PADA era globalisasi, berbagai negara berlomba-lomba untuk menawarkan iklim investasi yang baik kepada investor, salah satunya melalui kebijakan penurunan tarif dan pemberian tax holiday (Parys, 2012).
Merujuk pada catatan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), terdapat 86 insentif tax holiday baru yang diperkenalkan oleh berbagai negara pada 2011 hingga 2021. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang menerapkan tax holiday.
Tax holiday relatif banyak diminati. Bagaimana tidak, wajib pajak badan dapat memperoleh pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan hingga 100%. Sayangnya, penerapan tax holiday sering kali menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia ataupun berbagai negara lain.
Secara empiris, keterkaitan kebijakan pajak yang berpihak kepada dunia usaha dengan foreign direct investment (FDI) sifatnya ambigu. Kebijakan hanya berpengaruh sepanjang beberapa kondisi telah terpenuhi (Darussalam et al., 2015).
Banyak kajian juga telah membuktikan bahwa insentif pajak tidak efektif dalam menarik FDI (Bird, 2000). Namun, tak dapat dimungkiri, pengurangan PPh badan atau tax holiday menjadi daya tarik tersendiri bagi investor asing (Muyaa, 2018). Transaksi lintas batas yang tak terbendung menyebabkan bisnis cukup sensitif terhadap kebijakan pajak suatu negara.
Adapun penerapan kebijakan tax holiday di Indonesia mengalami pasang surut sejak pertama kali muncul pada 1967 (Darussalam et al., 2015). Tax holiday pertama kali diimplementasikan ketika Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU 1/1967) terbit. Selang tiga tahun, ketentuan mengenai tax holiday ini dihapus.
Setelah itu, rezim tax holiday mulai diperkenalkan dan diimplementasikan kembali pada 1996 melalui fasilitas PPh badan yang ditanggung pemerintah. Namun demikian, sekali lagi, fasilitas tax holiday ini akhirnya dihapus.
Selanjutnya, pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tax holiday diterapkan lagi. Pada saat itu, tujuannya ialah untuk meningkatkan penanaman modal di Indonesia dan mendorong perekonomian domestik.
Fasilitas tax holiday tersebut masih berlaku hingga saat ini. Adapun dasar hukum tax holiday pada saat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 130/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (PMK 130/2020).
Namun, tax holiday hanya diberikan untuk usulan yang disampaikan dalam jangka paling lambat 4 tahun sejak berlakunya PMK 130/2020 pada 9 Oktober 2020. Artinya, pemberian fasilitas pengurangan PPh badan melalui PMK 130/2020 ini akan berakhir pada awal Oktober 2024.
DENGAN mempertimbangkan masa berakhirnya PMK 130/2020, pertanyaan yang muncul ialah bagaimanakah keberlanjutan kebijakan tax holiday? Apakah para investor masih memiliki kesempatan untuk memanfaatkan tax holiday tersebut?
Terdapat dua isu utama yang berpotensi memengaruhi keberlanjutan penerapan tax holiday di Indonesia. Pertama, perubahan rezim kepemimpinan di Indonesia, seperti pergantian presiden atau pemerintahan, memiliki dampak signifikan terhadap kebijakan pajak yang diterapkan.
Hal tersebut dikarenakan setiap pemimpin bisa jadi membawa visi dan misi yang berbeda, termasuk aspek berkaitan dengan kebijakan pajak. Terlebih lagi, masa berlakunya PMK 130/2020—yang merupakan dasar acuan penerapan tax holiday sekarang—berakhir saat adanya perubahan rezim kepemimpinan.
Kedua, hasil evaluasi penerapan kebijakan tax holiday di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Bersamaan dengan momentum reformasi pajak yang terus berkembang, perlu ada peninjauan desain insentif pajak, terutama tax holiday pada kemudian hari.
Dalam konteks tersebut, yang menjadi pertanyaan ialah apakah penerapan tax holiday efektif untuk mendorong masuknya FDI ke Indonesia? Untuk itu, pemerintah perlu melihat sebanding atau tidaknya investasi yang masuk dengan insentif yang diberikan.
