PERBINCANGAN mengenai tax holiday kembali menghangat setelah adanya rencana pemerintah untuk melakukan revisi PMK No. 35 Tahun 2018. Dua perubahan yang tengah dijadikan pertimbangan oleh pemerintah antara lain, yaitu persoalan perpanjangan jangka waktu dan penambahanjumlah industri yang akan diberikan fasilitas pemangkasan tarif pajak tersebut.
Kebijakan insentif pajak sendiri acapkali digunakan untuk meningkatkan ‘keunggulan kompetitif’ suatu negara dalam bidang pajak. Padahal, upaya-upaya tersebut dikhawatirkan dapat memicu munculnya harmful tax competition yang tidak sejalan rekomendasi OECD/G20 pada BEPS Action Plan 5 (Cotrut & Munyandi, 2018).
Kebijakan insentif pajak diharapkan dapat memberikan efek pengganda pada perekonomian dengan adanya pembangunan, penyerapan tenaga kerja, transfer teknologi, dan aktivitas lain yang menggerakkan roda perekonomian. Terlebih bagi negara sedang berkembang yang belum memiliki sumber pendanaan yang cukup untuk mengembangkan perekonomiannya (UNCTAD, 2000).
Namun demikian, insentif pajak hanya merupakan salah satu instrumen penarik investasi di host country. Faktor-faktor lain seperti birokrasi, infrastruktur, perizinan, kestabilan politik, prospek pasar juga berpengaruh. Umumnya, insentif pajak baru akan bersifat elastis terhadap investasi, ketika kualitas dari faktor-faktor non-pajak relatif baik dan serupa dengan negara lain.
Saat ini, peringkat Ease of Doing Business Indonesia semakin membaik. Pada tahun 2017 Indonesia masih berada di peringkat 91, sedangkan di 2018 sudah mencapai peringkat 72. Semakin baiknya kemudahan berusaha, berpotensi meningkatkan efektivitas insentif pajak.
Oleh karena itu, sejauh manakah kebijakan tax holiday dapat dikatakan efektif dan apa faktor pendorong keberhasilannya? Kemudian, apa saja hal-hal yang patut menjadi perhatian pemerintah dalam meningkatkan efektivitas kebijakan tax holiday di Indonesia?
Menakar Efektivitas Insentif Pajak
Spektrum keberhasilan rezim insentif pajak berkaitan dengan tingkat kepercayaan investor (Van Parys & James, 2009). Salah satu faktor yang patut menjadi perhatian adalah transparansi dari sistem insentif pajak dalam rangkamenjamin akuntabilitas, kepastian hukum, dan mencegah adanya korupsi. Dalam hal ini, terdapat tiga aspek yang harus diikuti untuk menjamin efektivitas insentif pajak (Zolt, 2015).
Pertama, dimensi hukum dan kebijakan. Transparansi dalam aspek ini mencakup adanya kepastian hukum yangtidak tumpang-tindih, sehingga menyebabkan konflik antarinstitusi (van Kommer, 2018). Selain itu, diperlukan pula penjelasan atas dasar pemberian insentif pajak yang rasional dan diungkapkan secara eksplisit kepada publik. Tujuannya, dapat menumbuhkan kepercayaan investor dalam upaya pengajuan aplikasinya.
Kedua, menjamin akuntabilitas dari keringanan pajak. Salah satu cara yang efektif adalah melalui pelaporan secara berkala dengan menggunakan sistem pengawasan yang memadai. Ketiga, aspek administrasi yang mencakup transparansi dalam hal penentuan kriteria penerima fasilitas, sejauh mana diskresi pemerintah dapat digunakan, serta ketentuan mengenai skema aplikasi hingga pelaporan.
Hal Krusial Bagi Indonesia
Saat ini, regulasi yang mengatur tax holiday berdasarkan pada PMK No. 35 Tahun 2018. Sayangnya, ketentuan teknis yang mengatur mengenai tax holiday belum tersedia.
Peran ketentuan teknis tersebut adalah penting karena mengatur mengenai tata cara pemeriksaan lapangan, pencabutan, dan pelaporan. Tanpa kehadiran ketentuan teknis tersebut, sangat mungkin terdapat ‘kebimbangan’ dari calon investor atas ketidakpastian penerapan tax holiday di tataran praktis. Padahal, ketelitian otoritas pajak atas penyusunan aturan spesifik dalam sistem audit dan pengawasan insentif pajak, berperan krusial bagikeberhasilan program (van Kommer, 2018).
Masih dalam aspek kebijakan, wacana revisi peraturan yang terlalu terburu-buru terutama dalam penambahan jangka waktu dapat berdampak bagi efektivitas tax holiday. Selain memberikan sinyal yang kurang baik bagi investor karena mereka cenderung untuk menunggu rezim yang paling menguntungkan, jangka waktu ‘libur pajak’ yang terlalu panjang juga rawan akan skema tax planning (Thuronyi, 1998).
Lebih lanjut lagi, aspek administrasi tax holiday di Indonesia juga memegang peranan yang sangat penting. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan biaya langsung yang akan timbul, melainkan pula biaya administrasi dan biaya kepatuhan (Zolt & Schill, 2018). Oleh karena itu, kehadiran sistem Online Single Submission (OSS) yang berfungsi sebagai sistem aplikasi tax holiday satu pintu, yang stabil, mumpuni, dan mampu menjembatani calon investor dengan pemerintah harus tersedia.
Terakhir, pengukuran efektivitas tax holiday bisa dilakukan melalui laporan mengenai tax expenditure. Bulan lalu, untuk pertama kalinya pemerintah menerbitkan laporan tax expenditure yang bisa dijadikan rujukan mengenai transparansi fiskal Indonesia. Sayangnya, pada sub-bagian tax holiday yang telah dipublikasikan tersebut belum terdapat informasi mengenai besaran ‘subsidi’ yang diberikan atas program ini. Data dan informasi laporan keuangan perusahaan penerima manfaat ini akan berperan besar dalam melakukan penilaian atas keberhasilan program tax holiday (Zolt, 2018).
Sebagai penutup, tax holiday dan segala aturan pendukungnya harus dirancang secara cermat dalam rangkamenjamin efektivitasnya. Dengan begitu, tax holiday bisa memperluas basis pajak serta memberikan kontribusipositif bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Semoga!