automasi proses dasar, pekerjaan profesional pajak dalam perusahaan lebih berfokus pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat strategis.

Kedua, peningkatan automasi proses dengan menggunakan Machine Learning dan Natural Language Processing dalam rangka menyediakan analisis mendalam yang mendukung kualitas, keseragaman, dan konsistensi dalam berbagai pelaporan pajak, serta sekaligus meminimalkan kesalahan manual. Teknologi berbasis Machine Learning dan Natural Language Processing ini juga dapat digunakan untuk keperluan analisis data atas peraturan atau putusan pengadilan pajak yang relevan.

Ketiga, cognitive automation yang melibatkan Artificial Intelligence dengan memaksimalkan kemampuan teknologi untuk menelan sejumlah besar data yang digunakan untuk komputasi kognitif manusia dalam pelaksanaan tugas kegiatannya. Penggunaan teknologi ini, misalnya, dapat dilakukan di area analisis peraturan pajak atau putusan pengadilan yang menghasilkan formula rekomendasi bagi pengambilan keputusan dalam perencanaan pajak dan mitigasi risiko pajak.

Sementara di area transfer pricing, penggunaan teknologi blockchain dapat digunakan untuk melacak dan mendukung catatan transaksi intragrup dan menyediakan akurasi dan kelengkapan data dalam penyusunan transfer pricing documentation (Putrawal, 2018).

Selain itu, penggunaan teknologi berbasis analisis data dengan data bersumber dari Country-by-Country Reporting, Master Files, dan Local Files, serta intersection dengan ERP dan data global atas transaksi intragrup perusahaan akan mampu meningkatkan dan memfasilitasi kemampuan analisis atas perencanaan pajak dan risiko pajak berbasis transfer pricing scenario.

Sistem TI yang Dibutuhkan dalam Implementasi TCF

TCF mencakup strategi untuk menggunakan teknologi untuk memaksimalkan ketepatan dan keakuratan data dalam surat pemberitahuan (OECD, 2016). Dalam sistem pengawasan berbasis pendekatan risiko, teknologi digunakan oleh otoritas pajak untuk memastikan tingkat risiko perusahaan berdasarkan informasi yang diperoleh dari TCF dan dari data perpajakan dalam sistem TI otoritas pajak (Bronzewska dan Majdanska, 2019).

Sistem TI memiliki peran yang signifikan dalam TCF karena sistem TI berperan antara lain untuk (i) membantu melakukan analisis risiko, (ii) mendukung prosedur kontrol dan monitoring risiko, dan (iii) melakukan uji performa TCF (testing control) dengan mengambil dan menganalisis data sampel dari berbagai elemen kontrol dalam TCF (Peters, et al., 2020).

Penggunaan sistem TI pada setiap elemen kontrol dalam sistem kontrol risiko pajak atau TCF dapat dilakukan melalui corporate digital platform, sistem ERP, atau ­in-house e-tool lainnya yang dimiliki oleh perusahaan. Best practices dalam penggunaan teknologi merekomendasikan pentingnya mempersiapkan perangkat infrastruktur dan aplikasi TI dalam pengelolaan risiko pajak yang mendukung proses automasi (Schofield, 2017).

Dalam rangka implementasi TCF yang efektif dan efisien, dibutuhkan juga sistem TI yang mendukung penyampaian data tax compliance secara automatically real time, didukung dengan integrasi data perpajakan di antara perusahaan dan otoritas pajak (Linke dan Gordon, 2017).

Pada akhirnya, teknologi modern dapat memberikan kerangka kerja yang lebih kuat dan transparan. Teknologi modern tersebut bermanfaat untuk mengubah dinamika dialog antara otoritas pajak dan wajib pajak sehingga tercipta atmosfir saling percaya, dengan basis pendekatan risiko, dan ditopang dengan penggunaan TI dalam kerangka kepatuhan kooperatif (Bronzewska dan Majdanska, 2019).

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.