Edwin Aqil,
EKONOMI dunia saat ini sedang diliputi ketidakpastian dan terus mencari keseimbangan barunya. Setahun berlalu, agresi Rusia ke Ukraina menciptakan tantangan serius bagi seluruh negara untuk menjaga tatanan politik dan mempertahankan kestabilan ekonomi. Tidak hanya perang yang terus berkecamuk, kebijakan-kebijakan negara lain juga turut andil dalam mewarnai dinamika geopolitik global.
Secara politis, posisi Indonesia dalam eskalasi perang ini tetap sama, yakni berpegang teguh pada asas bebas aktif. Namun, tampaknya guncangan politik global telah berdampak banyak pada ekonomi Indonesia selama setahun terakhir.
Kebijakan embargo minyak dari Rusia contohnya, berhasil menaikkan harga minyak dunia yang semula pada kisaran US$60 per barel pada 2021, hingga mencapai puncaknya US$120 pada Juni 2022. Padahal, APBN kala itu mengasumsikan harga minyak dunia pada kisaran US$60 hingga US$65.
Kenaikan harga yang melampaui kuota subsidi bahan bakar minyak (BBM), memaksa pemerintah untuk menaikkan harga jual BBM. Berdasarkan kondisi itu, sejatinya dampak eskalasi politik global juga ikut ditanggung oleh masyarakat luas.
Meskipun eskalasi politik global telah mendatangkan guncangan pada perekonomian, perusahaan-perusahaan energi di dalam negeri mendapat manfaat besar dari hal ini. Sektor migas misalnya, berdasarkan laporan keuangan emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), mengalami peningkatan laba year-on-year (yoy) dari kisaran 30% hingga angka tertinggi mencapai 1.029% pada 2022.
Sama halnya dengan perusahaan batu bara di dalam negeri. Putra (2022) menemukan pertumbuhan laba perusahaan batu bara dari peningkatan 41% yoy pada 2021 menjadi 159% yoy pada 2022. Hal ini secara langsung juga dipengaruhi karena lonjakan harga batu bara, dari yang semula berada di kisaran US$80 per ton pada Maret 2021 menjadi US$430 per ton pada September 2022.
Fenomena tersebut kerap disebut sebagai windfall atau windfall profits. Twin (2022) menyebut bahwa windfall profits adalah keuntungan besar yang berlebihan dan tidak terduga yang dihasilkan dari keadaan yang menguntungkan. Keuntungan tersebut umumnya terjadi karena sejumlah faktor, seperti lonjakan harga atau kekurangan dalam pasokan yang bersifat sementara atau jangka panjang.
Meskipun demikian, terkait dengan kondisi windfall profits, Indonesia masih belum memiliki kebijakan yang dapat menangkap durian runtuh tersebut melalui pemungutan pajak atas laba yang berlebihan. Kebijakan pemerintah selama pandemi justru lebih banyak memberikan keuntungan bagi perusahaan melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Pada 2021 misalnya, alokasi anggaran sejumlah Rp61,72 triliun dari dana PEN diserap oleh sektor energi dan mineral. Tren penurunan tarif PPh Badan dari yang semula 25% menjadi 22% yang dimulai sejak 2020 hingga saat ini, tampaknya juga telah banyak membantu perusahaan-perusahaan dalam bertahan di era pandemi.
Pada gilirannya, penerimaan negara di sektor energi juga mencatatkan pertumbuhan yang positif. Pada 2022, PPh migas diketahui tumbuh mencapai 47,3% yoy, sedangkan non-migas tumbuh mencapai 43% yoy. Selanjutnya, penerimaan dari PNBP juga tercatat mengalami kenaikan 86,8% yoy untuk migas dan 101,8% yoy untuk nonmigas.
Namun, jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya kenaikan penerimaan ini tidak secara signifikan dimanfaatkan untuk meredistribusi kesejahteraan kepada masyarakat yang rentan dan masih banyak nilai yang hanya dinikmati oleh perusahaan saja.
