OPINI PAJAK

Mendongkrak Zakat dengan Optimalisasi Peran Pajak

Selasa, 11 Mei 2021 | 11:33 WIB
Mendongkrak Zakat dengan Optimalisasi Peran Pajak

Galih Ardin, pegawai Ditjen Pajak

BEBERAPA hari lagi Iedul Fitri 1442H menyapa. Keriuhan pusat perbelanjaan, keramaian terminal/stasiun dan hilir mudik perantau yang biasanya menjadi rutinitas menjelang hari raya umat Islam kiranya agak berkurang tahun ini.

Meski Iedul fitri tahun ini terasa berbeda karena pandemi Covid-19, tetapi hal ini tidak menyurutkan niat para muzaki untuk menunaikan zakat. Berdasarkan data BAZNAS RI (2020), pengumpulan Zakat Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Indonesia terus mengalami kenaikan semenjak 2002.

Pada 2002, jumlah ZIS yang berhasil dikumpulkan lembaga amil zakat baik BAZNAS maupun lembaga lainnya adalah Rp68 miliar. Jumlah ini terus mengalami peningkatan sampai mencapai Rp10.227,94 miliar pada 2019.

Apabila direrata, pertumbuhan pembayaran zakat di Indonesia 2002-2019 adalah 34,33%. Jumlah ini jauh lebih tinggi daripada rerata pertumbuhan ekonomi nasional pada 2002-2019 yaitu 5,3%. Hal ini menunjukkan semangat muzaki di Indonesia untuk menunaikan zakat sangat tinggi.

Namun, apabila dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2019 Rp15.832 miliar. terlihat proporsi ZIS terhadap PDB masih sangat rendah, sekira 0,06%. Rendahnya rasio ini membuat peran zakat, infaq dan shadaqah untuk membantu sesama menjadi tidak signifikan.

Padahal, potensi pengumpulan ZIS di Indonesia masih besar mengingat 87% penduduk Indonesia adalah muslim. Dengan demikian, untuk meningkatkan jumlah ZIS yang dikumpulkan, perlu komitmen semua pihak, termasuk perpajakan.

Meskipun seringkali pajak diperselisihkan dengan zakat, tetapi sejatinya antara pajak dan zakat berjalan beriringan. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2010, pemerintah mengatur zakat atau sumbangan keagamaan yang wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pasal 22 UU No. 23 Tahun 2011 Pengelolaan Zakat mengatur zakat yang dibayarkan muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Pasal 23 ayat (2) UU itu mengatur bukti setoran zakat dapat digunakan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Beberapa Terobosan
BERDASARKAN kedua peraturan tersebut dapat disimpulkan apabila pemerintah ingin meningkatkan peran serta zakat dalam pembangunan nasional, paling tidak ada beberapa terobosan di bidang perpajakan yang dapat dilakukan.

Pertama, perlu harmonisasi regulasi mengenai perpajakan dengan zakat. Ada perbedaan mendasar antara PP 60/2010 dan UU 23/2011 sebagaimana tersebut di atas. PP 60/2010 mengatur zakat dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, UU 23/2011 mengatur zakat dapat dikurangkan dari PKP.

Secara definisi ada perbedaan antara penghasilan bruto dengan penghasilan kena pajak. Karena itu, agar tidak terjadi kebingungan, perlu penegasan apakah zakat mengurangi penghasilan bruto atau penghasilan kena pajak.

Kedua, pemerintah meminta Lembaga Amil Zakat atau Badan Amil Zakat menyetorkan data mengenai nama dan NPWP para muzaki, sehingga ketika muzaki mengisi SPT di kemudian hari, penghasilan mereka sudah dikurangi dengan besarnya zakat yang mereka bayar (prepopulated).

Secara teknis hal ini akan sangat memudahkan tidak hanya bagi muzaki, tetapi juga bagi Lembaga Amil Zakat dan DJP dalam pengumpulan data. Tentu, pencantuman NPWP tersebut harus seizin muzaki terlebih dahulu.

Ketiga, pemerintah dapat mempermudah syarat pendirian Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Seringkali wajib pajak sudah menunaikan zakatnya, tetapi tidak dapat melaporkan zakat tersebut ke dalam SPT.

Ada kesulitan mengakses Lembaga Amil Zakat yang diakui pemerintah sehingga wajib pajak memilih membayar zakat di masjid lingkungan. Dengan mempermudah syarat pendirian atau menjadikan masjid sebagai mitra resmi Lembaga Amil Zakat, akses membayar zakat akan meningkat.

Apabila ketiga opsi tersebut di atas tidak membuahkan hasil dalam arti jumlah zakat tidak meningkat signifikan, pemerintah dapat mempertimbangkan mengambil opsi keempat, yaitu menjadikan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan (PPh).

Mengurangkan zakat pada PPh atau menjadikan zakat sebagai kredit pajak penghasilan tentu akan berdampak besar terhadap zakat yang dikumpulkan oleh Lembaga Amil Zakat. Namun, di sisi lain, opsi ini akan menurunkan penerimaan PPh.

Dalam hal ini, pemerintah dapat menerapkan jumlah maksimum zakat yang dapat dikurangkan pada PPh. Atau, pemerintah dapat menerapkan pengurangan zakat pada PPh secara sementara/temporer sebagai trigger untuk memperkuat peranan Lembaga Amil Zakat.

Konsep dan ide ini tidak hanya berlaku bagi umat muslim. Pemeluk agama lain dapat mereplikasi gagasan ini ke dalam ajaran agamanya masing-masing sepanjang memenuhi koridor PP 60/2010. Hal ini semakin menegaskan pajak berlaku atas seluruh umat beragama.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 23 Februari 2024 | 11:32 WIB OPINI PAJAK

Tax Administration 3.0 di Indonesia: Tantangan Pajak Pasca-CTAS

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

BERITA PILIHAN