Buku yang telah diterbitkan DDTC. Hingga saat ini, DDTC telah menerbitkan 30 buku perpajakan.Â
PRESIDEN Prabowo Subianto menyatakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% paling lambat mulai 1 Januari 2025 akan tetap dieksekusi. Namun, Prabowo menegaskan pemerintah akan selektif, yakni mengenakan tarif 12% hanya untuk barang mewah.
Sejalan dengan hal tersebut, DPR dan pemerintah juga akan melakukan kajian atas skema multitarif PPN. Sejatinya, skema multitarif sempat menjadi usulan dalam pembahasan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, pemerintah dan DPR kala itu tidak bersepakat.
Multitarif PPN memang menjadi salah satu tren global. Selain tarif yang berlaku secara umum, berbagai negara mengenakan tarif khusus bagi barang dan/atau jasa kena pajak tertentu. Tarif khusus itu bisa berupa tarif 0%, penurunan tarif (reduced rate), atau justru tarif yang lebih tinggi.
Skema multitarif PPN juga telah diulas dalam 3 buku DDTC, yakni Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai; Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional; dan Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional.
Ebrill et al. (2001), yang dikutip dalam ketiga buku terbitan DDTC tersebut, berpandangan penerapan multitarif PPN dapat memberikan beberapa manfaat. Salah satunya adalah efisiensi. Aspek inilah yang mendasari terciptanya kebijakan yang dikenal sebagai ‘aturan elastisitas terbalik’.
Dalam konsep ‘aturan elastisitas terbalik’, ada penerapan tarif PPN lebih rendah atas komoditas dengan tingkat permintaan elastis serta penerapan tarif PPN lebih tinggi atas komoditas dengan tingkat permintaan yang tidak elastis.
Kebijakan itu bertujuan untuk meminimalisasi dampak pengenaan pajak terhadap pola konsumsi sehingga dapat menciptakan efisiensi pengenaan PPN. Adanya rentang yang luas antara tarif PPN tertinggi dan tarif PPN terendah juga dianggap mampu menghasilkan penerimaan lebih tinggi.
Kemudian, ada manfaat keadilan. Aspek ini dianggap menjadi alasan paling penting. Contoh, menerapkan tarif PPN yang berbeda atas barang yang hanya dapat dikonsumsi oleh pihak-pihak yang mempunyai penghasilan tinggi. Dengan demikian, ada ekspektasi terciptanya distribusi penghasilan yang adil.
Berdasarkan pada survei International Monetary Fund (IMF), dari 48 negara yang menerapkan PPN sebelum 1990, 36 di antaranya menggunakan lebih dari satu tarif. Dalam perkembangannya, seiring dengan bertambahnya jumlah negara yang menerapkan PPN, terjadi perubahan penerapan tarif, yaitu makin banyak negara yang menerapkan PPN dengan tarif tunggal.
Hingga April 2001, jumlah negara yang menerapkan PPN adalah sebanyak 124 negara. Dari jumlah ini, sebanyak 68 negara menerapkan tarif tunggal, sedangkan sisanya sebanyak 56 negara menerapkan PPN dengan lebih dari satu tarif.
Namun demikian, negara yang tampaknya menerapkan tarif tunggal, dalam praktiknya tidak sepenuhnya benar-benar menerapkan tarif tunggal. Sebagai contoh, Jamaika yang juga mengenakan PPN dengan tarif bervariasi atau dikenal dengan istilah ‘anarchy in tax rate’.
Selama 15 tahun terakhir, ada tendensi rata-rata tarif PPN global naik perlahan. Hal ini mengindikasikan beberapa hal, salah satunya adalah penggunaan ‘resep’ lain, seperti pengurangan fasilitas atau penyesuaian reduced rate (DDTC Fiscal Research & Advisory, 2021).
Tidak terdapat konsensus mengenai skema tarif PPN yang terbaik dan setiap negara berwenang untuk menentukan pilihannya (Darussalam, 2021). Dengan demikian, kebijakan tarif PPN antarnegara dapat berbeda meskipun skema multitarif kian banyak diadopsi dewasa ini. Simak pula ‘Memandang Secara Jernih Rencana Kenaikan Tarif PPN 12%’.
Jika kembali pada konsep dasar, PPN merupakan pajak yang dikenakan atas seluruh konsumsi barang atau jasa kena pajak yang bersifat umum (general tax on consumption). Tidak ada perbedaan antara konsumsi atas barang dan jasa.