Pada akhirnya, pemerintahan yang terpilih nantinya perlu berhati-hati dalam menjaga basis penerimaan pajak yang belum dapat ter-capture dalam eskalasi politik global ini. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan energi memang lebih banyak diuntungkan. Namun, bukan tidak mungkin sektor lain juga akan mendapat windfall pada masa mendatang, salah satunya sektor energi terbarukan.
Dengan berbagai tantangan pembangunan, sudah saatnya negara bisa mendapatkan lebih banyak penerimaan guna menyejahterakan masyarakat luas. Pemerintah sejatinya dapat mengusulkan cara modern untuk mengenakan pajak atas keuntungan yang berlebihan. Skema ini secara luas dikenal dengan windfall tax.
Menurut Kagan (2022), windfall tax adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah terhadap industri tertentu ketika kondisi ekonomi menyebabkan industri tersebut memperoleh keuntungan yang jauh di atas rata-rata.
Dalam menerapkan kebijakan tersebut, Indonesia bisa berkaca pada pengalaman di negara lain. Inggris misalnya, mengenakan windfall tax sebesar 25% atas laba dari perusahaan minyak dan gas sepanjang 2022 hingga 2025. Kebijakan tersebut juga diikuti dengan pengurangan hingga 91,25% dari tarif windfall tax, ketika laba yang merupakan objek windfall tax diinvestasikan kembali di Inggris.
Adapun, Polandia, Portugal, dan Finlandia mengenakan windfall tax sebesar 33% pada 2022 hingga 2024 atas margin perusahaan energi dan listrik yang melebihi 120% dari rata-rata laba perusahaan dalam 4 tahun terakhir. Di sisi lain, terdapat windfall tax di Lithuania dan Latvia yang dikenakan kepada perusahaan perbankan.
Secara umum, kebijakan windfall tax banyak diterapkan di Eropa secara temporer. Poin kunci dari kebijakan ini adalah menangkap momentum ketidakstabilan global dengan memaksimalkan fungsi redistribusi. Jika selama ini laba yang melimpah hanya dinikmati perusahaan tertentu saja, kini dapat dinikmati masyarakat luas dengan mensubsidi harga energi dan membantu rumah tangga yang rentan.
Sama halnya dengan Eropa, Indonesia juga bisa menangkap momentum ketidakstabilan geopolitik dengan menerapkan windfall tax. Selaras dengan adagium salus populi suprema lex, yang diartikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi negara.
Meskipun demikian, pemerintah harus melihat secara presisi landasan apa yang menyebabkan perusahaan mengalami peningkatan laba secara signifikan. Ketika laba yang dihasilkan bersifat windfall karena faktor geopolitik global ataupun peristiwa serupa, kebijakan windfall tax sejatinya telah memenuhi aspek keadilan dalam perpajakan.
Namun, ketika laba yang sangat tinggi ini disebabkan oleh peningkatan kinerja perusahaan itu sendiri, misalnya dengan ekspansi usaha, investasi, dan inovasi maka windfall tax mestinya dikecualikan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini akan mengakibatkan distorsi ekonomi pada perusahaan yang terkena windfall tax.
Untuk melihat potensi terjadinya windfall, integrasi data dan teknologi yang mumpuni merupakan alat bantu yang dapat dipakai oleh pemerintah. Melalui input data seperti harga komoditas global ke dalam sistem yang dimiliki Ditjen Pajak (DJP), fiskus akan terbantu dalam melakukan penilaian.
Secara umum, langkah tersebut serupa dengan analisis big data. Analisis ini mengambil sampel data wajib pajak dengan cepat dan efektif, mengembangkan profil risiko, dan menandai potensi masalah pemeriksaan pajak. Tentunya data ini juga dianalisis kesamaannya ketika pembayaran SPT.
Walaupun tidak bersifat permanen, tetapi kebijakan windfall tax dapat menjadi shock absorber dalam menjaga kestabilan harga barang dalam negeri dan memastikan fungsi redistribusi pajak yang lebih baik. (sap)
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.