ALI SOEBROTO OENTARYO:

'Pembebasan PPh Pasal 22 Impor Masih Dibutuhkan'

Dian Kurniati
Minggu, 31 Januari 2021 | 08.01 WIB
ddtc-loader'Pembebasan PPh Pasal 22 Impor Masih Dibutuhkan'

Ali Soebroto Oentaryo telah lama berkiprah di industri elektronik. Diawali dengan memproduksi peralatan elektronik rumah tangga, perusahaannya terus berkembang dengan turut memproduksi ponsel di dalam negeri.

Sebagai Ketua Umum Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia, Ali paham betul dinamika industri elektronik dan ponsel saat ini. Menurutnya, penjualan barang elektronik mengalami kontraksi tahun lalu, sedangkan produk telekomunikasi cenderung stagnan.

Menurut dia, pengusaha masih membutuhkan insentif pajak untuk dapat cepat pulih, terutama pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 impor. Hal ini dikarenakan kebanyakan komponen barang elektronik dan ponsel masih impor.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai pria yang juga menjabat sebagai President Director Panggung Electric Citrabuana. Perjalanan perusahaannya bermula sejak era Orde Baru, dan tetap eksis hingga sekarang. Kutipannya:

Bagaimana kondisi bisnis selama pandemi Covid-19?
Sebagaimana biasanya, kami ini miskin data. Jadi semuanya hanya menggunakan perkiraan-perkiraan. Asosiasi tidak bisa meminta data dari anggotanya karena pengurus asosiasi juga pelaku usaha dan dalam hal ini kami berarti kompetitor.

Kalau demand elektronik saat pandemi kemarin ternyata tidak turun banyak. Kalau yang kami lihat volumenya tanpa melihat apakan barang impor atau barang dalam negeri secara average turunnya mungkin 10%.

Kalau menurut PDB mungkin itu enggak terlalu banyak ya. Enggak seperti otomotif yang turunnya 50%. Tapi kita tahu itu, penurunan elektronik kalau dibandingkan dengan global growth yang turun 5,5% maka turun 10% itu juga berarti enggak bagus. Tapi kami enggak punya data pasti.

Bagaimana dengan permintaan ponsel?
Kalau handphone, kami perkirakan mungkin malah enggak turun. Mungkin bertahan lah dan bisa naik juga, karena ada kebutuhan. Tapi handphone, termasuk tablet, kan masuk di HKT [handphone, komputer genggam, dan tablet], itu yang paling banyak untuk sekolah online memang ada di sana.

Saya enggak punya data yang akurat, kalau pun naik itu kan masih average, antara handphone dan tablet itu enggak besar. Kemungkinan industri handphone itu stabil, jadi meski pandemi enggak turun, bahkan cenderung naik. Itu bisa saja.

Kami sudah mengusulkan kepada Kemenperin sebaiknya masing-masing industri itu ada datanya. Tapi kelihatannya masih sulit karena pemerintah sekarang ini semua data masih dipegang oleh BPS [Badan Pusat Statistik], yang basic datanya dari Bea Cukai.

Bagaimana pandemi memengaruhi model kerja industri elektronik dan perangkat telematika?
Karena kami istilahnya bekerja sama dengan kementerian, saya sebagai pengurus menilai sebetulnya tidak ada masalah buat pabrik. Pabrik dari awal sudah mempunyai IOMKI [Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri].

Perusahaan memang harus punya semua perizinannya. Sekarang ini, bagi perusahaan yang tidak terdaftar di server-nya Kemenperin, enggak akan bisa mengajukan IOMKI. Istilahnya kalau kependudukan, surat identitasnya harus komplet.

Dalam IOMKI itu juga ada persyaratannya, dari protokol kesehatan soal Covid yang harus dipenuhi, seperti cek temperatur, menjaga jarak, menggunakan masker, semuanya harus jalan. Karena kan pabrik tidak mungkin work from home, jadi buat kami it's ok, tidak ada masalah.

Kemudian, kami juga harus melaporkan kalau ada yang kena infeksi. Kalau manajemen perusahan tidak bagus, IOMKI bisa dicabut. Dulu awal-awal ketat, kemudian mereda ada relaksasi, tapi sekarang ketat lagi. Kami sudah biasa melapor.

