Adi Wicaksono,
KEDERMAWANAN sosial merupakan salah satu pilar utama tangguhnya perekonomian Indonesia dalam menghadapi tekanan pandemi Covid-19. Sayangnya, budaya luhur bangsa ini belum dapat terakomodasi dengan baik dalam rezim perpajakan untuk tujuan pembangunan yang lebih luas.
Pada awal merebaknya pandemi, media internasional ramai memberitakan ketidakmampuan Indonesia dalam menangani persebaran Covid-19. Ketidakmampuan ini diramalkan dapat membawa Indonesia pada kerentanan sosial serta kontraksi ekonomi yang dalam.
Namun, The Diplomat, media di Washington, melawan pemberitaan itu dan menilai modal sosial akan menjadi faktor penyelamat Indonesia. Selain memotret masifnya amal di Indonesia, The Diplomat memperkuat argumentasinya dengan data dari lembaga independen.
Indonesia memuncaki World Giving Index 2018 Yayasan Charities Aid pada donasi dan kerelawanan. Dalam Legatum Prosperity Index 2019 Yayasan Institute Legatum, Indonesia ada di peringkat pertama kategori partisipasi sosial dan peringkat ke-5 kategori modal sosial dari 167 negara.
Menariknya, kedua index itu merupakan hasil survei pada 2018 dan 2019, sebelum terjadinya pandemi. Hal ini menguatkan indikasi kedermawanan sosial masyarakat Indonesia tidak hanya terjadi pada masa sulit, melainkan telah mengakar dan senantiasa berlangsung pada masa normal.
Meski ditopang masyarakat dengan tingkat kedermawanan tinggi, kinerja perpajakan Indonesia justru belum menunjukkan hasil optimal. Rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara di kawasan atau di level global.
World Bank mennyebut rasio pajak Indonesia 2018 mencapai 10,2%, lebih rendah dari Malaysia 12%, Singapura 13,1%, Filipina 14%, dan Thailand 14,9%. Rasio pajak kita juga lebih rendah dari dunia 14,9%, negara berpendapatan menengah 11,9%, dan negara berpendapatan tinggi 15,1%,
Pada era pandemi, rasio pajak Indonesia semakin rendah lagi. Pemerintah memperkirakan rasio pajak 2020 turun ke 8,57% dengan shortfall Rp388,5 triliun. Dalam UU APBN 2021, rasio pajak ditargetkan 8,18% dengan target penerimaan perpajakan Rp1.444,5 triliun.
Paradoks tingginya kedermawanan sosial dengan rendahnya rasio pajak lebih tergambarkan pada kinerja penerimaan pajak penghasilan (PPh) khususnya orang pribadi (OP). Penerimaan PPh Pasal 25/29 OP non-gaji tercatat Rp11,55 triliun, 0,73% dari total penerimaan perpajakan.
Dibandingkan dengan negara OECD, kontribusi PPh OP Indonesia sangat rendah. Tax Foundation menyebut, PPh OP menyumbang 23,9% dari total penerimaan pajak negara OECD pada 2018. Di Indonesia, gabungan PPh Pasal 25/29 OP dan PPh Pasal 21 baru 10,13%.
Pada 2020, pertumbuhan PPh Pasal 25/29 OP akan semakin tertekan dan diperkirakan menurun dari 2019 sebesar 15,37%. Hingga Agustus 2020, pertumbuhan penerimaan PPh OP nonkaryawan ini baru mencapai 2,46%.
Menjembatani Gap
DARI fenomena yang paradoksal ini terlihat masyarakat kelas menengah atas Indonesia lebih memilih kontribusi sosial langsung tanpa melalui sistem perpajakan. Padahal dengan membayar pajak, selain memenuhi kewajiban warga negara, juga berkontribusi ke program sosial untuk 96,8 juta jiwa.
Di sejumlah negara, gap antara kedermawanan sosial dan kewajiban pajak dijembatani dengan pengakuan terhadap amal sebagai pengurang pajak. Di Kanada, wajib pajak dapat mengklaim donasinya sebagai pengurang penghasilan bruto hingga 75% atau 100% dengan syarat tertentu.
Di Amerika Serikat, donasi sebagi faktor pengurang pajak mencakup ruang lingkup yang luas meski dibatasi dengan proporsi 50% dari penghasilan bruto. Memang, peraturan perpajakan Indonesia juga memiliki kebijakan serupa. Hanya, cakupannya sempit dengan batasan relatif rendah.
UU 36/2008 tentang PPh hanya mengakui 5 jenis sumbangan sebagai pengurang pajak. PP 93/2010 mengatur sumbangan yang dapat diklaim tidak melebihi 5% dari penghasilan bruto. PP 29/2020 sementara meniadakan batasan 5% terhadap sumbangan terkait dengan pandemi Covid-19.
Menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), penanganan dan pemulihan ekonomi akibat pandemi sangat bergantung pada kemampuan negara dalam menurunkan tingkat kesenjangan. Di sinilah penguatan kebijakan PPh menjadi sangat dibutuhkan.
Pajak langsung seperti PPh lebih progresif hingga berpengaruh pada kesenjangan dibanding pajak tidak langsung (Vazquez, dkk. 2011). Wibawa (2013) menunjukkan ketimpangan pendapatan Indonesia memburuk sejak 2001, salah satunya karena pajak produksi (tidak langsung) yang regresif.
Kedermawanan sosial dan kinerja perpajakan pada dasarnya bukanlah dua hal bertentangan. Bahkan dua hal ini bisa menjadi faktor yang saling mendukung dan melengkapi, karena ujungnya bermuara pada tujuan sama yaitu redistribusi kekayaan.
Dengan regulasi dan sosialisasi yang tepat, kedermawanan sosial dapat dikonversi menjadi pendorong bagi peningkatan kepatuhan. Perlakuan serta pendekatan yang lebih akomodatif terhadap kedermawanan sosial memang tidak akan serta merta meningkatkan rasio pajak secara signifikan.
Namun, hal itu dapat mengakselerasi perluasan basis pajak dan mendorong integrasi sektor informal dan shadow economy yang masih tinggi ke sektor formal. Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk menjembatani gap antara kedermawanan sosial dan kewajiban membayar pajak.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.