LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Mengantisipasi Risiko Emigrasi Wajib Pajak Orang Kaya

Redaksi DDTCNews
Jumat, 30 September 2022 | 16.15 WIB
ddtc-loaderMengantisipasi Risiko Emigrasi Wajib Pajak Orang Kaya

Michela Natadjaja,

Kota Surabaya, Jawa Timur

“THE truth is, however rich people get, they hate paying tax. Some live abroad for a year, or years at a time just to avoid it. Bizarre really – desperate economic migrants are driven to leave their homeland because of poverty; tax exiles are driven overseas by their wealth.”

Kutipan dari Clint Black itu sangat mewakili realitas dunia sejak dahulu. Orang kaya atau high net worth individuals (HNWI) rela melakukan usaha ekstra untuk melindungi hartanya dari kejaran otoritas perpajakan. Istilah HNWI sendiri lazim digunakan untuk mengategorikan individu dengan kekayaan likuid di atas US$1 juta.

Konsultan investment migration yang berbasis di London, Henley & Partners, menganalisis persebaran populasi HNWI yang meningkat pascapandemi Covid-19 dengan membuat laporan forecasting bertajuk Private Wealth Migration.

Sampai dengan akhir 2021 diperkirakan terdapat 46.800 individu HNWI di Indonesia. Namun, sekitar 600 di antaranya diproyeksi akan beremigrasi ke negara lain pada 2022. Ada lima besar negara yang paling diminati HNWI secara global, yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Australia, Singapura, Israel, dan Swiss.

Menurut para ahli dan analis global, salah satu faktor pendorong emigrasi HNWI dari negara asalnya adalah keinginan orang-orang kaya tersebut untuk meningkatkan standar hidup atau standard of living

Sampai dengan 2021, standard of living di Indonesia masih berada pada posisi tengah jika dibandingkan dengan negara lain secara global. Dalam indeks Highest Quality of Life yang disajikan Numbeo, Indonesia hanya memperoleh skor 90,15. Swiss memimpin dengan skor 188,36.

Faktor lainnya adalah tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi yang makin tinggi. Dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), lapisan tertinggi dari tarif progresif PPh orang pribadi menjadi sebesar 35%. Tarif ini berlaku bagi wajib pajak yang berpenghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.

Tidak heran jika HNWI mulai mempertimbangkan negara lain yang memiliki tarif ‘lebih ramah’ untuk tingkat penghasilan yang sama. Misalnya, Singapura dengan tarif sebesar 23% untuk penghasilan sekitar Rp7,4 miliar sampai dengan Rp14,8 miliar.

Sebelumnya, dengan terbitnya UU Cipta Kerja, pemerintah memberikan pembebasan PPh atas dividen yang diterima orang pribadi dalam negeri asalkan diinvestasikan kembali. Adapun jangka waktu investasi (holding period) selama tiga tahun.

Terdampak secara langsung atau tidak, ada peningkatan penanaman modal dalam negeri pada 2021 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Capaian yang dicatat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tersebut tentunya tidak terlepas dari kontribusi pendanaan oleh para HNWI.

Penerimaan Perpajakan

SELAIN terkait dengan investasi, peran HNWI dalam menggerakkan roda pemerintahan Indonesia cukup krusial. Merujuk pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021, penerimaan perpajakan adalah kontributor terbesar dalam pendapatan dalam negeri secara keseluruhan. Porsinya sebesar 76,96%.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga menyatakan untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, realisasi penerimaan perpajakan mampu melampaui target APBN. Sebanyak 20,9% dari pendapatan perpajakan tersebut berasal dari PPh orang pribadi (PPh Pasal 21).

Secara teori, jika penghasilan HNWI bertambah setiap tahunnya maka nominal PPh Pasal 21 yang harus dibayar juga akan meningkat.

Jika dilihat dari beberapa perspektif, tujuan utama dari sistem perpajakan adalah mengalokasikan biaya yang ditanggung pemerintah dengan adil. Negara juga menggunakan pajak dan pengeluaran rutin untuk mengubah distribusi kekayaan di masyarakat (Richard M Bird & Eric M Zolt, 2005).

Jika seorang HNWI berkontribusi besar bagi perpajakan, pemerintah dapat mendistribusikan penerimaan perpajakan dengan efisien. Dengan demikian, pemerataan penghasilan serta peningkatan standard of living dapat tercapai. Dalam LKPP 2021, realisasi belanja negara senilai Rp2.000 triliun.

Realisasi pengeluaran negara dibagi menjadi belanja pemerintah pusat (71,8%) serta transfer ke daerah dan dana desa (28,20%). Contoh peran redistribusi perpajakan dalam belanja pemerintah pusat tampak dalam pemberian subsidi dan bantuan sosial.

Kemudian, berdasarkan pada fungsinya, realisasi pengeluaran negara dibagi menjadi sebelas aspek. Contoh, dalam aspek perlindungan sosial, negara merealisasikan dana sebesar 13,63% dari total pengeluaran.

Jika selama 2021 orang pribadi diasumsikan membayar pajak senilai Rp100 juta maka pemerintah merencanakan sebesar 9,46% dari nominal tersebut untuk dialokasikan pada aspek perlindungan sosial.

Di sisi lain, dengan adanya upaya ekstra dari pemerintah pusat dan lembaga lain untuk mengungkapkan nilai penerimaan perpajakan serta peruntukannya kepada khalayak luas, minat wajib pajak untuk berkontribusi terhadap kemajuan negara diharapkan meningkat.

HNWI juga dapat mempertimbangkan keputusannya, baik pada 2022 maupun yang akan datang. Pertimbangannya adalah harus/tidaknya mencari alternatif tempat tinggal lain atau berjuang bersama dengan pemerintah Indonesia yang terus mengusahakan perubahan negara ke arah lebih baik.

“Hopefully, no matter how rich Indonesians get, they no longer hate paying tax.”

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Clarissa Athalia
baru saja
omg, benar menambah pengetahuan sayaa 3
user-comment-photo-profile
Billy
baru saja
menarik topiknya
user-comment-photo-profile
Aurelia Celine
baru saja
Sangat informatif🤩