LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Melihat Tawaran Kebijakan Pajak Calon Presiden

Redaksi DDTCNews
Kamis, 10 Januari 2019 | 18.16 WIB
ddtc-loaderMelihat Tawaran Kebijakan Pajak Calon Presiden
Dyah Sisca Putri Pramesti,
S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama.

PAJAK akan menjadi salah satu isu yang akan disorot masyarakat dalam agenda pemilihan presiden dan pemilihan legislatif pada tahun ini. Bagaimanapun, pajak merupakan tumpuan utama dalam penerimaan negara yang akan digunakan untuk mendanai seluruh belanja atau agenda pembangunan.

Berdasarkan APBN 2019, target penerimaan pajak dipatok senilai Rp1.577,6 triliun atau sekitar 72,9% dari target total pendapatan negara senilai Rp2.165,1 triliun. Target penerimaan pajak ini mencatatkan kenaikan 20% dari realisasi pada tahun lalu yang mencapai Rp1.315,9 triliun. Dengan demikian, performa penerimaan pajak akan berpengaruh besar pada kinerja fiskal.

Sayangnya, tax ratio Indonesia masih di kisaran 10%. Performa ini lebih rendah dibandingkan negara lain, seperti Thailand (15,7%), Kamboja (15,3%), Singapura (14,3%), Malaysia (13,8%), dan Filipina (13,7%). Tax ratio sendiri merupakan formula untuk mengukur kinerja perpajakan dengan membandingkan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB).

Rendahnya tax ratio menunjukkan masih kurangnya kesadaran masyarakat, serta belum optimalnya kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari sektor ekonomi lainnya. Dengan demikian, terlihat, pekerjaan rumah pemerintah dalam urusan pajak masih cukup menantang.

Masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, baik Joko Widodo—Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto—Sandiaga Uno menawarkan sejumlah kebijakan pajak jika terpilih dalam pemilihan umum tahun ini.

Pasangan Joko Widodo—Ma'ruf Amin akan mengedepankan kelanjutan program reformasi perpajakan. Dengan melanjutkan program reformasi itu, Joko Widodo berupaya untuk menghadirkan APBN yang sehat, adil, dan mandiri, serta mendukung peningkatan kesejahteraan, penurunan tingkat kesenjangan, dan produktivitas rakyat. Hal tersebut dilakukan dengan target terukur serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.

Selanjutnya, pasangan tersebut juga akan mengoptimalisasikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan sistem yang terintegrasi, serta tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel. Lalu, mereka juga akan memperkuat sinergi tiga pilar, berupa kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil untuk memperbaiki ketersediaan sumber pembiayaan, menurunkan tingkat bunga, sekaligus mendorong produksi nasional.

Selain itu pasangan Joko Widodo—Ma'ruf Amin juga berencana memberikan insentif pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal tersebut tentu menarik untuk dibicarakan dikarenakan insentif pajak bagi UMKM memberikan keringanan pajak bagi pelaku usaha menengah ke bawah. Dengan demikian, kepatuhan para pelaku UMKM – yang selama ini dikategorikan sebagai shadow economy – akan meningkat dalam menjalankan kewajiban pajaknya.

Insentif ini sudah diberlakukan sejak 1 Juli 2018. Pajak untuk UMKM yang awalnya 1% diturunkan menjadi 0,5% atas omzet maksimal Rp4,8 miliar per tahun pajak. Dengan adanya penurunan tarif ini, penerimaan pajak diprediksi akan turun dalam jangka pendek. Akan tetapi, akan ada hasil positif dalam jangka panjang, terutama dari sisi kepatuhan wajib pajak UMKM.

Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto—Sandiaga Uno memberi janji stimulus fiskal, seperti peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 orang pribadi, serta menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.

Pasangan ini juga berjanji akan menghapus secara drastis birokrasi yang menghambat dan melakukan reformasi perpajakan agar meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga. Terkait dengan fiskal menyeluruh, mereka juga menjanjikan peningkatan porsi transfer ke daerah untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik di provinsi, kabupaten/kota, dan desa.

Jika dilihat lebih detail, tawaran Prabowo Subianto—Sandiaga Uno mengenai peningkatan batas PTKP memiliki dampak yang tidak jauh berbeda dengan kebijakan yang dibuat oleh pasangan Joko Widodo—Ma'ruf Amin mengenai pemberian insentif kepada UMKM. Keduanya menyasar masyarakat menengah ke bawah dalam konteks penurunan beban pajak maupun peningkatan daya beli.

Akan tetapi, tawaran kebijakan tersebut akan mempengaruhi penerimaan pajak negara. Dengan peningkatan batas PTKP dan penurunan tarif PPh Pasal 21 Orang Pribadi, penghasilan yang dikenakan pajak menjadi lebih kecil. Dengan demikian, pajak yang dikenakan kepada setiap wajib pajak akan berkurang.

Selain itu, akan semakin banyak wajib pajak yang tidak dikenakan pajak karena PTKP yang berlaku saat ini yaitu Rp54 juta atau Rp4,5 juta per bulan sudah melebihi batas upah minimum regional (UMR). Ini akan mempengaruhi penerimaan pajak negara. Seperti pada 2016, saat terjadi kenaikan PTKP dari Rp36 juta menjadi Rp54 juta, ada penurunan penerimaan pajak penghasilan sekitar Rp70 triliun.

Apabila kita lihat kebijakan dari kedua pasangan yaitu Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, keduanya memiliki dampak positif dan negatif bagi negara. Jika dilihat dari sisi fungsi anggaran, menurunkan tarif pajak tentu akan menurunkan pendapatan pajak negara. Namun, penurunan tarif pajak diharapkan akan berdampak pada perekonomian secara menyeluruh. *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.