ANALISIS PAJAK

Menimbang Lagi Pengenaan Pajak Spa dan Sauna, Sudah Adilkah?

Redaksi DDTCNews
Rabu, 28 Agustus 2024 | 15.43 WIB
ddtc-loaderMenimbang Lagi Pengenaan Pajak Spa dan Sauna, Sudah Adilkah?

Sapto Andika Candra,

Redaktur DDTCNews  

KARMAWIBHANGGA, petak relief di kaki Borobudur, seolah menjadi kapsul waktu yang menarik manusia modern ke jenjang abad masa lampau. Membaca panil-panil Karmawibhangga dari timur ke barat, sama seperti menyimak kitab-kitab tentang karma, hukum sebab-akibat.

Rekaman tentang eksistensi manusia yang terpahat apik di Borobudur mampu menjelaskan banyak hal. Salah satunya, gambaran mengenai aktivitas pengobatan yang lekat dengan aspek religi masyarakat Mataram Kuno.

Panil 18 dan 19 pada relief Karmawibhangga menampilkan adegan mengenai perawatan kesehatan. Terlihat seseorang yang memijat kepala orang lain, atau beberapa orang yang tampak berupaya menyembuhkan orang sakit dengan menggosok bagian perut.

Dari Borobudur, bisa diambil fakta bahwa kegiatan kebugaran yang bertujuan menunjang kesehatan (wellness) sudah dikenal sejak lama. Itu baru satu catatan sejarah di Nusantara saja. Belum lagi kalau digali artefaktual di belahan dunia lain yang bisa menunjukkan betapa sepuhnya aktivitas wellness dalam sejarah umat manusia.

Ribuan tahun berselang, wellness masih menjadi aspek kesehatan yang dijalankan manusia. Pada konteks masa kini, aktivitas berkaitan dengan wellness dikerucutkan menjadi spa dan sauna.

Dalam perjalanannya, wellness melalui spa dan sauna berkembang menyesuaikan dengan budaya di masing-masing negara. Misalnya, masyarakat di Jawa dan Bali yang lekat dengan pijitan, ryoken di Jepang, hammam di Turki, dan sauna di Finlandia.

Kedekatan masyarakat dengan kegiatan wellness membuat spa dan sauna cukup digemari. Usaha spa dan sauna pun menjadi salah satu sumber penerimaan pajak bagi pemerintah daerah. Pemungutan pajak atas usaha sauna dan spa dimasukkan ke dalam pajak hiburan, atau kini dikenal sebagai pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa kesenian dan hiburan.

Kota Denpasar misalnya, mengumpulkan pajak hiburan senilai Rp30 miliar pada 2023. Kota Yogyakarta berhasil menghimpun pajak hiburan sejumlah Rp32 miliar pada tahun yang sama. Bisnis wellness, di dua kota tersebut, bisa dibilang sepaket dengan geliat sektor pariwisata yang menjadi penopang utama perekonomian.

Melalui UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), tarif PBJT atas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Hal ini berbeda dari ketentuan yang lama pada UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dalam beleid itu, tarif pajaknya paling tinggi 75%, tanpa ada batas bawah.

Pemisahan Kelompok

TINGGINYA tarif pajak atas usaha spa dan sauna membuat pengusaha melempar protes. Sejumlah pihak, utamanya yang berkaitan dengan usaha sauna dan spa, kemudian mengajukan uji materi terhadap Pasal 58 ayat (2) UU HKPD kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam persidangan, pemerintah menilai pengenaan PBJT dengan tarif yang lebih tinggi atas spa dan sauna dalam UU 1/2022 tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Aktivitas mandi uap/spa, karaoke, dan diskotek dianggap berhubungan dengan lifestyle dan bukan basic needs masyarakat umum. Aktivitas ini cenderung hanya dilakukan kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang relatif tinggi (DDTCNews, 2024).

Merespons argumen tersebut, penulis memandang perlu ada pemisahan kelompok, antara bisnis spa dan sauna serta jenis usaha lain di dalam PBJT. Hal ini lantaran pada level tradisional, masyarakat Indonesia sudah cukup lekat dengan kegiatan wellness tanpa memandang level ekonomi. Kegiatan wellness pun tidak secara langsung berkaitan dengan kemewahan (DDTCNews, 2024).

Semestinya, spa dan sauna terpisah dari diskotek, kelap malam, dan bar yang secara sosial memang hanya diakses oleh kelompok tertentu. Apalagi UUD 1945 juga dengan tegas mengatur mengenai jaminan kesehatan terhadap masyarakat. Spa dan sauna, sebagai bentuk kegiatan wellness menunjang hal itu.

Soebechi (2012) menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang baik perlu menjawab 3 landasan, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam konteks pajak atas bisnis sauna dan spa, perlu ada pemenuhan atas kajian filosofis dan living law.

Menimbang prinsip keadilan, pemerintah perlu mengkaji lagi pengenaan pajak terhadap bisnis spa dan sauna melalui PBJT. Namun, karena ketentuan dalam UU HKPD sudah tetap maka perlu dicari celahnya.

Samudra (2015) menuliskan setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam mengatur lebih lanjut pajak daerahnya. Pemda bisa menyusun insentif pajak tertentu sebagai kompensasi atas tingginya PBJT terhadap bisnis spa dan sauna.

Bersamaan dengan itu, sosialisasi mengenai pengenaan PBJT perlu lebih masif. Sesuai dengan proyeksi United Nation World Tourism Organization (UNWTO), bisnis pariwisata global baru benar-benar pulih dari pandemi pada 2026. Karenanya, pemda bisa mengambil peran lebih banyak untuk mendukung pemulihan sektor pariwisata.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.