DALAM kurun waktu kurang dari setengah abad, PPN telah menjadi salah satu instrumen penerimaan yang paling dominan di berbagai negara (Kathryn James, 2015). PPN juga dianggap sebagai jenis pajak yang perkembangannya sangat pesat dibandingkan dengan jenis pajak lainnya di seluruh dunia (Schenk dan Oldman, 2007).
Menurut OECD, sampai 1 Januari 2016, terdapat 167 negara di dunia yang telah menerapkan PPN sebagai bentuk pajak atas konsumsi. Tabel berikut memperlihatkan pesatnya perkembangan penerapan PPN di dunia, terutama di negara-negara berkembang, yang terjadi dalam dua dekade terakhir abad ke-20.
Penerapan PPN per 2013
Sumber: Kathryn James, The Rise of Value-Added Tax (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 4.
Banyaknya negara yang menerapkan PPN memperlihatkan bahwa PPN memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis pajak lainnya. Salah satunya, PPN dianggap sebagai pajak yang berkontribusi tinggi terhadap penerimaan di suatu negara. Gambar berikut menunjukkan kontribusi PPN terhadap total penerimaan di berbagai negara dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015.
Kontribusi PPN terhadap Total Penerimaan di Berbagai Negara
Sumber: World Bank
Sebagai jenis pajak yang berkontribusi tinggi terhadap penerimaan negara, menggoda negara-negara yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC) yang tengah merasakan tekanan keuangan akibat anjloknya harga minyak di tahun 2014, untuk menerapkan PPN mulai 1 Januari 2018.
Negara-negara GCC yang terdiri atas Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) sepakat untuk menerapkan PPN dengan tarif 5% (Brederode dan Susilo, 2017). Penerapan PPN di negara-negara teluk akan dikenakan hanya pada komoditas-komoditas tertentu. Misalnya, Arab Saudi yang hanya akan menerapkan PPN pada produk tembakau dan minuman ringan.
Penerapan PPN ini dinilai dapat menjadi salah satu cara guna menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak. Terutama untuk memperkuat kerangka fiskal dalam jangka menengah. Contohnya, Pemerintah UEA yang telah memperkirakan penerapan PPN dapat menambah penerimaan negara hingga sebesar AED 12 miliar (Rp43,5 triliun).
Mesin Uang
Langkah yang dilakukan negara-negara GCC untuk meningkatkan penerimaan dari sektor non-minyak melalui penerapan PPN menunjukkan PPN merupakan pilar paling penting bagi penerimaan negara di sebagian besar negara maju (Gulfnews Analysis, 2017). Bahkan, para pendukung PPN mengklaim bahwa PPN sebagai sarana termudah untuk mengumpulkan penerimaan (Keen, 2007). Hal ini dikarenakan PPN memiliki cakupan yang luas, yaitu dikenakan pada setiap jalur produksi dan distribusi sehingga menjadikannya sebagai mesin uang (money machine) bagi pemerintah.
Dalam artikelnya yang berjudul ”Is the VAT a Money Machine?”, Keen dan Lockwood (2006) menyebutkan salah satu alasan mengapa PPN dianggap sebagai mesin uang. Yaitu, penerapan PPN berbanding lurus dengan berkembangnya pemerintahan yang lebih besar. Artinya, semakin berkembangnya pemerintah, semakin luas pula penerapan PPN di suatu negara dan semakin besar pula potensi penerimaan negara dari PPN tersebut.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa PPN sebagai pajak atas konsumsi mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan pajak penghasilan. PPN yang diterapkan dengan tarif tunggal dianggap lebih efisien secara ekonomi karena pada umumnya tidak mendistorsi pilihan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa serta pilihan apakah seseorang akan menabung terlebih dahulu atau langsung mengkonsumsikan penghasilan yang didapatnya.
Para ekonom sepakat bahwa kebijakan PPN yang didesain dengan baik dapat mengurangi beban pajak berlebih dibandingkan dengan jenis pajak lainnya. Pengurangan kelebihan beban pajak pada perekonomian merupakan hal yang penting bagi sistem perpajakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Beberapa akademisi juga meyakini bahwa kenaikan tarif PPN akan memberikan dampak yang lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan tarif pajak penghasilan. Hal ini didasari dengan argumentasi bahwa kenaikan pajak penghasilan akan secara langsung mengurangi penghasilan sehingga akan menurunkan daya beli yang akan memberikan dampak agregat yang distortif terhadap perekonomian. Di sisi lain, kenaikan PPN belum tentu akan menaikkan harga semua barang secara keseluruhan (Terra, 1988).
Mengingat kelebihan PPN sebagaimana dijelaskan di atas, Bird dan Gendron (2007) menyatakan bahwa tidak ada keraguan akan semakin banyak negara yang menerapkan PPN di masa mendatang. Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa PPN bersifat regresif sehingga perlu dibuatkan solusi bagaimana mengatasi sifat regresif tersebut.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.