KEBIJAKAN PAJAK

Rekomendasi IMF dalam Mendesain Administrasi Pajak Orang Kaya

Redaksi DDTCNews | Rabu, 23 Juni 2021 | 11:49 WIB
Rekomendasi IMF dalam Mendesain Administrasi Pajak Orang Kaya

“I think that people at the high end - people like myself - should be paying a lot more in taxes.”

Pernyataan Warren Buffet pada harian New York Times tersebut merupakan wujud kritik dari salah satu orang terkaya di dunia mengenai pengenaan pajak yang rendah kepadanya. Tak hanya Buffet, tokoh-tokoh akademisi, organisasi internasional, dan lembaga think tank pun terus menyerukan perlunya reformasi pajak bagi orang kaya (high-wealth individual/HWI).

Pemerintah di berbagai negara pun telah mengembangkan berbagai program kepatuhan khusus untuk meningkatkan kontribusi penerimaan pajak dari segmen HWI. Beberapa di antaranya meliputi kantor pelayanan pajak khusus bagi wajib pajak besar (large taxpayers office/LTO), pengungkapan wajib (mandatory disclosure), pengungkapan sukarela (voluntary disclosure), skema pajak final, serta pengetatan regulasi.

Baca Juga:
Tingkatkan Kesadaran Pajak, Uni Emirat Arab Terbitkan Taxpayer Charter

Namun, implementasi pemajakan HWI tidaklah mudah. Salah satu hambatan terbesar berasal dari administrasi pajak. Setidaknya terdapat empat alasan utama yang menjadi justifikasi perlunya perbaikan sistem pajak bagi sektor HWI yaitu kompleksitas urusan perpajakan, kontribusi terhadap penerimaan pajak, kemampuan HWI untuk melakukan tax planning yang agresif, serta urgensi dalam menjaga integritas sistem pajak (OECD, 2009).

Untuk itu, IMF dalam sebuah technical notes berjudul Revenue Administration: Implementing a High-Wealth Individual Compliance Program menawarkan panduan administrasi pajak bagi negara maju dan berkembang dalam mempersiapkan program kepatuhan khusus bagi HWI.

Panduan yang disusun John Buchanan dan Lucilla McLaughlin ini dibagi menjadi tiga tahap utama. Pertama, perlunya mengenali berbagai risiko yang dapat ditimbulkan oleh HWI. Sebelum mendesain program kepatuhan, otoritas pajak perlu mengidentifikasi karakteristik dari wajib pajak HWI terlebih dahulu.

Baca Juga:
Bentuk UN Tax Convention, G-7 Ungkap Pentingnya Konsensus dalam Pajak

Salah satu karakteristik utama HWI dalam perspektif pajak adalah sebagian besar kekayaannya yang tidak lagi berasal dari penghasilan aktif, melainkan modal (capital income) yang diperoleh dari kegiatan investasi dan properti.

Kerap kali, sistem administrasi pajak belum dilengkapi kapasitas dan fitur untuk memajaki penghasilan yang berasal dari aliran modal secara optimal. Terlebih, banyak HWI -melalui pengelola hartanya- yang dengan mudah melakukan perencanaan pajak melalui investasi kekayaan pada yurisdiksi yang memiliki tarif pajak cenderung rendah.

Untuk mengantisipasi hadirnya risiko tersebut, langkah kedua yang disarankan oleh IMF adalah perlunya melakukan penilaian atau pengukuran kesiapan dari berbagai program kepatuhan khusus yang hendak dicanangkan.

Baca Juga:
Lapor SPT Tahunan, Biden Bayar Pajak Rp 2,37 Miliar pada 2023

Beberapa unsur yang perlu dinilai oleh otoritas pajak meliputi kesiapan kerangka hukum, kapasitas administrasi pajak (baik staf audit, berbagai fitur kepatuhan, maupun panduan teknis prosedural), serta ketersediaan data dan informasi.

Lebih dari itu, otoritas pajak juga perlu mempertimbangkan keselarasan desain program kepatuhan terhadap kondisi ekonomi politik. Sebab, pelaksanaan program khusus untuk memaksimalkan kepatuhan dan penerimaan dari sektor HWI kemungkinan justru tidak sejalan dengan agenda politik dan ekonomi nasional.

Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk menyelenggarakan perencanaan program yang akuntabel sehingga menciptakan persepsi publik yang selaras dengan tujuan program kepatuhan.

Baca Juga:
Kementerian Energi dari Negara Ini Minta Gas Alam Dibebaskan dari PPN

Ketiga, IMF memberikan saran praktis dalam penerapan program kepatuhan khusus HWI dengan menggunakan model Compliance Risk Management (CRM).

Berdasarkan prinsipnya, pendekatan CRM berusaha untuk mengidentifikasi berbagai tingkatan risiko serta merancang mekanisme dalam mengurangi tax gap dan meningkatkan kepatuhan sukarela dengan cara yang paling sederhana dan efisien.

Model CRM bersifat siklis. Terdapat delapan fase yang diimplementasikan secara berurut mulai dari mengidentifikasi populasi HWI hingga evaluasi program secara kuantitatif maupun kualitatif.

Baca Juga:
Respons Konflik Iran-Israel, Korsel Lanjutkan Diskon Tarif Pajak BBM

Dalam mengadaptasi pendekatan CRM pada program kepatuhan HWI, otoritas pajak perlu memperbarui hasil dan informasi terbaru dalam pemetaan risiko, penyebab risiko, serta tindakan penanganannya secara berkala.

Technical notes yang dikeluarkan pada 2017 ini layak dijadikan salah satu referensi dan panduan bagi perumus kebijakan dan praktisi di berbagai negara dalam upaya optimalisasi administrasi pajak bagi segmen HWI. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 14:30 WIB PAJAK SEKTOR PERTAMBANGAN

Objek Pajak Penghasilan/PPh di Sektor Pertambangan, Apa Saja?

Jumat, 19 April 2024 | 13:44 WIB KEBIJAKAN EKONOMI

Moody’s Pertahankan Rating Kredit Indonesia, Ini Respons Pemerintah

Jumat, 19 April 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

DPR Minta Pemerintah Antisipasi Dampak Konflik Iran-Israel ke APBN

Jumat, 19 April 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Penghitungan PPh 21 atas Upah Borongan di atas Rp 2,5 Juta per Hari

Jumat, 19 April 2024 | 10:45 WIB RENCANA KERJA PEMERINTAH 2025

Longgarkan Ruang Fiskal, Defisit APBN 2025 Dirancang 2,45-2,8 Persen

Jumat, 19 April 2024 | 10:30 WIB PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Pemprov Kaltim Atur Ulang Ketentuan Pajak Daerah, Ini Perinciannya

Jumat, 19 April 2024 | 10:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Jelang Deadline, DJP Ingatkan WP Segera Sampaikan SPT Tahunan Badan