ANALISIS TRANSFER PRICING

Pemeriksaan Transfer Pricing atas Perusahaan Rugi

Redaksi DDTCNews
Jumat, 01 Maret 2019 | 10.23 WIB
ddtc-loaderPemeriksaan Transfer Pricing atas Perusahaan Rugi
DDTC Consulting

PERUSAHAAN multinasional saat ini memegang peranan penting dalam transaksi perdagangan internasional di berbagai segmen industri. Perusahaan multinasional merupakan perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara di bawah pengendalian suatu pihak tertentu.

Lebih dari 60% nilai perdagangan dunia dihasilkan dari transaksi yang berhubungan dengan perusahaan multinasional dengan menggunakan skematransfer pricing (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2013).

Skema transfer pricing yang biasa dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah dengan cara melakukan pengalihan laba perusahaan dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.

Dengan adanya praktik ini, terdapat kemungkinan bahwa perusahaan tersebut akan mengalami kerugian dan tidak melakukan pembayaran pajak di negara dengan tarif tinggi itu.

Namun, apakah kemudian kerugian yang dialami oleh perusahaan multinasional tersebut semata-mata dikarenakan adanya ketidakwajaran transaksi yang terjadi antara wajib pajak dengan pihak afiliasinya atau justru karena faktor lain?

Tantangan besar yang dihadapi oleh perusahaan multinasional saat ini adalah bagaimana perusahaan mampu mendapatkan keuntungan yang maksimal dan menghindari posisi rugi perusahaan.

Tantangan itu muncul dengan mengingat bahwa dalam situasi perekonomian yang melambat seperti saat ini, menjadi sulit bagi suatu perusahaan multinasional untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal atau bahkan perusahaan tersebut dapat mengalami kerugian.

Kerugian yang dialami perusahaan multinasional di suatu negara tentu saja membawa dampak yang cukup serius terhadap penerimaan pajak di suatu negara. Lantas, bagaimana otoritas pajak di berbagai negara menyikapi kerugian yang terjadi pada perusahaan multinasional?

Indonesia
DI Indonesia, peraturan atas pemeriksaan transfer pricing terbit sejak tahun 1993 dan diganti pada tahun 2013 melalui PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Kedua aturan tersebut memberikan penjelasan mengenai tahapan yang harus dilakukan oleh otoritas pajak Indonesia dalam melakukan pemeriksaan transfer pricing.

Pada tahun 2018, diterbitkan SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan yang di dalamnya terdapat tujuh risiko transfer pricingyang berpotensi untuk dilakukan pemeriksaan, yaitu (i) wajib pajak mempunyai transaksi dengan lawan transaksi yang menerapkan tarif efektif pajak lebih rendah, (ii) terdapat indikasi terjadinya skema transaksi dengan pihak lawan transaksi yang tidak memiliki substansi usaha dan/atau tidak menambahkan manfaat ekonomis apapun.

Kemudian, (iii) wajib pajak mempunyai nilai transaksi afiliasi yang signifikan terhadap total peredaran usahanya, (iv) terdapat transaksi intra-group, (v) terdapat transaksi restrukturisasi usaha, (vi) performa keuangan wajib pajak berbeda dengan performa keuangan industri, dan (vii) wajib pajak mengalami kerugian selama 3 tahun pajak dalam jangka waktu 5 tahun.

Otoritas pajak Indonesia akan memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk menjelaskan penyebab kerugian tersebut dan wajib pajak diharuskan memberikan dokumentasi yang komprehensif mengenai kerugian yang dialami.

India
DI India, terdapat beberapa alasan kerugian yang dialami oleh perusahaan, antara lain perusahaan tersebut sedang berada dalam keadaan start-up, tahapan penetrasi pasar, atau adanya siklus bisnis yang kurang baik.

Adapun fokus utama otoritas pajak India dalam melakukan pemeriksaan pada perusahaan yang mengalami rugi adalah kerugian tersebut disebabkan karena penetapan harga transfer yang tidak tepat.

Sementara itu, kerugian yang disebabkan karena keadaan ekonomi ataupun strategi bisnis tidak menjadi fokus utama otoritas pajak India dalam melakukan pemeriksaan atas perusahaan rugi. (Rakesh, et al, 2009).

Prancis
SELANJUTNYA, otoritas pajak Prancis akan mempertimbangkan kerugian yang terjadi pada perusahaan multinasional jika perusahaan tersebut masih berada pada fase awal pendirian (start-up phase) dan wajib pajak mampu untuk memberikan justifikasi yang relevan atas penyebab kerugian yang dialami perusahaan.

Namun, hal tersebut hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu terbatas dan wajib pajak dapat memberikan bukti yang mendukung justifikasi tersebut (Douvier, 2002). Dalam kasus ini, wajib pajak diharuskan untuk membuat dokumentasi transfer pricing yang komprehensif untuk mendukung kebijakan penetapan harga transfer yang dilakukan oleh perusahaan.

Amerika Serikat
DI Amerika Serikat, terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab perusahaan multinasional mengalami kerugian, yaitu kerugian karena perusahaan masih dalam keadaan start-up (start-up losses), manajemen yang buruk (poor management), resesi yang terjadi di dalam perusahaan, atau keadaan ekonomi yang tidak baik (Wright, 2002).

Ketika perusahaan multinasional hanya menderita kerugian di suatu negara, atau dengan kata lain kerugian tersebut tidak terjadi di seluruh grup usaha, penerapan prinsip kewajaran harus konsisten dengan praktik operasi standar dalam industri tempat perusahaan multinasional tersebut berada.

Wajib pajak kemudian diharapkan dapat membuat suatu analisis yang komprehensif atas kerugian yang terjadi sehingga dapat meyakinkan otoritas pajak Amerika Serikat untuk menerima penyebab kerugian yang dialami oleh wajib pajak.

Belanda
LEBIH lanjut, transaksi afiliasi yang menyebabkan wajib pajak mengalami kerugian merupakan masalah yang umum terjadi dan menjadi suatu permasalahan yang rumit di Belanda. Beberapa hal yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian di Belanda adalah perusahaan tersebut masih berada di dalam fase start-up serta kegagalan proses penetrasi pasar atas produk yang dipasarkan oleh wajib pajak.

Otoritas pajak Belanda akan mengambil sikap untuk melakukan pemeriksaan saat wajib pajaknya mengalami kerugian yang disebabkan karena adanya transaksi afiliasi dan mengalami kerugian berturut-turut.

Terdapat dua hal yang harus diteliti oleh otoritas pajak Belanda saat melakukan pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak yang mengalami kerugian, yaitu apa penyebab kerugian perusahaan dan siapa yang akan bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan atas penyebab kerugian tersebut.

Dalam menghadapi pemeriksaan transfer pricing di Belanda, wajib pajak diharapkan dapat membuat suatu dokumentasi komprehensif yang menggambarkan pembagian peran dan tanggung jawab dari masing-masing entitas yang terlibat dalam supply chain group.

Berdasarkan penjelasan di atas, masing-masing otoritas pajak memiliki cara tersendiri dalam menghadapi perusahaan yang mengalami kerugian. Pada dasarnya, kerugian yang dialami oleh wajib pajak dapat diterima oleh otoritas pajak jika kerugian yang dialami hanya berlangsung pada suatu periode tertentu dan tidak berkelanjutan.

Wajib pajak diharapkan dapat membuat suatu dokumentasi penerapan kewajaran transaksi afiliasi secara komprehensif yang didukung dengan bukti-bukti andal. Dengan demikian, dokumentasi tersebut dapat meyakinkan otoritas pajak untuk menerima argumentasi yang disampaikan wajib pajak terkait dengan kerugian yang dialami perusahaan.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.