LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Mengoptimalkan Struktur Penerimaan yang Lebih Tahan Krisis

Redaksi DDTCNews | Kamis, 12 November 2020 | 09:38 WIB
Mengoptimalkan Struktur Penerimaan yang Lebih Tahan Krisis

M. Arif Darmawan, Depok, Jawa Barat

PANDEMI Covid-19 telah berlangsung lebih dari 7 bulan sejak World Health Organisation mengumumkannya sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Sampai akhir September, jumlah orang yang terinfeksi virus ini sudah mencapai kurang lebih 34 juta jiwa.

Pandemi ini tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan, tetapi juga krisis ekonomi global. Pada Juni 2020, International Monetary Fund merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi -4,9% setelah sebelumnya -3%. Hanya Cina yang diproyeksikan tumbuh positif, itu pun hanya 1%.

Sementara itu, negara lainnya diproyeksikan negatif, termasuk Indonesia dengan proyeksi -2%. Krisis ekonomi ini membuat pemerintah setiap negara memutar otak mencari formula kebijakan untuk mengatasi masalah saat ini juga saat pandemi berakhir untuk menyongsong pemulihan ekonomi.

Pemerintah telah merespons krisis ganda tersebut dengan merilis Perpu No 1/2020. Perpu itu kental dengan kebijakan fiskal ekspansif, yaitu relaksasi fiskal kepada dan menggolontorkan belanja. Pilihan tersebut sesuai dengan teori kebijakan fiskal seperti yang juga dilakukan negara lain.

Di sisi lain, pemerintah juga menyiapkan kebijakan fiskal jangka panjang untuk menjaga keamanan sumber penerimaan pajak. Bukan tanpa alasan, biasanya pemulihan fiskal akan mengorbankan basis pajak saat ekonomi pulih.

World Bank mencatat ada penurunan tax ratio dunia 1,5% setelah krisis global 2008. Artinya, akan ada basis pajak yang hilang setelah krisis ekonomi. Dengan demikian, pemerintah perlu mencari format baru untuk mengoptimalkan penerimaan negara pada masa pemulihan.

Dalam Perpu 1/2020 sendiri, sebenarnya terselip formula untuk meningkatkan penerimaan pada saat dan setelah krisis, yaitu diterapkannya pajak pertambahan nilai (PPN) dalam transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Perluasan Basis
DALAM konteks pajak penghasilan (PPh), Indonesia sangat bergantung pada PPh badan. Padahal, saat krisis PPh badan adalah penerimaan yang paling terdampak. Karena itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan struktur penerimaan pajak agar bisa lebih tahan krisis.

Pertama, mengoptimalkan perluasan basis PPN di luar PMSE. Data penerimaan PPN dalam struktur penerimaan pajak lebih stabil dalam 5 tahun terakhir. Bahkan, 3 tahun terakhir penerimaan PPN mencapai 40% dari total penerimaan pajak (LKPP, 2020).

Perluasan basis pajak bisa dilakukan baik dalam hal peningkatan tarif atau jenis barang yang akan dikenai PPN seperti yang dilakukan beberapa negara Eropa pada 2019. Formula ini juga dipilih Arab Saudi yang baru meningkatkan tarif PPN-nya dari 5% menjadi 15%.

Arab Saudi menelan pil pahit tersebut karena mengalami penurunan penerimaan dari minyak yang harganya semakin memburuk. Tentu pemerintah tetap perlu berhati-hati dengan mempertimbangkan margin bagi pelaku usaha dan pengaruhnya terhadap daya beli konsumen.

Kedua, mengikuti rekomendasi Inter American Center of Tax Administrastions untuk meningkatkan cukai dari penghasil eksternalitas negatif seperti minuman berpemanis, bahan bakar fosil, dan sebagainya. Formula ini ditempuh Presiden Duterte di Filipina untuk mengompensasi relaksasi fiskal.

Ketiga, reformasi digitalisasi administrasi perpajakan. Indonesia telah mendapatkan peringkat cukup baik dalam digitalisasi itu di Asia Pasifik (ADB, 2020). Namun, isu saat ini lebih dari isu pelayanan administrasi pajak, tetapi pada pemanfaatan data digital untuk memperbaiki kepatuhan pajak.

Satu hal yang mungkin paling mudah, pemerintah bisa mengoptimalkan PMK/19/2018 untuk melakukan profiling kepada wajib pajak yang belum melakukan kewajiban perpajakan, terutama bagi wajib pajak orang pribadi. Apalagi, penerimaan pajak dari orang pribadi masih belum optimal.

Keempat, memiliki kemauan politik merumuskan kebijakan fiskal dan enforcement kepada wajib pajak untuk patuh. Kemauan ini diharapkan membuat pemerintah tidak ragu melakukan langkah unilateral seperti negara lain yang memperluas basis pajak di wilayahnya, terutama dalam pajak digital.

Harus disadari, ke depan bukan tidak mungkin aksi unilateral tersebut hanya terkait dengan pajak digital. Pola bisnis begitu cepat berubah, sementara negara harus tetap mengumpulkan pajak agar pemerintahan dapat terus berjalan.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

14 November 2020 | 11:22 WIB

pembahasan mengenai topik ini sangat bagus karena memberikan solusi dan harapan utk pemulihan ekonomi di tengah pandemi

14 November 2020 | 10:47 WIB

Tulisan yg bagus sekali. Semoga pandemi covid ini cepat selesai. Supaya ekonomi kembali pulih.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN