Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Melalui coretax, pembuatan bukti potong bisa menggunakan temporary TIN atau NPWP sementara apabila wajib pajak penerima penghasilan belum terdaftar pada sistem. Namun, ada konsekuensi yang akan diterima penerima penghasilan apabila NPWP sementara ini dipakai. Topik mengenai penggunaan NPWP sementara ini menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Kamis (6/2/2025).
Perlu diketahui, pembuatan bukti potong atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak yang belum terdaftar dalam coretax dilakukan dengan mencantumkan NPWP sementara atau temporary TIN yang sudah disediakan oleh sistem.
Konsekuensinya, bukti potong yang dibuat tidak akan terkirim ke akun wajib pajak penerima penghasilan. Artinya, bukti pemotongan pajak itu tidak akan masuk atau tidak ter-prepopulated ke dalam SPT Tahunan penerima penghasilan.
NPWP sementara yang sudah disediakan oleh sistem dan perlu dimasukkan ke kolom NPWP pada bukti potong adalah 9990000000999000.
Meski kolom NPWP telah diisi dengan NPWP sementara, NIK yang tidak valid tetap harus dicantumkan pada kolom nama penerima penghasilan dengan format 'PENERIMA PENGHASILAN#NIK16digit yang tidak valid'.
"Agar penerima penghasilan dapat melaporkan SPT-nya dengan bukti potong ter-prepopulated pada SPT-nya, kami mengimbau kepada penerima penghasilan untuk segera mengaktivasi akunnya di coretax," tulis DJP.
Sebagaimana yang pernah disampaikan DJP sebelumnya, bukti potong harus mencantumkan NIK yang valid. Kewajiban ini berlaku ketika NIK mulai diimplementasikan secara penuh sebagai NPWP orang pribadi sesuai dengan PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023.
Selain bahasan mengenai temporary TIN, ada pula pemberitaan media nasional lainnya yang mengulas topik perpajakan dan ekonomi makro. Di antaranya, dirilisnya modul tax account management (TAM) oleh Ditjen Pajak (DJP), kinerja pertumbuhan ekonomi RI 2024, angka tax ratio sepanjang 2024, hingga konsumsi rumah tangga yang belum juga pulih ke kondisi sebelum pandemi Covid-19.
DJP merilis Buku Manual Coretax Modul Taxpayer Account Management (TAM). Buku manual ini menjelaskan perihal menu-menu yang terkait dengan profil wajib pajak dan buku besar wajib pajak di Coretax DJP.
Pada dasarnya, TAM merupakan proses bisnis pengelolaan informasi yang berasal dari registrasi, SPT, pembayaran, layanan perpajakan, dan proses bisnis relevan lainnya. Pengelolaan informasi tersebut ditujukan untuk menampilkan profil wajib pajak beserta hak dan kewajiban pajaknya.
TAM membuat sistem akuntansi pada coretax terintegrasi. Alhasil, pencatatan riwayat transaksi perpajakan dilakukan secara otomatis dan real time pada buku besar wajib pajak. Perlu dipahami buku besar wajib pajak pada coretax bukanlah buku besar perusahaan. (DDTCNews)
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 lalu sebesar 5,03%. Realisasi ini melambat jika dibandingkan kinerja pada 2023, sekaligus di bawah target pemerintah 5,2%.
Industru manufaktur dan konsumsi rumah tangga sebagai 2 mesin utama ekonomi tumbuh landasi di bawah potensi. Ekspor juga melambat. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku sepanjang 2024 adalah Rp22.139 triliun.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan beberapa faktor yang menghambat perekonomian pada 2024 adalah penyelenggaraan pemilu dan pilkada serta ketidakpastian ekonomi global yang tinggi. (DDTCNews, Harian Kompas)
Kinerja pertumbuhan konsumsi rumah tangga nasional belum juga kembali ke kondisi pra-Covid-19. Bila melihat data 2011 hingga 2019, pertumbuhan konsumsi rumah tangga selalu di kisaran 5%.
Sementara itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang 2024 lalu juga hanya 4,94%. Artinya tingkat konsumsi rumah tangga masih stagnan.
BPS mencatat konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 yang sebesar 5,03%. Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan konsumsi rumah tangga mengalami pertumbuhan 4,94% secara tahunan. Sementara itu, kontribusinya terhadap perekonomian tercatat sebesar 54,04%. (DDTCNews, Kontan)
Rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia pada 2024 tercatat hanya sebesar 10,08%. Angka itu menurun bila dibandingkan dengan tax ratio 2023 yang mencapai 10,31%.
Secara sederhana, tax ratio merupakan perbandingan antara penerimaan perpajakan yang dikumpulkan pada suatu masa dengan produk domestik bruto (PDB) pada masa yang sama. Karenanya, dengan penerimaan perpajakan senilai Rp2.232,7 triliun dan PDB nominal senilai Rp22.139 triliun pada 2024, diperoleh nilai tax ratio sebesar 10,08%.
"Perekonomian Indonesia 2024 yang diukur berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp22.139,0 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp78,6 juta atau US$4.960,3," tulis BPS. (DDTCNews)
Kejaksaan Agung menemukan aliran dana ilegal terkait dengan aset kripto yang merugikan negara hingga Rp1,3 triliun. Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum Kejagung Asep Nana Mulyana menyampaikan pelaku penipuan investasi berbasis kripto makin mahir memanfaatkan perangkat digital.
Yang terbaru, pelaku penipuan berkedok kripto ini menyebarkan informasinya melalui tautan di medsos seperti Facebook dan Instagram. Jika tertarik, calon korban akan dimasukkan ke dalam grup aplikasi pesan singkat yang namanya disamarkan sebagai forum edukasi investasi.
Merespons situasi ini, Kejagung perlu memiliki kompetensi khusus untuk memahami mekanisme transaksi digital, serta menelusuri dana, khususnya kripto. (Bisnis Indonesia)
(sap)