Untuk office juga tidak ada problem. Kalau ada aturan yang work from home mau 50%, mau 75%, itu tergantung kesiapan perusahaan. Kebetulan kami di elektronik, apalgi di IT, orangnya sudah enggak ada masalah.

Meeting langsung sudah enggak pernah, karena meeting pakai Zoom semua. Kalau ada di gedung yang sama juga meeting tetap pakai Zoom, kursinya masing-masing. Kebetulan di elektronik itu SDM-nya sudah terbiasa, apalagi industri handphone ya mainannya memang di sana.

Bagaimana awal mula Anda terjun di industri elektronik?
Sederhana saja. Sebetulnya semua industri bermula waktu berubahnya Orde Lama ke Orde Baru. Kalau Orde Lama kan semuanya maunya kita tertutup, maunya dikerjain sendiri, tapi karena duitnya enggak ada, ya enggak maju. Penggantinya, dengan Orde Baru, pandangannya lebih terbuka.

Pada masa itu, kita perlu melakukan pembangunan industri. Saat itu semua negara itu memproteksi pasarnya, apalagi seperti Indonesia pasarnya banyak. Tapi akhirnya perlahan bisa ada kerja sama.

Kalau Anda lihat, industri elektronika yang sekarang ada itu sebetulnya warisan dari dekade 70 atau 80-an, jadi tidak bertambah. Menurut saya kalau yang masih ada dan bertahan ini mereka kebanyakan mixing, separuh impor separuh memproduksi.

Semakin ke sini, pemerintah mendorong local content makin besar. Makanya produk lokal lebih mudah dapat SNI. Seperti handphone, awal 2000-an, saat Menkominfonya Pak Sofyan Djalil, new technology harus mengandung local content. Kalau handphone local content-nya sekarang sekitar 30%.

Bagaimana pandangan Anda mengenai insentif pajak yang diluncurkan pemerintah tahun lalu?
Dalam situasi pandemi, artinya perusahaan sales-nya turun. Sebenarnya tergantung sektornya, malah ada yang naik, tapi majority kan turun. Dan perusahaan ini harus mengeluarkan biaya kesehatan dan lain-lain tergantung company.

Kalau kami melakukan itu setiap bulan, melakukan pemeriksaan mengenai Covid, rapid test tiap bulan untuk mengontrol pandeminya. Seperti saat ini, ada rapid test lagi sekitar 700 orang.

Ada yang reaktif, berarti harus rapid test kedua kali, dan kalau dia tetap reaktif, kemudian harus PCR. Itu kan duit semua, company harus mengeluarkan. Saving dari kegiatan traveling, saving dari entertainment, kami gunakan untuk kesehatan. Semua ruangan juga kami beri filter.

Mengenai insentif PPh Pasal 21, itu bukan kami yang diuntungkan tapi karyawan. Kalau PPh Pasal 25, ini baru soal cash flow. Tapi masalah industri tidak hanya cash flow, karena setahun profitnya enggak banyak dibagi 12 bulan, dipotong 50%, ya enggak ada artinya lah.

Tapi sebetulnya, di industri elektronik seperti kami ini kan materialnya banyak impor. Nah, setiap impor kami harus bayar PPh Pasal 22. Selama pandemi kan dibebaskan, jadi itu yang membantu karena nilainya gede.

Kalau begitu, Anda berharap insentif pembebasan PPh Pasal 22 impor itu kembali dibebaskan tahun ini?
Iya, karena itu kan sampai Desember [2020], dan kalau tidak ada peraturan baru ya otomatis balik lagi ke normal. Padahal itu yang penting untuk membantu cash flow.

Semua impor itu kan dipungut 2,5%, itu gede lho. Misal, impor Rp1 triliun, kami harus menyetor 2,5% yang berarti Rp25 miliar. Kalau kami profitnya cuma Rp5 miliar, artinya akan ada restitusi Rp20 miliar.

Untuk restitusi itu kan kita tahu prosesnya panjang hingga 2 tahun. Tahun depannya lagi masih ada restitusi Rp20 miliar. Jadi duit itu tertahan Rp40 miliar di pemerintah. Jadi industri ini seperti kami memberikan pinjaman kepada pemerintah.

Makanya, ini tidak fair. PPh Pasal 22 itu sebetulnya itu kan kalau di negara ASEAN sudah tidak ada negara satupun yang mempraktikkan cara ini. Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, semua enggak ada yang namanya PPh Pasal 22.