PPN ‘menutup mata’ mengenai kondisi pihak yang melakukan konsumsi. Artinya, beban pajak yang sama akan diterima konsumen dengan latar belakang kelompok penghasilan apapun. Baik kaya atau miskin, sejahtera atau prasejahtera, berpenghasilan tinggi atau rendah (Kristiaji, 2021).
Dengan konsep dasar tersebut, sejatinya saran dari para ahli tentang tarif PPN sangat sederhana, yaitu penerapan tarif tunggal (single rate). Cnossen (2017) berpendapat sistem terbaik adalah sistem PPN yang memberlakukan satu tarif seragam atas penyerahan barang dan jasa di dalam negeri.
Pasalnya, ada potensi tingginya biaya administrasi dan biaya kepatuhan jika multitarif PPN diterapkan. Selain itu, ketiga buku terbitan DDTC itu juga telah menjabarkan beberapa aspek yang perlu untuk dipertimbangkan menyangkut multitarif PPN. Tujuannya agar ada mitigasi risiko sejak dini.
Salah satunya adalah distorsi terhadap pilihan produsen dan konsumen sehingga kegiatan ekonomi tidak menguntungkan. Kemudian, munculnya ketidakpuasan dari sisi produsen dan konsumen yang ingin memperoleh keuntungan dari perbedaan tarif (semua ingin mendapat tarif yang rendah).
Selain itu, penerapan lebih dari satu tarif PPN dapat berarti rata-rata tarif yang lebih tinggi dibutuhkan untuk mencapai jumlah penerimaan yang ditargetkan. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya ekonomi yang digunakan untuk mengenakan PPN.
Tarif PPN yang lebih tinggi atas barang mewah belum tentu efektif meningkatkan progesivitas karena kurang ditargetkan dengan baik. Sebaliknya, penerapan tarif PPN yang lebih rendah atas barang atau jasa yang merupakan kebutuhan pokok umumnya tidak ditargetkan dengan baik dan tidak efektif.
Terlepas dari hal tersebut, pada kenyataannya, terdapat berbagai penyimpangan (deviasi) dari konsep awal PPN karena ada tujuan lain (seperti keberpihakan) yang diakomodasi. Misal, penerapan tarif lebih rendah (reduced rate), tarif 0%, pemberian pembebasan PPN, dan lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia saat ini? Sesuai dengan undang-undang, Indonesia masih menganut PPN dengan skema tarif tunggal. Berdasarkan pada Pasal 7 UU PPN, tarif PPN di Indonesia sebesar 11% (saat ini) dan 12% (paling lambat mulai 1 Januari 2025).
Di sisi lain, dengan prinsip destinasi, UU PPN juga mengenakan tarif 0% atas ekspor barang kena pajak (BKP) berwujud; ekspor BKP tidak berwujud; serta ekspor jasa kena pajak (JKP). Dengan skema tarif 0%, pajak masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Selain itu, tarif normal PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui peraturan pemerintah. Kewenangan ini diberikan berdasarkan pertimbangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.
Selain itu, pemerintah juga memberikan pembebasan PPN. Meskipun barang dan jasa, seperti barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan kesehatan, serta jasa transportasi sudah menjadi BKP dan JKP, pemerintah masih memberikan fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan (Pasal 16B UU PPN).
UU PPN Indonesia juga menganut pengenaan PPnBM sebagai pajak tambahan atas penyerahan BKP yang tergolong mewah. Simak pula ‘Pasang Surut Pengenaan PPnBM di Indonesia’. Barang-barang mewah inilah yang rencananya akan mendapat kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
Pertanyaannya, jika secara undang-undang Indonesia masih menganut skema tarif tunggal, apakah ada perubahan payung hukum kebijakan PPN di Indonesia? Kita nantikan.
Sebagai informasi kembali, selain ketiga buku tersebut, buku berjudu Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran juga memuat artikel terkait dengan skema multitarif PPN. Berbagai gagasan lain terkait dengan PPN, seperti restitusi dan kebijakan untuk pengusaha kecil, juga diulas dalam buku ini.
Hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 30 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. Simak ‘Kontribusi untuk Negeri, DDTC Sudah Terbitkan 30 Buku Perpajakan’. (kaw)