Khansa Pandan Semilir,
PENYEMPURNAAN regulasi dalam Reformasi Pajak Jilid III memberikan aspek kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan, mengantisipasi tantangan digital economic disruption, serta mengantisipasi pengelolaan jumlah wajib pajak yang semakin meningkat (Mardlo, 2018).
Salah satu cara untuk memenuhi kepastian hukum adalah melakukan sinkronisasi regulasi perpajakan. Terdapat permasalahan antara penerapan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dengan upaya penagihan DJP.
Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP menjelaskan wajib pajak bisa mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi bunga, denda, dan kenaikan terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya.
Saat ini, batas waktu pengajuan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi itu tidak ada dalam perundang-undangan dan aturan pelaksanaannya. Tidak seperti pengajuan keberatan yang harus dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sesuai Pasal 25 ayat (3) UU KUP.
Itu berarti, upaya hukum Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP dapat dilakukan kapan saja oleh wajib pajak. Namun, ketika wajib pajak mengajukan upaya hukum tersebut, penagihan aktif akan tetap berjalan seperti biasa.
Contoh, wajib pajak menerima Surat Tagihan Pajak (STP) atas sanksi administrasi yang harus dilunasi dalam jangka 1 bulan. Kemudian, sebelum 1 bulan, wajib pajak tersebut mengajukan upaya hukum Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP dan menerima Bukti Penerimaan Surat (BPS).
Surat keputusan pengurangan atau penghapusan sanksi ini terbit paling lama 6 bulan sejak surat permohonan diterima. Namun, sepekan setelah jatuh tempo STP, wajib pajak menerima surat teguran dan akan dilakukan penagihan dengan surat paksa jika tidak melunasinya dalam 21 hari.
Hal ini menandakan belum ada otomasi antara Seksi Penagihan dan Seksi Pelayanan. Apalagi jika diterbitkan surat paksa, yang menurut Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2000 memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, wajib pajak harus membayar utangnya dalam jangka waktu 2x24 jam. Berdasarkan contoh itu, di satu sisi wajib pajak boleh mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, tetapi di sisi lain wajib pajak ditagih untuk membayar sanksi tersebut.
Merujuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi diberikan jika sanksi itu belum dibayar atau dilunasi. Hal ini berarti, jika wajib pajak sampai melunasi sanksi, permohonan pengurangan atau penghapusan sanksinya ditolak.
Sistem yang Terintegrasi
UNTUK memperbaiki kondisi itu, pemerintah perlu mengatur jangka waktu pengajuan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, seperti pernah diatur sebelumnya dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000.
Hal ini perlu dilakukan agar wajib pajak memiliki kepastian dan mengetahui waktu mengajukan permohonan seperti keberatan. Batas waktu juga memberi kepastian bagi Seksi Penagihan untuk penagihan aktif yang tidak berbenturan dengan pengajuan permohonan pengurangan sanksi.
Sistem yang terintegrasi otomatis antara Seksi Penagihan dan Seksi Pelayanan perlu dibuat agar kinerja lebih terkoordinasi. Dengan demikian, saat wajib pajak mengajukan pengajuan permohonan pengurangan sanksi, Seksi Penagihan otomatis menunda penagihan aktif hingga SK diterbitkan.
Selain itu, perlu ada regulasi agar ketika wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, utang pajak atas sanksi administrasi tersebut tertangguh hingga Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi diterbitkan.
Untuk memiliki lingkungan perpajakan yang lebih baik di Indonesia perlu kontribusi dari berbagai pihak dan kerja sama baik antara wajib pajak dan DJP. Penyempurnaan regulasi perpajakan penting dilakukan untuk membangun rasa saling percaya antara wajib pajak dan DJP.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.