PADA Maret 2020 Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor-22/PMK.03/2020 yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer (APA). PMK ini menjadi menarik karena di samping memuat pengaturan mengenai prosedur pelaksanaan APA, juga memuat norma hukum dalam konteks transfer pricing di Indonesia. Salah satunya, yaitu penjabaran lebih lanjut mengenai terminologi ‘hubungan istimewa’ dan ‘transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa’.
Hubungan Istimewa
Pasal 18 ayat (3) UU PPh memberikan wewenang kepada Dirjen Pajak untuk menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) terhadap transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Pasal 18 ayat (4) UU PPh beserta penjelasannya berbicara mengenai pengertian ‘hubungan istimewa’ dapat terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal, penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak ada hubungan kepemilikan, dan hubungan keluarga sedarah atau semenda.
Pasal 4 PMK-22/2020 menegaskan lebih lanjut bahwa ‘hubungan istimewa’ dianggap ada apabila terdapat salah satu dari ketiga kondisi yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh yang mengakibatkan adanya kondisi ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya. Kondisi ketergantungan atau keterikatan tersebut dapat dilihat dari adanya salah satu pihak mengendalikan pihak lain atau salah satu pihak tidak dapat berdiri bebas dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Terkait terminologi ‘penguasaan’ yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) huruf ‘b’ UU PPh beserta Penjelasannya, disebutkan lagi dalam Pasal 4 ayat (1) huruf ‘b’ PMK-22/2020 dan dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (4) PMK-22/2020 sebagai berikut:
“Penguasaan salah satu pihak terhadap pihak lainnya dianggap ada apabila:
PMK-22/2020 ini bermaksud untuk memperjelas makna ‘penguasaan’ yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh. Namun di sisi lain, definisi ini mungkin dapat menimbulkan permasalahan apabila definisi tersebut tidak sejalan dengan definisi hubungan istimewa yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan negara mitra.
Kalau begitu, apa definisi hubungan istimewa dalam konteks P3B? Dalam Pasal 9 ayat (1) OECD Model maupun UN Model dapat dijumpai pengertian ’hubungan istimewa’ yang disebut dengan associated enterprise. Baik OECD Model maupun UN Model memuat rumusan sama mengenai associated enterprise sebagai berikut.
“Associated Enterprise, Where: (a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or (b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control, or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State”
Konsep associated enterprises merupakan konsep mendasar dalam penerapan arm’s length principle sebagai suatu standar yang diakui secara internasional terkait pemajakan transfer pricing (Dwarkasing, 2013). Namun, sayangnya tidak terdapat ketentuan lebih rinci dan jelas mengenai konsep associated enterprises di dalam Model P3B, baik OECD maupun UN Model.
Oleh karena itu, apabila setiap negara membuat definisi ‘hubungan istimewa’ atau associated enterprises berdasarkan ketentuan domestik masing-masing negara, Dwarkasing (2013) mengemukakan akan dapat mengakibatkan potensi pemajakan berganda (economic double taxation).
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa
Dalam menindaklanjuti permohonan APA, Dirjen Pajak akan melakukan pengujian material dengan menerapkan arm’s length principle. Pengujian dilakukan tidak hanya terhadap transaksi hubungan istimewa, melainkan juga atas transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Yaitu, transaksi antar pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan syarat pihak afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut memengaruhi lawan transaksi dan harga transaksi.Terkait dengan frasa transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa bisa kita pelajari lebih lanjut dalam kasus Kodak India di link ini, serta sengketa pajak dengan pihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa.
Jadi, pengujian material arm’s length principle yang terdapat dalam PMK-22/2020 ditujukan atas transaksi hubungan istimewa dan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Pertanyaannya, apakah pengujian di atas hanya diberlakukan terbatas pada prosedur pelaksanaan APA atau juga aspek lain transfer pricing dalam pengertian luas?
Pertanyaan di atas muncul karena ketika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011 juncto Pasal 2 ayat (2) PMK Nomor 213/PMK.03/2016, serta Lampiran Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 yang menyebutkan bahwa pengujian arm’s length principle hanya untuk pengujian atas transaksi hubungan istimewa.
Menjawab pertanyaan di atas, seharusnya PMK-22/2020 yang berlaku karena sejalan dengan Pasal 18 ayat (3) UU PPh yang menyebutkan bahwa pengujian arms’ length principle berlaku bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya, sebagaimana definisi hubungan istimewa yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh beserta Penjelasannya.