Fajarizki Galuh Syahbana Yunus,
DALAM transaksi jual beli, dikenal mekanisme konsinyasi di mana terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu consignor sebagai pihak yang menyerahkan barang dan consignee sebagai pihak yang menerima barang.
Konsinyasi didefinisikan sebagai metode penjualan yang dilakukan dengan cara pemilik menitipkan barang kepada pihak lain untuk dijualkan dengan harga dan syarat yang telah diatur dalam perjanjian (Tehupeiory, 2017).
Metode penjualan konsinyasi memiliki karakteristik yang berbeda dengan metode penjualan dropship. Pada metode penjualan konsinyasi, consignee harus menyediakan gudang persediaan untuk menyimpan produk 'titipan' dari consignor.
Consignee juga bertanggung jawab atas risiko yang muncul dalam proses penyimpanan produk consignor. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan metode penjualan dropship di mana dropshipper tidak perlu menyediakan gudang persediaan sehingga risiko kerugian dapat dihindari.
Secara garis besar, proses bisnis konsinyasi dilakukan oleh consignor dengan menitipkan produk yang mereka hasilkan kepada consignee, dalam hal ini consignee dapat berupa orang pribadi maupun badan (Hacket, 1993).
Selanjutnya, consignee akan melaporkan penjualan atas produk yang consignor titipkan secara berkala sekaligus memperoleh komisi penjualan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Meskipun hak kepemilikan atas produk tetap berada pada consignor, kuasa penuh atas hak untuk menjual produk milik consignor berada pada consignee. Oleh karena itu, consignee memiliki kebebasan untuk menentukan pasar yang menjadi target penjualan barang konsinyasi tersebut.
Strategi penjualan produk melalui mekanisme konsinyasi memiliki keunggulan serta kelemahan. Menurut Zhang (2010), keunggulan penjualan melalui mekanisme konsinyasi adalah perolehan keuntungan yang maksimal dari sisi consignor.
Hal itu disebabkan oleh perputaran persediaan atau inventory turnover yang cukup masif karena consignor memiliki banyak opsi untuk menitipkan produknya ke beberapa consignee yang potensial.
Namun sebaliknya, koordinasi yang buruk dengan para consignee akan menyebabkan blunder bagi consignor akibat kontrol dan monitoring terhadap penjualan serta penetapan harga yang dilakukan oleh consignee tidak optimal.
Oleh karena itu, kelemahan penjualan melalui mekanisme konsinyasi adalah diperlukannya koordinasi yang kuat antara consignor dan consignee agar progress penjualan produk konsinyasi dapat termonitor dengan baik.
Dasar Pemungutan
PERLAKUAN pengenaan pajak atas penjualan produk melalui konsinyasi diatur Pasal 1A UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal itu menyebut consignor wajib memungut PPN atas seluruh transaksi penyerahan barang kena pajak yang dilakukan secara konsinyasi.
Dengan demikian, saat terutang PPN adalah saat consignor menyerahkan produk konsinyasi kepada consignee meskipun belum ada realisasi penjualan produk kepada end user.
Jika dibandingkan dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, terdapat sedikit perubahan terkait dengan perlakuan pengenaan PPN atas mekanisme penjualan secara konsinyasi yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Pada undang-undang itu, Pasal 1A huruf g UU Nomor 42 Tahun 2009 dihapus dan diatur lebih lanjut pada PP Nomor 9 Tahun 2021. Penghapusan klausul tersebut bukan berarti mekanisme penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi tidak lagi terutang PPN.
Pada Pasal 17A ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha ditegaskan PPN atas penyerahan barang kena pajak melalui mekanisme konsinyasi dikenakan dengan memperhatikan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Pasal 17A ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 2021 juga mengatur lebih terperinci saat terutang atas pengenaan PPN konsinyasi. Berlakunya aturan turunan tersebut secara tidak langsung memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dalam menerbitkan faktur pajak atas transaksi konsinyasi.
Ada empat opsi yang dapat dijadikan sebagai patokan bagi wajib pajak untuk menentukan waktu yang tepat dalam menerbitkan faktur pajak atas transaksi konsinyasi. Pertama, saat produk dari consignor diserahkan secara langsung oleh consignee kepada pembeli atau pihak ketiga.
Kedua, saat produk milik consignor diserahkan secara langsung kepada penerima barang dalam rangka pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya.
Ketiga, saat produk milik consignor diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. Keempat, saat harga atas penjualan produk consignor diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh consignor.
Penegasan penentuan saat terutang pengenaan PPN atas mekanisme transaksi konsinyasi memberikan dampak positif, baik dari sisi wajib pajak maupun Ditjen Pajak. Dampak positif yang dirasakan dari sisi wajib pajak di antaranya wajib pajak dapat menjaga stabilitas cashflow perusahaan.
Hal ini karena saat terutang pengenaan PPN atas mekanisme transaksi tersebut adalah saat produk consignor diserahkan kepada konsumen akhir, bukan pada saat diserahkan kepada consignee.
Selain itu, model penentuan itu dapat meminimalisasi kesalahan penyajian laporan keuangan wajib pajak. Tidak dapat dimungkiri jika penyerahan melalui konsinyasi sangat rentan terjadi error atau double entry dalam pencatatan penjualan maupun persediaan pada laporan keuangan wajib pajak.
Dari sisi Ditjen Pajak, penegasan penentuan saat terutang pengenaan PPN atas mekanisme konsinyasi berdampak pada semakin terbatasnya ruang gerak wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) maupun pengelakan pajak (tax evasion).
Kondisi tersebut sangat baik mengingat aturan mengenai pengenaan PPN atas transaksi konsinyasi pada UU Nomor 42 Tahun 2009 selama ini masih memunculkan grey area yang dengan leluasa dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk melakukan upaya penghindaran pajak.
Bentuk penghindaran pajak yang seringkali dilakukan oleh wajib pajak dari sisi consignee adalah memperkecil PPN yang disetor ke kas negara dengan mengakui pajak masukan atas transaksi konsinyasi.
Sementara itu, bentuk penghindaran pajak dari sisi consignor adalah melakukan penyerahan barang konsinyasi dalam jumlah banyak meskipun barang konsinyasi tersebut masih belum terjual ke end user.
Upaya ini dilakukan dengan maksud untuk mencegah dilakukannya pemeriksaan akibat lebih bayar yang terjadi dalam SPT Masa PPN perusahaan consignor.
Dengan demikian, keberadaan aturan baru tersebut akan semakin memudahkan Ditjen Pajak dalam melakukan pengawasan kepatuhan wajib pajak serta mengurangi potensi tax loss di masa yang akan datang.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.