LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Membedah Program Pajak Capres: Mana yang Lebih Layak?

Redaksi DDTCNews
Kamis, 03 Januari 2019 | 11.22 WIB
ddtc-loaderMembedah Program Pajak Capres: Mana yang Lebih Layak?
Fadil Ayatudin,
D3 Pajak Politeknik Keuangan Negara STAN.

PERAN pajak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah penting. Pajak menjadi sumber utama penerimaan negara dengan porsi dalam APBN sebesar lebih dari 70%. Penerimaan tersebut digunakan untuk membangun dan membiayai segala kebutuhan rakyat, sekaligus berfungsi untuk mendistribusikan kekayaan dari masyarakat yang berpenghasilan tinggi kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Pentingnya peran pajak ini memicu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya. Selain itu, tata kelola kelembagaan dan birokrasi direformasi menjadi lebih efektif dan efisien. Langkah-langkah tersebut dilakukan agar mampu meningkatkan kepatuhan wajib pajak Indonesia dalam memenuhi kewajiban pajak.

Tidak mengherankan pula jika isu pajak menjadi salah satu bagian dari agenda kampanye politik kedua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Indonesia untuk periode 2019-2024. Penulis akan membedah program pajak masing-masing pasangan berdasarkan dokumen visi-misi yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Program Pajak Jokowi-Ma’ruf Amin

Jokowi-Ma’ruf Amin, sebagai kubu petahana, menjanjikan adanya kelanjutan program reformasi struktural serta reformasi fiskal yang telah dan sedang dijalankan oleh pemerintahan saat ini. Kelanjutan program tersebut diharapkan mampu mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha.

Reformasi perpajakan dimulai ketika Presiden Joko Widodo menetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 83/P/2016 tentang Penggantian Beberapa Menteri Negara Kabinet Kerja Periode 2014-2019 atau yang lebih dikenal sebagai reshuffle kabinet jilid 2 pada 27 Juli 2016. Dalam momentum itu, Sri Mulyani Indrawati diangkat sebagai Menteri Keuangan. Pelaksanaan reformasi berlanjut dengan membentuk Tim Reformasi Perpajakan melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 885/KMK.03/2016 pada 9 Desember 2016.

Pengertian reformasi perpajakan, seperti diungkapkan dalam laman resmi Ditjen Pajak (DJP), merupakan perubahan sistem perpajakan yang menyeluruh, termasuk pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi, dan peningkatan basis perpajakan, serta menjadikan DJP sebagai institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel.

Beberapa aspek yang melatarbelakangi perlunya reformasi perpajakan adalah tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, tax ratio sekitar 11%, dan realisasi penerimaan pajak sering tidak mencapai target yang memang meningkat tiap tahunnya. Selain itu, jumlah SDM tidak sebanding dengan penambahan jumlah wajib pajak sehingga menyulitkan dalam pengawasan dan penegakan hukum. Di sisi lain, ada faktor perkembangan yang cukup pesat dari ekonomi digital dan kemajuan teknologi.

Berbagai aspek itu direspons dengan 5 pilar reformasi perpajakan yang masuk dalam 3 kelompok kerja (Pokja), yaitu Pokja Organisasi dan SDM, Pokja Teknologi Informasi, Basis Data, dan Proses Bisnis, serta Pokja Peraturan Perundang-undangan.  

Adapun tugas Pokja Organisasi dan SDM terdiri atas dua hal. Pertama, memetakan dan menyusun struktur organisasi yang ideal (best fit) dengan memperhatikan cakupan geografis, karakteristik organisasi, ekonomi, kearifan lokal, potensi penerimaan dan rentang kendali (span of control) yang memadai. Kedua, memformulasikan perencanaan dan pengelolaan sumber daya manusia dengan memperhatikan kebutuhan, career path, kinerja, gender, remunerasi, dan sistem kepatuhan pegawai.

Selanjutnya, tugas Pokja Teknologi Informasi, Basis Data, dan Proses Bisnis meliputi pertama, memetakan dan memformulasikan sistem informasi yang reliabel dan handal untuk mengolah data perpajakan berbasis teknologi sesuai dengan core businessKedua, membangun dan mengembangkan proses bisnis sesuai dengan sistem administrasi perpajakan yang ideal. Ketiga, mengembangkan sistem teknologi informasi sesuai dengan pedoman dan kerangka yang ditetapkan.

