Nafis Dwi Kartiko,
PARIWISATA merupakan salah satu sektor yang paling terpukul pandemi Covid-19. Pandemi mengakibatkan guncangan ekonomi pada sektor pariwisata. OECD mengestimasi pariwisata global akan menurun 60%-80% pada 2020, dipengaruhi faktor durasi krisis dan kecepatan pemulihan.
Segendang sepenarian dengan itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia Mei 2020 turun 86,90% dari posisi Mei 2019. Penurunan ini membuat pariwisata layak diperhatikan dan sesegera mungkin dibantu untuk pemulihan.
Pariwisata merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa. World Travel & Tourism Council menyebut pariwisata menyerap sampai dengan 10% tenaga kerja di dunia. Sumbangan devisa pariwisata naik dari US$ 12,2 miliar pada 2015 menjadi US$15 miliar pada 2017.
Contoh, pada April 2020 sektor pariwisata di Pulau Bali anjlok sampai 93%. BPS Bali menyatakan dampak Covid-19 terhadap perekonomian Bali pada triwulan II/2020 sangat besar, minus 10,98%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh minus 1,14%.
Pemerintah telah memberikan berbagai stimulus untuk menjadikan perekonomian Indonesia bangkit dari krisis. Stimulus itu antara lain PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), PPh final usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) DTP, dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50%.
Seluruh insentif itu ada pada  PMK Nomor 86/PMK.03/2020 dan PMK Nomor 110/PMK.03/2020. PPh Pasal 21 DTP secara umum dapat mengakomodasi seluruh usaha di sektor pariwisata, baik yang berkaitan langsung maupun yang tidak berkaitan langsung.
PPh final UMKM DTP juga dapat dimanfaatkan pengusaha sektor pariwisata yang dikenakan pajak sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018. Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 awalnya hanya diberikan 30%, tetapi sejak diterbitkan PMK 110/ 2020 pengurangan bertambah menjadi 50%.
Durasipandemi yang tidak dapat diperkirakan akan menambah tugas pemerintah untuk terus memformulasikan kebijakan ekonomi yang berdampak positif bagi sektor pariwisata. OECD menyebut perlu langkah yang lebih luas dan lebih kuat untuk mengimbangi dampak dan risiko pandemi
Meski shortfall penerimaan pajak sudah ada di depan mata, harus diingat fungsi pajak memang tidak hanya sebagai sumber penerimaan, tetapi juga sebagai alat untuk meredistribusi kesejahteraan dan keadilan, serta untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.
Insentif PPN
INSENTIF pajak pertambahan nilai (PPN) sebetulnya juga menjadi salah satu insentif yang ditunggu oleh pengusaha jasa perjalanan wisata dan jasa konsultan pariwisata. Sebagai informasi, dua pelaku usaha jasa pariwisata ini terkena ketentuan dari Pasal 2 huruf k PMK 121/PMK.03/2015 mengenai penggunaan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak (DPP).
Pasal itu menyatakan dasar pengenaan PPN untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata/jasa agen perjalanan wisata yang penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara penjualan adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. Artinya, dengan menggunakan DPP nilai lain tersebut, PPN yang terutang adalah sebesar 1% dari jumlah tagihan. Sedangkan, jika terdapat rincian biaya dan komisi dalam tagihannya, PPN yang terutang adalah 10% dari nilai komisinya.
Dalam hal penggunaan nilai jumlah tagihan sebagai DPP, pajak masukan tidak dapat dikreditkan. Sebagai akibatnya, atas beban pajak masukan tersebut umumnya diserap ke dalam harga penyerahan kepada konsumen.
Hal ini akan menjadi pertimbangan penting bagi pelanggan untuk memilih penyedia jasa yang akan digunakan. Menurut McKinsey, di tengah krisis, konsumen cenderung mengutamakan harga lebih murah. Dalam situasi normal, konsumen biasanya mengutamakan nilai ketimbang harga.
Namun, saat krisis, konsumen memerlukan alasan yang lebih kuat untuk membeli sesuatu dengan harga tinggi. Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan insentif PPN untuk sektor pariwisata guna mendukung daya saing yang lebih kompetitif ketika pandemi.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.