PENINGKATAN teknologi informasi dan komunikasi telah membawa masyarakat ke era tanpa batas yang disebut globalisasi. Komunikasi sangat dimungkinkan oleh digitalisasi data, termasuk teks, suara, dan gambar visual yang kemudian ditransmisisikan ke seluruh dunia melalui internet (Dale Pinto, 2003).
Salah satu bentuk trennya adalah komunikasi media sosial. Media sosial membuat komunikasi dan pengekspresian diri menjadi lebih mudah. Ada banyak jenis media sosial yang digunakan oleh banyak orang di seluruh dunia, seperti Facebook, Instagram, dan Youtube.
Pada Januari 2016, 27% dari total populasi dunia secara aktif menggunakan smartphone mereka untuk mengakses media sosial (Kemp, 2016). Berdasarkan eMarketer, Instagram menjadi media sosial dengan tingkat pertumbuhan pengguna tertinggi, yaitu sebesar 15,1% pada 2016.
Saat ini, Instagram tidak hanya digunakan untuk mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi ‘pasar besar’ untuk kegiatan bisnis seperti menjual, membeli, dan mempromosikan produk secara online. Merespons fenomena ini, Instagram akhirnya menyediakan fitur khusus untuk kegiatan bisnis.
Salah satu pihak yang banyak digunakan oleh perusahaan untuk mempromosikan produknya melalui Instagram adalah selebriti Instragram atau dikenal dengan istilah selebgram.
Julukan selebgram sendiri biasanya diberikan kepada akun pribadi seseorang yang memiliki banyak penggemar atau pengikut (followers) dikarenakan foto atau video yang diunggah orang tersebut menarik dan banyak disukai pengguna Instagram lainnya.
Selebgram juga berasal dari berbagai latar belakang. Mereka bukan hanya selebriti yang sudah top terlebih dulu di layar kaca. Dengan ratusan ribu dan jutaan pengikut setianya, tidak heran banyak perusahaan besar melirik selebgram untuk mempromosikan produk mereka. Selebgram kemudian menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Bisnis selebgram bukan main-main. Nilainya cukup fantastis. Tidak terkecuali di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu dari 30 negara yang memiliki pengguna terbanyak media sosial di dunia, yaitu sebanyak 30% dari total populasi atau 66 juta pengguna (Kemp, 2016).
Sementara itu, media sosial yang paling banyak dikunjungi oleh orang Indonesia adalah Facebook dan Instagram (Polling Indonesia, 2016). Merebaknya tren bisnis selebgram, membuat pemerintah kemudian berencana menerapkan pajak terhadap penghasilan yang diperoleh dari bisnis ini.
Sempat tenggelam pada tahun 2016, rencana pemajakan ini hidup kembali pada tahun 2019 ketika Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan seharusnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat peraturan yang serius terkait dengan tarif pajak yang dikenakan untuk selebgram.
Dua Opsi Sistem
MERESPONS hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama menyatakan belum terdapat aturan khusus untuk pemajakan atas penghasilan selebgram. Namun, bukan berarti selebgram tidak dikenai pajak. Pada dasarnya, aturan pajak yang sudah ada juga berlaku bagi selebgram.
Misalnya, untuk pengenaan pajak penghasilan (PPh), terdapat dua sistem yang berlaku. Pertama, withholding tax system, Sistem ini berlaku apabila selebgram mendapatkan penghasilan dari perusahaan yang menggunakan jasa mereka.
Kedua, self assessment system, yaitu sistem yang berlaku ketika selebgram memperoleh penghasilan selain dari perusahaan. Dalam hal ini, selebgram harus melaporkan sendiri penghasilan yang diperolehnya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sepanjang penghasilan tersebut telah melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Untuk melaporkan penghasilannya itu, selebgram wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Terkait dengan hal ini, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 yang mulai berlaku 1 April 2019, selebgram yang tidak memiliki NPWP dapat memilih untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau cukup dengan memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace. Lalu bagaimana jika selebgram tidak melaporkan penghasilannya di dalam SPT?
Sesuai dengan Pasal 9 (2a) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, DJP dapat melakukan pemeriksaan. Apabila terbukti ada penghasilan yang tidak dilaporkan oleh selebgram, DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) pada selebgram yang bersangkutan. SKP tersebut berisi pokok pajak terutang dan sanksi berupa bunga 2% per bulan maskimal 24 bulan (2 tahun).
Sama halnya dengan Indonesia, Singapura juga telah menerapkan pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima selebgram. Pemajakan tersebut juga memiliki dua sistem. Pertama, self assessment system, yaitu apabila selebgram memperoleh endorse feeberupa uang sehingga selebgram tersebut wajib melaporkan penghasilan dalam SPT-nya.
Kedua, nonmonetary benefits, yaitu sistem yang berlaku apabila endorse fee yang diterima berupa barang sekali pakai. Dengan sistem ini, barang tersebut tidak pelu dilaporkan dalam SPT. Namun, apabila selebgram mendapatkan barang yang dapat digunakan lebih dari sekali, barang tersebut wajib dilaporkan sebagai penghasilan dalam SPT (Darussalam, 2016).
Setidaknya terdapat tiga tahapan yang perlu disosialisasikan kepada selebgram, yaitu (i) edukasi kepada para selebgram untuk membayar pajak; (ii) tahapan-tahapan untuk melaporkan pajak; serta (iii) sanksi administrasi atau sanksi pidana terkait denganpelanggaran yang dilakukan. (Darussalam, 2019).
Dengan tahapan di atas, diharapkan timbul kesadaran selebgram untuk membayar atau melaporkan penghasilan mereka sehubungan dengan penghasilan yang didapatkannya dari media sosial.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.