Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mencatatkan nilai refund discrepancy senilai Rp11,75 triliun pada tahun 2021. Bila dibandingkan dengan 2020, nilai refund discrepancy tercatat naik 191,5% dari yang hanya senilai Rp4,03 triliun.
Mundur lagi ke belakang, refund discrepancy pada 2019 tercatat senilai Rp8,22 triliun. Sementara pada 2018, refund discrepancy tercatat senilai Rp11,58 triliun. Dengan demikian, nilai refund discrepancy pada 2021 adalah yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir.
"Refund discrepancy merupakan jumlah pajak yang bisa dipertahankan oleh pemeriksa pajak atas permohonan pengembalian [restitusi] yang disampaikan oleh wajib pajak melalui SPT," tulis DJP dalam Laporan Tahunan 2021, dikutip Selasa (8/11/2022).
Walau refund discrepancy mengalami kenaikan, DJP mengaku tetap memprioritaskan pemeriksaan pada objek pemeriksaan yang berkualitas. Objek-objek pemeriksaan yang berkualitas dituangkan dalam daftar sasaran prioritas pemeriksaan (DSPP).
Pemeriksaan atas wajib pajak yang mengajukan restitusi dilakukan secara lebih terukur lewat manajemen pemeriksaan rutin lebih bayar restitusi. Harapannya, pemeriksaan akan lebih terfokus pada wajib pajak yang ada dalam DSPP dan bukan kepada wajib pajak yang mengajukan restitusi.
Untuk diketahui, restitusi adalah pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak kepada negara. Kelebihan pembayaran pajak merupakan hak wajib pajak sehingga negara berkewajiban mengembalikan kelebihan pembayaran tersebut.
Mengingat restitusi adalah hak wajib pajak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun sempat mengingatkan kepada kantor pelayanan pajak (KPP) untuk tidak menghambat restitusi wajib pajak.
Sri Mulyani mengakui bahwa restitusi memiliki risiko memengaruhi penerimaan pajak. Meski demikian, keberadaan risiko tersebut seharusnya tidak mengganggu pelayanan kepada wajib pajak yang berusaha memperoleh haknya. Baca lagi "Sri Mulyani Minta KPP Tidak Tahan-Tahan Restitusi Wajib Pajak".
"Selalu ada risiko dalam sebuah sistem, tetapi tidak berarti kalau kita punya risiko terus yang memang seharusnya bisa dilayani dengan baik [malah] menjadi korban karena kita terlalu melihat pada risiko," ujar Sri Mulyani pada Maret 2022. (sap)