Ilustrasi. Gedung Kemenkeu. (Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan telah merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 89/PMK.010/2020. Beleid ini mengatur nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak (DPP) dalam pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu.
Terkait dengan hal tersebut, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memberikan keterangan resmi melalui Siaran Pers No. SP – 6 /BKF/2020 yang dipublikasikan pada sore ini, Selasa (4/8/2020).
Dalam siaran pers tersebut, BKF menyatakan produk pertanian adalah barang kena pajak yang atas penyerahannya dari petani atau kelompok petani dengan peredaran usaha di atas Rp 4,8 miliar kepada pembeli, dikenai PPN dengan tarif 10% dari harga jual.
Sebagaimana mekanisme PPN, petani dimaksud memenuhi kewajiban PPN-nya dengan memperhitungkan seluruh pajak masukan yang sudah dibayar (misalnya pajak atas pembelian pupuk), kemudian menyetorkan sisanya ke kas negara.
Untuk memberikan kesederhanaan, petani dan kelompok petani dapat memilih menggunakan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak yaitu 10% dari harga jual, sehingga tarif efektif PPN menjadi 1% dari harga jual (10% dikalikan 10% dari harga jual).
Berbagai barang hasil pertanian yang dapat menggunakan nilai lain adalah barang hasil perkebunan, tanaman pangan, tanaman hias & obat, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu. Simak artikel ‘PMK Baru Soal DPP Pengenaan PPN Barang Hasil Pertanian Tertentu’.
“Sekarang, petani dapat memilih untuk menggunakan mekanisme nilai lain, atau mekanisme normal. Untuk menggunakannya, petani hanya perlu memberitahukan kepada DJP terkait penggunaan mekanisme nilai lain tersebut pada saat menyampaikan SPT masa PPN”, terang Kepala BKF Febrio Kacaribu.
Badan usaha industri yang membeli dari petani ditunjuk sebagai pemungut PPN 1% dan tetap dapat mengkreditkan PPN tersebut sebagai pajak masukan. Pemungutan oleh badan usaha industri ini semakin meningkatkan kemudahan bagi petani dan kelompok petani.
Sebelumnya, pemerintah pernah memberikan fasilitas perpajakan bagi sektor pertanian berupa pembebasan PPN melalui PP 12 Tahun 2001 s.t.d.t.d. PP 31 tahun 2007. Namun, pada 2013, fasilitas tersebut dicabut oleh putusan Mahkamah Agung No 70 P/Hum/2013, sehingga atas penyerahan barang hasil pertanian menjadi terutang PPN.
Sejak putusan tersebut dicabut hingga saat ini, sambung BKF, petani masih merasa kesulitan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga kemudahan yang ditawarkan PMK ini dapat menjadi penyelesaiannya. (kaw)