Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Anggota Komisi XI DPR Puteri Komarudin memandang implementasi pajak karbon perlu dilakukan secara hati-hati mengingat tingginya ketidakpastian perekonomian global pada saat ini.
Puteri mengatakan pemerintah harus memastikan penerapan pajak karbon tidak menambah beban pelaku usaha di tengah tren kenaikan harga komoditas pangan dan energi.
"Jangan sampai penerapannya malah makin membebani masyarakat dan pelaku usaha, terutama kelompok kecil yang berpotensi terdampak akibat penerapan pajak ini," katanya, Rabu (28/9/2022).
Puteri menegaskan dirinya mendukung langkah pemerintah untuk menunggu waktu yang tepat dalam memulai implementasi pajak karbon. Misal, ketika ekonomi sudah membaik dan daya beli masyarakat pulih sepenuhnya.
Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah juga harus segera menyiapkan ekosistem dan infrastruktur pajak karbon secara menyeluruh.
"Harus dipastikan semuanya siap sehingga tidak menimbulkan gejolak begitu diterapkan," ujarnya.
Pemerintah dan DPR telah memasukkan pajak karbon dalam UU HPP sebagai bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk memitigasi perubahan iklim. Kebijakan tersebut diharapkan mengubah perilaku konsumsi energi masyarakat menjadi lebih ramah lingkungan.
Pemungutan pajak karbon akan menggunakan mekanisme cap and trade. Dalam hal ini, pemerintah akan menetapkan cap emisi suatu sektor, sehingga pajak yang dibayarkan hanya selisih antara karbon yang dihasilkan dengan cap. Selain itu, ada pula skema perdagangan karbon atau kegiatan jual-beli kredit karbon.
Pada tahap awal, pajak karbon akan dikenakan pada PLTU batubara. Semula, pajak karbon bakal berlaku mulai 1 April 2022. Namun, pemerintah memutuskan ditunda menjadi 1 Juli 2022 karena menunggu kesiapan mekanisme pasar karbon.
Dalam perkembangannya, implementasi pajak karbon tersebut tak kunjung diimplementasikan oleh pemerintah sampai dengan saat ini. (rig)