Efrillya Niswantariputri,
PEMERINTAH terus melakukan reformasi perpajakan untuk memaksimalkan target penerimaan. Salah satu bagian dari reformasi tersebut adalah diterbitkannya UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pajak penghasilan (PPh) menjadi aspek penting dalam reformasi itu.
Terlebih, pada masa pandemi Covid-19, seruan pengenaan pajak terhadap orang kaya bermunculan. Alasannya, orang kaya dinilai memiliki potensi nilai pajak yang besar. Selain itu, kepatuhan pajak orang kaya cenderung belum optimal. Kemudian, ada aspek keadilan yang diusung (Fereshti N.D., 2021).
Lantas, bagaimana cara Ditjen Pajak (DJP) membidik wajib pajak orang kaya tersebut? Sejak 1 Januari 2022, pemerintah memberlakukan kenaikan tarif PPh menjadi 35% bagi orang pribadi dengan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.
Di sisi lain, pemerintah juga telah memberlakukan penghapusan pajak atas dividen yang diterima orang pribadi dengan syarat diinvestasikan kembali. Perlu diingat, sebagian besar penerima penghasilan dividen adalah orang-orang kaya.
Dengan demikian, apakah kebijakan-kebijakan itu telah menempatkan wajib pajak orang kaya sebagai sasaran optimalisasi pajak? Kunci keberhasilannya adalah transparansi dan integrasi data, pengawasan, serta peningkatan kepatuhan wajib pajak orang kaya.
Aspek yang dilihat bukan hanya menyangkut pengenaan PPh serta pelaporan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), melainkan juga tentang pengawasan aliran dana. Terlebih, otoritas telah diberikan izin akses terhadap informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari pihak ketiga.
DENGAN akses atas informasi, petugas pajak berpeluang mengawasi atas aliran penghasilan orang-orang kaya. Tidak hanya melihat benar atau tidaknya jumlah serta sumber penghasilan, akses itu bisa memberikan gambaran aset-aset yang dimiliki wajib pajak. Perlu adanya rekonsiliasi data.
Transparansi dan integrasi data atas informasi keuangan saat ini terus dikembangkan. Berbagai kegiatan ekonomi memanfaatkan teknologi internet atau berbasis online, seperti pembukaan rekening bank, jual-beli saham atau valas, dan pengurusan izin usaha.
Pada kondisi tersebut, keterkaitan atau hubungan para pelaku transaksi keuangan akan terbuka. Begitu pula hubungan orang-orang kaya dan grup usahanya. Hubungan tersebut bisa tergolong hubungan istimewa. Dengan demikian, petugas pajak harus jeli menilai kewajaran transaksinya untuk menggali potensi di dalamnya. Di sinilah, transfer pricing documentation (TP Doc) mengambil peran.
Selain itu, orang-orang kaya tidak hanya berfokus pada satu sumber penghasilan. Mereka mengembangkan sumber penghasilan lain. Berbagai jenis investasi, seperti properti, surat-surat berharga, logam mulia, atau pembukaan bisnis baru, dipilih orang kaya.
Investasi mereka tidak hanya di dalam negeri. Mereka juga banyak mengalihkan aset dan penghasilannya ke luar negeri. Kondisi inilah yang membuat pengawasan aliran dana penghasilan orang-orang kaya sangat penting. Terlebih, DJP terus mempeluas pertukaran informasi keuangan dengan negara-negara mitra.
Salah satu aspek penting yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan petugas pajak dalam melihat berbagai potensi, baik yang melekat pada objek maupun subjek sasaran pajak.
Pengumpulan data, penyusunan rekonsiliasi dengan SPT Tahunan orang pribadi, serta tindak lanjut bisa menjadi wujud pengawasan yang nyata. Tindak lanjut yang dimaksud dapat berupa penyampaian imbauan, permintaan penjelasan, atau bahkan pemeriksaan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.