Sementara itu, tugas Pokja Peraturan Perundang-undangan mencakup tiga hal. Pertama, melakukan evaluasi/pengkajian terhadap rancangan undang-undang yang telah disusun. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang sedang disusun sudah menampung dinamika kegiatan perekonomian yang berkembang. Dinamika itu mencakup perlakuan perpajakan terhadap transaksi yang berbasis e-commerce, perpajakan internasional, dan perolehan data pihak ketiga.

Kedua, melakukan evaluasi kebijakan yang terkait dengan sistem perpajakan, subjek, objek, dan tarif untuk mendukung pengumpulan pajak. Ketiga, melakukan evaluasi dan mengkaji insentif fiskal agar tetap mendukung iklim investasi, penciptaan lapangan kerja, dan multiplier effect lainnya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Program Pajak Prabowo-Sandiaga Uno

Berbeda dengan program pajak kubu petahana yang melanjutkan program sebelumnya, pasangan Prabowo-Sandi menjanjikan gebrakan dalam program pajaknya. Berdasarkan dokumen visi misi pasangan Prabowo-Sandi yang telah diserahkan kepada KPU, setidaknya ada 3 program pajak yang diusulkan. Pertama, menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kedua, menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Ketiga, menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.

Saat ini, batas PTKP berdasarkan aturan terbaru Peraturan Menteri Keuangan No. 101/2016 sebesar Rp4,5juta per bulan. Menurut tim Prabowo-Sandi, batas PTKP tersebut menyebabkan daya beli masyarakat masih rendah karena pajak penghasilan orang pribadi yang harus dibayar masih cukup tinggi.

Dengan menaikkan batas PTKP, PPh Pasal 21 yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi akan berkurang dan diharapkan akan meningkatkan daya beli dan konsumsi. Kondisi ini pada gilirannya akan membuat perekonomian semakin kuat. Secara tidak langsung, program ini juga akan menggesar tumpuan penerimaan dari PPh Pasal 21 ke pajak pertambahan nilai (PPN). Ini dikarenakan setiap pembelian barang dan konsumsi yang termasuk barang kena pajak (BKP) dipungut PPN.

Sebagai catatan, Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) tertinggi pada 2019 adalah Kabupaten Karawang senilai Rp4,2juta. Dengan demikian, semua pekerja di Indonesia yang memiliki sumber penghasilan sebesar UMK tidak akan dipotong PPh Pasal 21. Potensi penerimaan PPh Pasal 21 yang bisa masuk ke kas negara pun berkurang.

Selanjutnya, program selanjutnya adalah menurunkan tarif PPh Pasal 21. Penulis belum menemukan sumber yang dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai program ini, sehingga tidak dapat mengelaborasi lebih dalam. Namun, penulis dapat menerka bahwa program ini tujuannya juga sama dengan program menurunkan batas PTKP, yakni untuk meningkatkan daya beli masyarakat sehingga ekonomi menguat.

Saat ini tarif PPh diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang (UU) PPh menjadi 4 kelompok. Kelompok dengan penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50juta dikenakan tarif 5%. Selanjutnya untuk penghasilan kena pajak Rp50 juta—Rp250juta dikenakan tarif 15%,  Rp250 juta—Rp500 juta dikenakan tarif 25%, dan lebih dari Rp500 juta dikenakan tarif 30%.

Kebijakan ketiga yang ditawarkan adalah penghapusan PBB untuk rumah tinggal pertama dan utama. Hal yang melatarbelakangi program pajak ini adalah meningkatnya PBB setiap tahun karena Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terutama tanah, selalu mengalami kenaikan. Banyak orang memiliki rumah, tapi tidak memiliki likuiditas untuk membayar PBB.

Mereka yang tidak mampu membayar, biasanya mendapat rumah warisan atau keluarga para pejuang. Program pajak ini untuk mencegah tergusurnya rakyat dari tempat tinggalnya hanya karena tidak mampu membayar PBB. Dalam konteks ini, kubu Prabowo-Sandiaga Uno berpendapat perlunya negara hadir untuk melindungi rakyatnya.

Setelah diterbitkannya UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, paling lambat pada 2014, PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) termasuk PBB rumah tinggal beralih ke pemerintah daerah. Dengan demikian, isu penghapusan PBB untuk rumah tinggal ini menjadi berita negatif bagi pemerintah daerah karena sumber penerimaan dari sektor PBB-P2 akan berkurang.

Menurut keterangan dari Fuad Bawazier, Direktur Konsolidasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi dalam wawancara dengan InsideTax, hilangnya penerimaan dari sektor PBB-P2 dapat dikompensasi dengan skema bagi hasil PBB-P3 (Perhutanan, Perkebunan, dan Pertambangan) yang dikelola oleh pemerintah pusat. *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.