Ketiga, insentif pajak berbasis penghasilan (income based), seperti tax holiday, akan sangat terdampak secara signifikan dengan kehadiran Pilar 2 OECD terkait Global Anti-Base Erosion (GloBE). Sebagai informasi, dalam beberapa kesempatan, pemerintah berencana untuk mengimplementasikan Pilar 2.
Secara singkat, desain kebijakan GloBE dilakukan dengan menerapkan tarif efektif minimum sebesar 15%. Apabila tarif pajak efektif yang ditanggung perusahaan multinasional tidak mencapai 15%, perusahaan tersebut wajib membayar top-up tax di negara domisilinya.
Apa kaitannya? Penerapan tax holiday dan semacamnya akan menyebabkan tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) berada di bawah tarif minimum 15% (Oguttu, 2022). Ketika ETR rendah maka suatu negara atau yurisdiksi tidak akan memperoleh hak pemajakan atas penghasilan suatu perusahaan multinasional dengan optimal.
Pilar 2 juga berpotensi memberikan ketidakpastian bagi perusahaan yang telah memperoleh fasilitas pajak sebelum adanya implementasi Pilar 2. Oleh karena itu, implementasi Pilar 2 berpotensi mendorong suatu yurisdiksi untuk meninjau kembali fasilitas tax holiday ataupun profit-based tax incentive lainnya (OECD, 2022).
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun menyatakan bahwa pada saat ini, pemerintah sedang menyiapkan insentif baru, baik pajak maupun nonpajak untuk menggantikan tax holiday (DDTCNews, 2024).
Berkaitan dengan hal tersebut, OECD sesungguhnya telah memberikan usulan pengganti tax holiday atau insentif tertentu agar tidak berdampak pada nilai ETR. Salah satu rekomendasinya alah penerapan qualified refundable tax credit (QRTC) (OECD, 2022).
QRTC adalah kredit pajak yang dapat dikembalikan dan dirancang sedemikian rupa sehingga harus dibayarkan dalam bentuk tunai atau tersedia dalam bentuk setara tunai dalam waktu empat tahun sejak suatu constituent entity memenuhi syarat untuk menerimanya.
PADA dasarnya, keberlanjutan kebijakan tax holiday masih relevan untuk diterapkan di Indonesia. Sebab, pemberian insentif pajak cenderung mendorong investasi dalam proyek-proyek jangka pendek yang memberikan manfaat langsung kepada investor (Stotsky, 2024).
Mempertahankan tax holiday dapat memberikan daya saing bagi negara dalam menarik investasi di tengah persaingan global yang makin ketat. Adanya fasilitas pajak ini juga memberikan ruang bagi industri baru untuk tumbuh dan berkembang tanpa beban pajak yang berat pada tahun-tahun awal operasi mereka.
Namun demikian, penerapan kebijakan tax holiday juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati berdasarkan kondisi ekonomi, kebutuhan investasi, efektivitas kebijakan, dan singgungannya dengan kebijakan pajak yang akan diterapkan pada kemudian hari.
Selain itu, apabila pemerintah Indonesia berniat untuk menerapkan tax holiday lagi maka perlu adanya tinjauan ulang atau penyesuaian persyaratan tax holiday dengan situasi saat ini. Sebagai contoh, pemerintah perlu menyesuaikan kategori industri pionir yang sejalan dengan rencana pembangunan jangka menengah negara.
Industri-industri yang berpotensi memberikan dampak besar pada perekonomian, seperti teknologi tinggi, energi terbarukan, dan manufaktur berteknologi tinggi, harus menjadi prioritas utama dalam penerapan tax holiday.
Tak hanya itu, desain kebijakan tax holiday nantinya juga harus memastikan tidak akan menghambat rencana implementasi Pilar 2 GloBE pada masa mendatang. Jadi, sudah siapkah kita dengan rezim baru insentif pajak di Indonesia?
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)