PENETAPAN harga transfer (transfer pricing) sering kali memunculkan risiko perpajakan. Untuk mengelola risiko ini, metode Transactional Net Margin Method (TNMM) digunakan sebagai pendekatan praktis dan holistik dalam pengukuran tingkat laba wajar.
Namun demikian, penerapan TNMM mempunyai tantangan tersendiri. Tantangan ini terutama dalam memastikan bahwa margin keuntungan perusahaan tetap wajar, khususnya saat nilai tukar rupiah terus melemah terhadap mata uang asing, seperti dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan nilai mata uang tersebut tentunya dapat berdampak negatif terhadap perusahaan yang melakukan transaksi dalam mata uang asing. Dengan demikian, perusahaan perlu untuk terus memantau dan mengelola tingkat laba agar tetap dalam rentang yang wajar.
Dampak langsung pada tingkat laba-rugi perusahaan itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, fluktuasi kurs yang terjadi pada saat pencatatan transaksi dan tanggal penyelesaian. Kedua, perubahan nilai tukar mata uang yang terjadi secara terus-menerus dalam jangka waktu panjang dapat menggerus atau menambah margin keuntungan perusahaan.
Terakhir, penyesuaian akhir tahun (year-end adjustment) yang dilakukan dalam mata uang nonfungsional dapat menimbulkan risiko tambahan. Risiko ini bisa meningkat jika tidak diantisipasi dengan langkah pengelolaan yang tepat.
Adapun untuk mengatasi risiko tersebut, perlu dilakukan evaluasi terhadap frekuensi pengawasan dan penilaian nilai tukar. Namun, sebelum itu, pemahaman mendalam mengenai rantai nilai (value chain) di dalam grup usaha perlu dikuasai. Analisis ini dapat memberikan informasi tentang aktivitas yang menciptakan nilai, biaya terkait, serta lokasi entitas usaha di dalam grup terpapar risiko mata uang secara signifikan.
Pemahaman tentang rantai nilai tersebut akan menjadi alat bantu untuk memastikan keselarasan antara harga transfer dan model bisnis grup usaha. Pemahaman ini juga penting untuk menentukan entitas di dalam rantai pasokan (supply chain) yang harus menanggung risiko lebih besar saat terjadi fluktuasi nilai tukar.
Sebagai contoh kasus, pada hari ini terjadi transaksi jual-beli afiliasi dalam mata uang dolar AS antara perusahaan manufaktur di luar negeri dan perusahaan Indonesia yang memiliki fungsi sebagai distributor dengan risiko terbatas.
Perusahaan Indonesia itu mungkin harus membayar lebih mahal dibandingkan dengan nilai yang telah diproyeksikan di awal tahun atas fungsi pengadaan barang karena depresiasi rupiah. Kondisi seperti ini tentunya dapat secara langsung memengaruhi pendapatan distributor di tingkat laba operasional yang menjadi lebih rendah.
Dengan mempertimbangkan profil pihak-pihak yang bertransaksi melalui analisis rantai nilai maka atas kerugian yang timbul atas aktivitas pengadaan oleh distributor tersebut dapat ditanggung sebagian oleh perusahaan manufaktur. Perusahaan manufaktur itu merupakan pihak yang bertanggungjawab dalam proses penciptaan nilai dalam rantai pasokan berdasarkan analisis transaksi (Barsch, Ditz, dan Kluge, 2023).
DALAM skenario transaksi afiliasi di atas, perusahaan manufaktur dapat mempertimbangkan pemberian diskon kepada distributor sebagai alternatif mitigasi dampak nilai tukar. Dalam penerapannya, langkah ini tetap harus memperhitungkan harga dan tingkat margin yang wajar (Moulasi, 2024).
Namun, perusahaan manufaktur juga perlu menyiapkan dokumentasi untuk mendukung pemberian harga yang lebih rendah kepada perusahaan distributor, contohnya terdapat efisiensi biaya produksi. Adapun menyangkut biaya produksi, perusahaan manufaktur perlu membuktikan harga transfer telah mencakup seluruh biaya dan telah ditambah sejumlah margin yang cukup.
Lebih lanjut, alternatif berupa kebijakan di tingkat grup terkait dengan aktivitas lindung nilai (hedging) juga bisa membantu posisi laba perusahaan. Hal ini bisa terjadi jika dilakukan ketika kurs berada pada tingkat yang menguntungkan.
Selain langkah di atas, strategi lain yang dapat diterapkan di tingkat grup usaha meliputi kebijakan harga transfer yang fleksibel. Hal ini dapat dilakukan melalui penyertaan klausul yang memuat fleksibilitas dalam perjanjian penetapan harga.
Klausul itu memungkinkan penyesuaian harga berdasarkan pada perubahan nilai tukar, penggunaan mata uang lokal dalam transaksi afiliasi, serta penerapan sistem manajemen risiko yang dapat memantau eksposur risiko valuta asing lewat analisis sensitivitas dan pengujian skenario nilai tukar.
Terakhir, dokumentasi yang mendukung kebijakan dan strategi yang diterapkan sangat penting untuk memperkuat posisi perusahaan di hadapan otoritas pajak. Transparansi memuat informasi mengenai kurs yang digunakan dan alasan pemilihannya serta penjelasan tentang strategi lindung nilai yang digunakan, termasuk biaya dan manfaatnya.
Dengan mengintegrasikan manajemen risiko kurs (valuta asing) dalam penetapan harga transfer serta membuat dokumentasi yang lengkap, perusahaan dapat memastikan bahwa harga transfer mencerminkan kondisi pasar yang wajar dan mematuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU). Hal ini akan mengurangi risiko penyesuaian oleh otoritas pajak pada masa depan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)