PESATNYA perkembangan sistem perekonomian dunia saat ini melibatkan banyaknya transaksi bisnis lintas batas (cross borders) negara atau yurisdiksi yang memunculkan isu tersendiri dari sisi perpajakan.
Transaksi tersebut memberikan konsekuensi adanya benturan dalam mengklaim pajak antarnegara. Perbedaan prinsip pemajakan berdasarkan kedaulatan masing-masing negara memungkinkan terjadinya pemajakan berganda (double taxation).
Untuk mencegah terjadinya pemajakan berganda, tiap negara membuat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang kita kenal dengan istilah tax treaty. Kedudukan P3B berada di atas ketentuan domestik suatu negara atau disebut dengan lex specialis.
Sebagai perjanjian internasional, dua negara yang mengadakan P3B terikat dengan Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969 dan bukan terikat oleh ketentuan domestik masing-masing negara (R. Mansury, 2004).
Sayangnya, masih terdapat bias atau kerancuan negara-negara dalam memahami regulasi pajak antarnegara yang justru berpotensi munculnya penyalahgunaan P3B atau disebut juga dengan istilah tax treaty abuse.
Dari penyalahgunaan P3B inilah tumbuh bibit permasalahan terjadinya Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang merupakan strategi perencanaan pajak dengan memanfaatkan kelemahan dalam ketentuan pajak domestik untuk menghindari pajak.
Oleh karena itu, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada bulan Oktober 2015 membentuk suatu rencana aksi yang dituangkan dalam BEPS Action Plan 6 (BEPS AP 6) sebagai solusi dari permasalahan ini.
Dalam BEPS AP 6, aksi untuk mengatasi penyalahgunaan P3B terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu (i) pengembangan ketentuan P3B atau ketentuan domestik untuk mencegah penyalahgunaan P3B; (ii) penjelasan bahwa P3B tidak ditujukan untuk menghasilkan double non-taxation; dan (iii) kebijakan pajak bagi negara-negara sebagai pertimbangan sebelum menyelesaikan P3B (Bruno da Silva, 2018).
Jika BEPS AP 6 merupakan upaya OECD untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan P3B, di Indonesia, pemerintah melalui Ditjen Pajak menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak No. 25/PJ/2018 yang merupakan revisi atas PER No.10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagai Instrumen Hukum untuk Mencegah Terjadinya Penyalahgunaan P3B.
Membahas lebih lanjut tentang penyalahgunaan P3B, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf ‘b’ PER No.25/PJ/2018 disebutkan bahwa tidak terjadinya penyalahgunaan P3B apabila tidak terdapat pengaturan transaksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat dari penerapan P3B, antara lain: (i) pengurangan beban pajak, dan/atau; (ii) tidak dikenakannya pajak di negara atau yurisdiksi manapun (double non-taxation) yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B.
Dengan kata lain, apabila wajib pajak luar negeri (WPLN) menjalankan pengaturan transaksi dan mendapat manfaat P3B seperti yang disebutkan di atas, WPLN tersebut terindikasi melakukan penyalahgunaan P3B. Berikut ilustrasi sederhana mengenai kedua poin dalam pasal tersebut.
Pengurangan & Tidak Dikenakan
ILUSTRASI pertama, A ltd, wajib pajak dalam negeri (WPDN) Prancis, memperoleh penghasilan berupa bunga yang dibayarkan PT B, WPDN Indonesia. Berdasarkan ketentuan domestik Indonesia, atas penghasilan bunga tersebut wajib dipotong PPh Pasal 26 untuk wajib pajak luar negeri (WPLN) sebesar 20%.
Namun, dalam Pasal 11 ayat (2) ketentuan P3B Indonesia dan Prancis diatur bahwa Indonesia dapat memajaki penghasilan bunga dengan tarif tidak melebihi 15%. Adanya ketentuan P3B Indonesia dan Prancis membuat A ltd dikenakan pajak di negara Indonesia sebesar 15% mengikuti P3B.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa adanya perbedaan penerapan tarif atas penghasilan bunga merupakan kondisi terjadinya pengurangan beban pajak yang semula menurut ketentuan domestik Indonesia (PPh Pasal 26) sebesar 20% menjadi 15% karena adanya P3B.
Apabila kondisi tersebut telah ‘diatur’ oleh WPLN agar memperoleh fasilitas P3B, transaksi ini dapat dianggap sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan P3B menurut Pasal 5 ayat (1) huruf ‘b’ PER No.25/PJ/2018.
