ANALISIS KEBIJAKAN

Mencermati Polemik Cukai Plastik

Jumat, 07 Oktober 2016 | 10:26 WIB
Mencermati Polemik Cukai Plastik

B. Bawono Kristiaji,
Partner of Tax Researcher & Training Service DDTC

DI tengah tekanan kebutuhan penerimaan yang semakin meningkat, pemerintah melalui Kementerian Keuangan hendak memperluas objek cukai yaitu plastik. Hal ini rencananya mulai diberlakukan pada 2017.

Wacana perluasan objek cukai sesungguhnya bukan ide baru. Berulang kali pemerintah mengusulkan beberapa barang yang bisa dikenakan cukai, seperti pulsa telepon, minuman karbonasi, dan yang terakhir: plastik. Walau demikian, perlu untuk diketahui bahwa hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai definisi plastik itu sendiri.

Bagi pemerintah, penerapan cukai plastik diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pemerintah sekaligus untuk mengontrol dampak negatif dari sampah plastik. Namun, agaknya usulan ini masih terbentur oleh penolakan. Dari sisi masyarakat, argumen tersebut justru dirasa tidak tepat karena beberapa hal.

Pertama, penerimaan cukai plastik kecil dan tidak signifikan. Kedua, berpotensi untuk menambah struktur biaya dari industri dan harga jual. Akibatnya, justru akan mengurangi penerimaan negara dari sektor PPh dan PPN.

Terakhir, penyelesaian dampak lingkungan akibat plastik seharusnya diselesaikan dari sisi pengelolaan sampah yang lebih baik dan bukan melalui cukai. Tulisan ini berupaya mengupas polemik cukai plastik tersebut.

Justifikasi Cukai Plastik

CUKAI memberikan peran yang tidak kecil terhadap penerimaan. Pada kurun 2012-2015, kontribusi cukai adalah 10.4% dari total penerimaan perpajakan dan bertumbuh sebesar rata-rata 17,2% per tahun.

Walau penerimaan dari cukai terus meningkat, namun sepertinya ruang geraknya sudah semakin terbatas. Tidak bisa dimungkiri penerimaan cukai sangat tergantung dari cukai hasil tembakau.

Pada tahun lalu saja, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok dan pemberantasan pita cukai ilegal sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan penerimaan cukai dengan angka 22,5%.

Akan tetapi, meningkatkan tarif cukai rokok hanya akan kontraproduktif karena justru dapat meningkatkan aktivitas penyelundupan, rokok ilegal, dan sebagainya. Penegakan hukum, hingga titik tertentu, juga bersifat jenuh.

Oleh karena itu, perluasan objek cukai menjadi suatu keharusan. Apalagi Indonesia hanya mengenal tiga barang yang dikenakan cukai: etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, serta hasil tembakau (Pasal 4 ayat 1 UU Cukai).

Padahal negara-negara tetangga paling tidak sedikitnya telah memiliki lebih dari 10 jenis barang kena cukai, termasuk: perjudian, parfum, bahan bakar minyak, soda, dan sebagainya (Cnossen, 2005).

Justifikasi berikutnya terletak pada sifat cukai yang berfungsi sebagai sarana untuk mengoreksi eksternalitas negatif (Cnossen, 2010). Pada dasarnya, tidak hanya plastik namun seluruh sampah memberikan dampak negatif kepada lingkungan. Meski demikian, sampah plastik adalah jenis produk yang sulit terurai.

Saat ini, jumlah sampah plastik di Indonesia telah mencapai 65 juta ton per tahun dan akan meningkat hingga 68 juta ton di 2019 (KLHK, 2016). Indonesia juga penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Menurut Jambeck (2015), total terdapat 187,2 juta ton sampah plastik yang berasal dari Indonesia.

Dengan adanya cukai, biaya yang timbul dari kerusakan lingkungan hidup akibat sampah plastik harus mulai diperhitungkan dan dimasukkan ke dalam harga. Istilah akademisnya, internalizing the externalization (Turner dan Pearce, 1990). Mekanisme harga tersebutlah, terlepas dari siapa yang menanggung, akan mengubah perilaku konsumsi.

Harga produk plastik yang semakin tinggi justru dapat mendorong aktivitas 3R (reduce, recycle, dan reuse). Selama ini jargon tersebut memang terkesan ‘tidak laku’ karena tidak ada suatu ‘paksaan’ untuk menggunakan plastik dalam pemakaian yang berulang maupun aktivitas daur ulang. Dengan demikian, manajemen pengelolaan sampah justru diperkirakan akan membaik karena tunduk pada price-mechanism.

Prospek keberhasilan pengendalian sampah plastik melalui cukai juga cukup cerah. Hal ini tercermin dari keberhasilan kebijakan kantung plastik berbayar yang digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan beberapa organisasi lainnya di tahun ini.

Uji coba yang dilakukan di lebih dari 20 kota di Indonesia tersebut mensyaratkan konsumen untuk membayar minimal Rp200 untuk kantung plastik yang dipergunakan. Dari survei yang dilakukan oleh KLHK (2016), terdapat penurunan permintaan kantung plastik antara 25% hingga 80% di berbagai pedagang retail.

Sayangnya, dana pungutan ini tidak dikelola oleh pemerintah. Sehingga walaupun mampu mengubah pola perilaku masyarakat, alokasi dana hasil pungutan tidak dapat dipergunakan untuk kepentingan publik.

Terakhir, agumen bahwa cukai plastik akan menimbulkan efek negatif terhadap perekonomian, pada dasarnya dapat dipahami namun tidak sepenuhnya benar.

Industri plastik diperkirakan memiliki forward linkage yang tinggi dengan beberapa sektor lain dalam perekonomian, sehingga mekanisme harga bisa saja memengaruhi produksi, laba usaha hingga pajak yang disetor ke pemerintah. Dari informasi tersebut, cukai plastik seolah-olah justru kebijakan yang merugikan.

Akan tetapi, argumen tersebut agaknya melupakan manfaat dari lingkungan yang lebih ‘bebas dari sampah plastik’. Dengan demikian, untung-rugi dari kebijakan cukai plastik sejatinya tidak bisa hanya dilihat dari keuntungan atau kerugian finansial yang diperoleh, namun juga perlu mengkuantifikasi nilai manfaat lingkungan. (Baca: Urgensi Pigouvian Tax di Indonesia)

Meracik Kebijakan Cukai

SETIDAKNYA ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam desain kebijakan cukai plastik (McCarten dan Stotsky, 1995). Pertama, ruang lingkup ‘plastik’. Apakah cukai plastik hanya berlaku untuk seluruh produk turunan plastik atau hanya barang tertentu? Jika untuk seluruhnya, apakah penerapannya akan dilakukan secara bertahap?

Kedua, persoalan mengenai desain tarif. Apakah pengenaan cukai akan mengacu pada specific rate (menurut suatu yang bersifat non-nilai, misalkan timbangan, jumlah, dan sebagainya) atau sifatnya ad-valorem (persentase dari suatu nilai/harga)? Terakhir, mekanisme administrasi pemungutan cukai plastik.

Pengenaan objek pungutan baru tentu selalu menimbulkan gejolak. Dengan demikian, ada baiknya Kementerian Keuangan mengkomunikasikan hal tersebut kepada publik, termasuk kepada DPR. Hakikatnya, kekuasaan untuk mengenakan pajak dibatasi oleh DPR, termasuk di dalamnya mengatur objek cukai.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN