RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai perbedaan penetapan NJOP bumi perkebunan antara otoritas pajak dan wajib pajak. Dalam perkara ini, wajib pajak memiliki lahan perkebunan kelapa sawit.
Otoritas pajak, berdasarkan pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) pajak bumi dan bangunan (PBB) 2009, menetapkan bahwa besaran NJOP bumi atas perkebunan milik wajib pajak senilai Rp7.150/m2.
Di sisi lain, wajib pajak berpendapat NJOP bumi yang ditetapkan tersebut terlalu tinggi. Angka tersebut dinilai tidak wajar kenaikannya dibandingkan NJOP bumi yang tercantum dalam SPPT PBB tahun 2008 senilai Rp3.500/m2.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat besaran NJOP atas bumi perkebunan milik wajib pajak yang ditetapkan dalam SPPT sudah tepat. Oleh karena itu, menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak, besaran NJOP bumi perkebunan milik wajib pajak adalah senilai Rp7.150/m2.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT-34796/PP/M.VIII/18/2011 tanggal 7 November 2011, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 2 Mei 2012.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah kenaikan tingkat kelas tanah dari yang sebelumnya kelas A.40 menjadi kelas A.38. Kenaikan tingkat kelas tanah tersebut berdampak pada meningkatnya NJOP bumi yang sebelumnya senilai Rp3.500/m2 menjadi Rp7.150/m2.
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Menurut Pemohon PK, besaran NJOP bumi yang ditetapkan tersebut tidak adil dan akan menyebabkan peningkatan biaya secara signifikan bagi perusahaan.
Pemohon PK merupakan perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit dan memiliki tanah seluas 11.972.000 m2. Dalam hal ini, Pemohon PK berpendapat besaran NJOP bumi atas lahan perkebunan yang dimilikinya tersebut adalah senilai Rp3.500/m2.
Nilai NJOP bumi atas lahan perkebunan tersebut merujuk pada SPPT PBB yang diterbitkan pada 2008. Namun demikian, Termohon PK menetapkan besaran NJOP bumi atas lahan perkebunan Pemohon PK dalam SPPT PBB 2009 senilai Rp7.150/m2.
Menurut Pemohon PK, kenaikan NJOP bumi tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan, tidak jelas keabsahannya, dan tidak relevan. Sebab, data yang digunakan Termohon PK untuk melakukan penghitungan NJOP merupakan data pembanding atas tanaman dengan rata-rata umur tanaman kurang dari 5 tahun. Padahal, rata-rata umur tanaman yang dimiliki Pemohon PK lebih dari 8 tahun.
Pemohon PK menilai terdapat kesalahan penetapan umur tanaman yang dilakukan Termohon PK tersebut. Menurutnya, angka yang ditetapkan dalam standar investasi tanaman (SIT) tidak mencerminkan keadaan perkebunan yang sebenarnya. Sebagai informasi, SIT merupakan salah satu komponen untuk menetapkan NJOP bumi perkebunan.
Berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-174/PJ/2007 tentang Pedoman Penentuan SIT Kelapa Sawit (PER 174/2007), diketahui bahwa SIT adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan penanaman serta pemeliharaan kelapa sawit.
Adapun Pemohon PK menilai besaran SIT yang ditetapkan Termohon PK kontradiktif dengan definisi tersebut. Sebab, besaran SIT tidak berdasarkan pada kondisi riil di lapangan. Kontradiksi tersebut terjadi karena tidak ada penambahan tanaman di lahan Pemohon PK dari 2008 hingga 2009. Bahkan, kemampuan produktivitas tanaman juga cenderung menurun.
Lebih lanjut, perhitungan SIT 2009 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 65% dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan SIT tersebut tidak wajar dan dasar penghitungannya tidak jelas. Pemohon PK menilai ketidakwajaran tersebut terjadi karena adanya peningkatan inflasi secara rata-rata nasional.
Adapun data inflasi secara nasional pada 2008 rata-rata sebesar 10,31%, sedangkan pada 2009 adalah 4,9%. Dengan begitu, angka yang ditetapkan dalam SIT tidak mencerminkan keadaan perkebunan yang sebenarnya.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK berpendapat besaran NJOP bumi atas lahan perkebunan milik Pemohon PK merujuk pada pendekatan harga pasar atau pendekatan pembanding harga jual, yaitu senilai Rp7.150/m2
Dengan demikian, Termohon PK menyatakan besaran NJOP bumi senilai Rp3.500/m2 yang dinyatakan oleh Pemohon PK tidak benar. Oleh karena itu, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK tidak dapat dikabulkan.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Adapun Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding sudah tepat dan benar.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa NJOP bumi senilai Rp7.150/m2 yang ditetapkan dengan pendekatan harga pasar (market approach) atau pendekatan pembanding harga jual (sales comparison approach) berdasarkan SIT telah sesuai dengan kewenangan, prosedur, dan substansi yang berlaku.
Oleh karena itu, Mahkamah Agung tetap mempertahankan koreksi Termohon PK karena telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Farrel Arkan)