Ilustrasi kedua, PT C, WPDN Indonesia menggunakan jasa teknik D ltd, WPDN Singapura yang tidak memiliki badan usaha tetap (BUT) di Indonesia. Setelah pekerjaan selesai, PT C membayarkan penghasilan atas jasa teknik yang diberikan D ltd.
Berdasarkan ketentuan domestik Indonesia, atas penghasilan imbalan jasa tersebut wajib dipotong PPh Pasal 26 pajak sebesar 20%. Namun, terdapat ketentuan P3B Indonesia dan Singapura yang mengatur bahwa penghasilan tersebut dikategorikan sebagai laba usaha. Lalu, oleh karena D Ltd tidak memiliki BUT di Indonesia, imbalan yang diterima D Ltd dan tidak dapat dikenai pajak di Indonesia, melainkan hanya dikenakan pajak di Singapura.
Menurut Inland Revenue Authority of Singapore, WPDN Singapura dapat menikmati pembebasan pajak atas penghasilan luar negeri tertentu. Salah satunya adalah penghasilan atas imbalan jasa.
Dengan demikian, atas penghasilan imbalan jasa tidak dikenai pajak di kedua negara, baik Indonesia maupun Singapura. Kondisi tersebut merupakan double non-taxation dan apabila dilakukan dengan sengaja, termasuk ke dalam bentuk penyalahgunaan P3B menurut Pasal 5 ayat (1) huruf ‘b’ PER No.25/PJ/2018.
Berdasarkan kedua ilustrasi di atas, kondisi yang terjadi dapat dikatakan sebagai bentuk penyalahgunaan P3B menurut PER No.25/PJ/2018. Oleh karena itu, kedua WPLN tidak dapat memperoleh manfaat P3B seperti yang diatur dalam P3B masing-masing negara.
Hal tersebut tentu berseberangan dengan P3B yang ada dan menimbulkan ketidakjelasan apakah P3B dapat diterapkan atau tidak.Keambiguan antara P3B dan ketentuan domestik Indonesia memungkinkan terjadinya perselisihan pandangan (dispute) yang justru dapat memunculkan kegagalan dalam mematuhi P3B yang ada.
Ketidakselarasan antara ketentuan domestik Indonesia dengan P3B dapat menimbulkan konflik yang berakibat tidak diterapkannya ketentuan domestik tersebut karena kedudukan P3B yang lebih mengikat.
OECD Comentaries 1977 secara tidak langsung mengakui bahwa konflik antara ketentuan anti-abuse domestik dapat saja terjadi sehingga apabila tidak terdapat ketentuan khusus dalam P3B yang mengatur mengenai penerapan anti-abuse domestik, sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda yang didahulukan adalah ketentuan P3B (Yusuf Wangko Ngantung, 2016).
BEPS AP 6 merekomendasikan untuk memuat suatu saving clause dalam Pasal 1 P3B, di mana saving clause tersebut akan mengatur bahwa ketentuan anti-abuse domestik dapat berlaku sejalan dengan ketentuan P3B pada kondisi tertentu.
Indonesia saat ini telah membuat payung hukum anti-abuse dalam ketentuan domestiknya melalui PER No.25/PJ/2018. Namun, dalam P3B yang telah diteken Indonesia dengan negara lain saat ini belum ditemui suatu saving clause dalam P3B yang mengatur bahwa ketentuan domestik Indonesia dapat berlaku dalam kondisi tertentu. Masalahnya, menambahkan saving clause pada pasal dalam P3B memang bukan hal yang mudah karena membutuhkan renegosiasi P3B yang akan memakan waktu.
Sebagai jawaban atas permasalahan ini, Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related to Measures to Prevent BEPS atau instrumen multilateral (Multilateral Instrument/ MLI) hadir sebagai solusi.
MLI adalah modifikasi pengaturan P3B secara serentak tanpa melalui proses negosiasi bilateral untuk meminimalisir potensi pajak berganda dan mencegah penghindaran pajak. Pada Juni 2017, Indonesia telah meneken Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related to Measures to Prevent BEPS atau instrumen multilateral (Multilateral Instrument/ MLI).
Dalam MLI, ketentuan mengenai saving clause ini terdapat dalam Pasal 11 dan terhadap pasal ini, Indonesia mengambil posisi ‘adopsi’. Dengan diadopsinya pasal ini berarti Indonesia akan memodifikasi P3B Indonesia melalui penambahan pasal dalam P3B mengenai saving clause.
Dimuatnya suatu saving clause dalam ketentuan P3B Indonesia dengan negara lain, diharapkan ketentuan domestik Indonesia tidak terbentur dengan ketentuan P3B sehingga penerapan keduanya dapat terlaksana dengan baik.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.