Jadi seharusnya mesti direkomendasikan untuk dihilangkan karena itu yang mengurangi competitiveness secara umum, baik itu ekspor maupun impor. Ekspor pun kena, kecuali kalau dia itu kawasan berikat. Kalau kawasan berikat, baru bebas PPh Pasal 22.

Saya dulu sudah mengusulkan ini kepada Dirjen Bea Cukai supaya dihilangkan PPh Pasal 22. Tapi ya sayangnya belum bisa diterima, dan terus kena pandemi. Kalau untuk industri elektronik, yang import content-nya tinggi, PPh Pasal 22 itu sangat memberatkan.

Kapan Anda mengusulkannya?
Tahun 2019, sebelum pandemi. Tapi belum ada keputusan.

Apakah perusahaan Anda juga memanfaatkan fasilitas kepabeanan seperti KITE atau kawasan berikat?
Oh banyak. Dulu sih namanya jalur prioritas, sekarang MITA [Mitra Utama Kepabeanan] prioritas. Kami bukan MITA biasa, karena sudah bersertifikat AEO [Authorized Economic Operator].

Kami pakai ini dari dulu. Kami dulu ekspor, tapi sekarang ya menurun banyak. Bukan di elektroniknya, tapi di produk yang terkait elektronik lah, electronic related.

Soal pembebasan PPh 22 impor, apakah Anda sudah bertemu pemerintah?
Belum, karena saya agak susahnya ya, kalau sebetulnya kami mau menggunakan kendaraan Kadin atau Apindo. Kalau dari diskusi, kebanyakan mereka bukan penanggung jawab mengenai masalah company secara total.

Tapi insentif itu bagus, dari pada kami tiap tahun mesti restitusi besar sekali, dan tiap kali restitusi pasti ribut. Itu yang dimaksudkan pimpinan Jetro [Japan External Trade Organization] itu, bahwa permasalahan investasi Jepang di Indonesia itu pasti menghadapi tax problem.

Apakah Anda memiliki pengalaman menarik yang berhubungan dengan petugas pajak?
Oh iya, tapi saya sudah tahu dan saya sudah mengatur strategi sejak 20 tahun yang lalu. Pajak atau Bea Cukai kita itu sudah sangat transparan dan sangat akurat, sehingga enggak ada kalau masalah hitungan. Enggak ada masalah. Yang ada problem itu untuk perbedaan interpretasi.

Bagaimana prospek penjualan elektronik dan ponsel tahun ini?
Saya kira tumbuh lah. Elektronik tumbuh, kecuali ada bencana-bencana baru, tapi kan misalkan PSBB [Pembatasan Sosial Berskala Besar] dijalankan ketat otomatis langsung nge-drop.

Sekarang kan adanya PPKM [Pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat], yang PPKM itu cuma nama tapi kalau praktiknya kami sudah memahami kalau itu diperketat kan enggak ada untungnya.

Sebetulnya kami sudah berusaha menghindari Covid ini dengan jaga jarak, pakai masker, itu yang paling penting kan. Tapi kalau pergerakan manusia dibatasi, sudah pasti ekonominya jatuh.

Bagaimana arti kesuksesan menurut Anda?
Sebetulnya kalau tujuan dari orang industri, menurut saya ya bagaimana Indonesia itu industrinya maju. Semuanya berkeinginan ke sana. Adanya UU Cipta Kerja ini diharapkan bisa membantu, tapi kalau kami diskusi dengan investor Jepang mereka melihat satu masalah di cost perburuhan.

Untuk itu, yang penting inflasi jangan diregulasi. Kalau inflasi ini dipatok, maka itu akan sulit. Pada manufaktur ini, kalau masalah tenaga kerja bisa diselesaikan, akan menjadi daya tarik yang kuat bagi investor asing.

Poin utama lainnya soal penyediaan lahan yang kompetitif. Mereka bilang banyak sekali pihak-pihak yang tertarik untuk membangun industri di Indonesia karena Indonesia secara lingkungan paling disukai.

Apa arti keluarga untuk karier Anda?
Ya nomor satu. Saya rasa bagi semua orang juga begitu. Seseorang itu kalau enggak didukung keluarga yang baik, enggak mungkin bisa kerja. (Rig/Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.