ANALISIS PAJAK

Pemajakan di Luar Angkasa

Rabu, 01 April 2020 | 08:14 WIB
Pemajakan di Luar Angkasa

Anggi P.I. Tambunan,
DDTC Consulting.

HAMPIR seluruh peraturan pajak mengatur pemajakan atas kegiatan transaksi ekonomi yang terjadi di suatu wilayah negara maupun lintas batas negara. Sehubungan dengan pemajakan yang berkaitan dengan lintas batas negara, Tax Treaty dapat membantu untuk menjawab di manakah kewajiban pajak atas transaksi tersebut timbul. Namun, bagaimana jika transaksi ekonomi dilakukan di luar angkasa?

Kegiatan eksplorasi atas nilai ekonomi di ruang angkasa dewasa ini semakin meningkat. Bahkan, untuk kegiatan akses ke luar angkasa, telah lahir istilah billionaire space race, di mana para pengusaha kaya dunia berlomba mengeksplorasi nilai ekonomis yang ada di ruang angkasa. Sebut saja Project X oleh Ellon Musk, Virgin Galactic oleh Richard Branson serta Blue Origin oleh Jeff Bezzoz.

Salah satu contoh yang umum atas kegiatan ekonomi di luar angkasa yang manfaatnya digunakan oleh masyarakat luas adalah penggunaan satelit. Namun demikian, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang sangat perlu dijawab untuk menjelaskan lebih jauh dalam menentukan bagaimana pengenaan pajak atas transaksi ekonomi di luar angkasa.

Tempat kedudukan mempunyai peranan penting dalam pajak internasional untuk menentukan negara mana yang berhak untuk mengenakan pajak. Hal ini mengingat tempat kedudukan akan menimbulkan objective connecting factor, yaitu klaim hak pemajakan negara sumber penghasilan atas keberadaan suatu objek pajak di negaranya (Darussalam dan Septriadi, 2017).

Bukan tidak mungkin, dengan kemajuan teknologi yang saat ini terus berkembang, tempat kedudukan suatu entitas dapat saja terjadi di luar bumi (extra-terrestrial). Contoh sederhananya, suatu perusahaan didirikan di Negara A (incorporation), menyediakan jasanya ke Negara B, tetapi kegiatan manajemennya bertempat kedudukan di luar angkasa. Pertanyaannya, negara manakah yang berhak untuk mengenakan pajak? Salah satu dari Negara A atau Negara B? Keduanya? Atau tidak ada yang berhak sama sekali?

Hal ini semakin menyulitkan apabila ternyata berbagai keputusan strategis yang diambil oleh suatu entitas bukan dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang memiliki otoritas, melainkan melalui otomasi teknologi berupa sarana kecerdasan buatan (artificial intelligent) yang ditempatkan di luar angkasa. Schwarz, sebagaimana dikutip oleh Cano mengungkapkan bahwa berkaca pada pengelolaan dana yang saat ini telah menggunakan teknologi otomasi, sangat dimungkinkan jika tempat kedudukan suatu entitas justru berada di ruang angkasa (Cano, 2019).

Lebih lanjut, terdapat juga pertanyaan terkait tempat di mana transaksi ekonomi dilakukan (place of transaction). Dalam konteks pengenaan PPN, ini sangat penting mengingat tempat transaksi dilakukan menjadi salah satu syarat untuk dikenakan PPN. Dalam pengaturan PPN, tempat kegiatan transaksi pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu di dalam daerah pabean dan di luar daerah pabean.

Dua pilihan di atas sangat mudah apabila tipe yang ditransaksikan adalah berupa barang berwujud. Lalu, bagaimana jika yang diserahkan adalah jasa yang tidak memiliki wujud?

Sebagai contoh, Perusahaan A yang berkedudukan di Negara A menyediakan layanan internet teknologi pita-lebar (bandwith) melalui penggunaan satelit yang dioperasikannya kepada para penggunanya di Negara B. Adapun satelit tersebut berada di luar orbit bumi yang tidak masuk dalam batas wilayah negara manapun. Untuk menjawab apakah pemberian layanan tersebut dikenakan PPN oleh Negara B maka penting untuk diketahui di manakah tempat layanan tersebut diberikan?

Kasus di atas merupakan kasus faktual yang terjadi di Nigeria. Pengadilan di Nigeria melalui putusannya, Vodacom Nigeria v FIRS (CA/I/556/2018), menguraikan bahwa untuk meneruskan layanan transmisi dari satelit Negara A (Belanda) kepada penggunanya di Negara B (Nigeria), dibutuhkan suatu transponder yang ada di Nigeria.

Tanpa adanya transponder tersebut, pelanggan tidak akan dapat menikmati layanan yang disediakan oleh Perusahaan A. Berdasarkan fakta ini, Pengadilan Nigeria kemudian memutuskan bahwa tempat terutang PPN didasarkan atas nexus tempat jasa diberikan, yaitu melalui transponder, yang terdapat di dalam daerah pabean Nigeria sehingga atas layanan tersebut dikenakan PPN di Nigeria.

Kemudian, apabila transponder tersebut dipindahkan ke luar angkasa, atau sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin maju sehingga keberadaan transponder tersebut tidak lagi diperlukan. Akankah Pengadilan Nigeria masih memiliki dasar untuk memutuskan tempat terutang PPN ada di Nigeria atas dasar nexus tempat jasa diberikan ada di dalam daerah pabean Nigeria? Mengingat tidak terdapat lagi transponder di Nigeria.

Perlu untuk diketahui, pada dasarnya PPN terutang di tempat dilakukannya konsumsi (place of consumption). Akan tetapi, terkait dengan penyerahan jasa, dalam praktiknya tidak mudah untuk menentukan tempat konsumsi. Oleh karena itu, dipergunakan nexus tempat jasa diberikan (place of supply) sebagai cara untuk menentukan tempat terutangnya PPN atas konsumsi jasa tersebut. Asumsi yang dibangun, pihak yang menerima jasa akan melakukan konsumsi di tempat jasa diberikan (Rebecca Millar, 2008).

Lebih lanjut terkait permasalahan di atas, nexus tempat jasa diberikan bisa merujuk tempat kedudukan dari pihak yang menyerahkan jasa, tempat kedudukan dari pihak yang menerima jasa, tempat di mana jasa digunakan secara efektif (konsumsi), atau tempat di mana jasa dilakukan (Darussalam, Septriadi, dan Dora, 2018).

Lantas, bagaimana dengan isu pajak internasional terkait dengan kasus di atas? Nigeria sebagai negara sumber penghasilan akan mempunyai hak pemajakan apabila ada Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Nigeria. Pertanyaannya, jika tidak ada transponder yang terletak di Nigeria, apakah dapat dikatakan tidak terbentuk BUT di Nigeria?

Permasalahan lain yang menarik dan perlu dijawab adalah pemajakan terhadap pekerja yang berada di luar angkasa, Misal, Astronot A dari Negara A, melakukan kegiatan penelitian selama 14 bulan di stasiun luar angkasa yang dimiliki dan diluncurkan dari Negara B. Isu muncul karena keberadaan Astronot selama 14 bulan di luar angkasa, membuat Astronot tidak menjadi wajib pajak di negara manapun (Schwarz, 2019).

Pertanyaan kasus di atas, apakah gaji yang diperoleh oleh A dalam menjalankan misinya selama di luar angkasa dapat dikenakan pajak oleh Negara B atas dasar objective connecting factor?, mengingat stasiun luar angkasa tidak berada di negara manapun?

Sebagai penutup, tampaknya akan banyak lagi aspek pemajakan di luar angkasa yang timbul. Situasi ini muncul, mengingat manusia dengan bantuan teknologi akan semakin mampu untuk menjelajahi dan mengeksplorasi nilai ekonomis di luar angkasa sebagai suatu wilayah yang independen.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

Kamis, 25 Januari 2024 | 09:15 WIB ANALISIS PAJAK

Mendesain Pemeriksaan Pajak Berbasis Teknologi dan Risiko Kepatuhan

BERITA PILIHAN