PERSPEKTIF

Menimbang Lagi Scare Tactics di UU KUP

Minggu, 05 Juni 2016 | 06:30 WIB
Menimbang Lagi Scare Tactics di UU KUP
Danny Septriadi,
Senior Partner DDTC

JUMAT lalu (27/5), Kanwil DJP Jateng II menyandera paksa (gijzeling) seorang nenek berusia 70 tahun di Solo yang menunggak pajak sebesar Rp43 miliar. Nenek berinisial SDH tersebut terpaksa ditahan karena dianggap tidak memiliki itikad baik untuk melunasi utang pajaknya, walaupun dinilai mampu.

Menurut keterangan Kanwil DJP Jateng II, SDH memiliki utang pajak sebesar Rp21,5 miliar di KPP Pratama Solo pada 2011. Atas utang ini, SDH lalu mengajukan keberatan ke Kanwil DJP Jateng II dan ditolak. Pada 2012, SDH mengajukan banding di Pengadilan Pajak. Namun, lagi-lagi bandingnya ditolak.

Karena bandingnya ditolak itulah, tunggakan pajak SDH yang semula hanya Rp21,5 miliar naik dua kali lipat menjadi Rp43 miliar. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 27 ayat (5d) menyebutkan jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, maka WP dikenai sanksi administrasi denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Coba SDH tidak banding, utangnya hanya Rp32,25 miliar. Sebab Pasal 25 ayat (9) UU KUP menyebut jika keberatan WP ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai sanksi administrasi denda 50% dari jumlah pajak berdasar keputusan keberatan dikurangi pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Mungkin benar bahwa SDH memang salah, dan hukuman yang diberikan kepadanya juga sudah sesuai aturan. Namun, adil dan sudah proporsionalkah hukuman tersebut?

Keadilan Proporsional

NEGARA memang berhak menetapkan hukuman sanksi dan denda administrasi yang ditujukan bagi WP yang lalai atau tidak menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar. Namun, sanksi itu ditujukan untuk memberikan efek jera, bukan untuk menambah pendapatan negara. (Yudkin, 1971)

Dengan kata lain, sanksi yang dijatuhkan untuk memberi efek jera tadi harus sesuai dengan asas keadilan secara proporsional. Pengertian proporsional ini barangkali bisa beragam. Namun, Vanistendael (1996) memiliki kalimat yang jitu untuk menjelaskan proporsionalitas itu secara gamblang.

Menurut dia, yang dimaksud dengan proporsionalitas tidak lain adalah “It means that there must be some proportional relationship between the goals to attained and the means used by the legislator. In the tax area, this means that taxes cannot be excessive.”

Sejalan dengan prinsip proporsionalitas tersebut, sanksi bagi WP haruslah proporsional dengan tingkat kesalahan yang dilakukannya. Dalam konteks hukuman nenek tadi, persoalan mengenai proporsionalitas muncul ketika adanya sanksi kenaikan atas keberatan dan banding yang ditolak.

Adanya ketentuan untuk mengenakan sanksi kenaikan sebesar 50% dari jumlah pajak yang disengketakan yang tidak dibayar jika keberatan ditolak, serta sanksi kenaikan sebesar 100% jika banding ditolak, telah mencederai aspek proporsionalitas tersebut sekaligus melenceng dari tujuan pemberian sanksi.

Ketentuan itu mencerminkan adanya taktik menakut-nakuti (scare tactics) agar WP membayar dahulu jumlah pajak yang masih disengketakan untuk terhindar dari risiko sanksi kenaikan. Hal ini juga tidak sejalan dengan hak WP untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.

Bagaimana jika WP membayar seluruh utang pajak yang disengketakan dan ternyata mereka menang, berapa jumlah ‘bunga’ yang akan diperoleh WP? Apa jumlahnya sama besar dengan risiko sanksi ‘denda’ yang akan mereka bayar seandainya mereka tidak membayar jumlah pajak yang disengketakan?

Denda vs Bunga

DALAM sistem perpajakan Indonesia yang berlaku saat ini, dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi sendiri dibedakan menjadi sanksi denda administrasi, sanksi bunga, dan sanksi kenaikan pajak (Waluyo, 1987).

Di samping itu, sistem perpajakan Indonesia juga mengenal pemberian imbalan bunga kepada WP yang menang dalam tingkat keberatan dan banding. Adapun, jumlah imbalan bunga yang diterima oleh WP adalah sebesar 2% per bulan, dengan durasi maksimum 24 bulan.

Andai dalam pengajuan keberatan dan banding WP membayar dahulu seluruh utang pajaknya, bunga yang diterima WP yang menang tentu tidak sebanding dengan jumlah denda yang harus dibayar WP yang tidak membayar seluruh utang pajaknya tetapi kalah di tingkat keberatan dan banding.

Dengan ketentuan penerapan sanksi denda seperti tertera di Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP, dengan sendirinya proses pengajuan banding otomatis menjadi tidak murah. Padahal, pengajuan keberatan dan banding adalah hak WP yang seharusnya tidak diberikan sanksi yang memberatkan.

Hal ini sesuai dengan Konsiderans huruf c UU Pengadilan Pajak yang menyatakan dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, penyelesaian sengketa pajak memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana.

Apabila terdapat ‘penerimaan pajak yang tertunda’ akibat WP mengajukan keberatan dan banding, sanksi yang diberikan kepada WP seharusnya sebatas nilai waktu uang (time value of money) akibat tertundanya uang penerimaan pajak tersebut. Negara toh hanya mengalami kerugian time value of money itu tadi. (Muuten, 2001).

Nenek SDH barangkali memang salah. Dia tidak melunasi utang pajaknya, dan karena itu dia dihukum sesuai dengan aturan. Namun, negara tetap tidak boleh mempersulit dirinya untuk mendapatkan keadilan. Revisi UU KUP yang masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 bisa menjadi mementum untuk memperbaiki ketentuan tersebut. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN